
Sampai Kapan Harga Batu Bara Cs 'Terbang'?

Pandemi tidak berdiri sendiri menciptakan boom komoditas pada tahun 2021 yaitu rendahnya suku bunga dan stimulus jumbo yang disuntikkan untuk pemulihan ekonomi.
Mundur lebih jauh ke belakang ketika commodity supercycle tahun 2000-an mulai berakhir. Saat itu volume permintaan komoditas seperti minyak mulai turun karena ekonomi mulai mengalami stagnasi setelah 2008.
Pada tahun 2013, aktivitas manufaktur mulai melambat dan permintaan untuk komoditas pun jauh berkurang. Puncaknya tahun 2014-2015 ketika harga minyak terjun 70%. Sedangkan logam tembaga turun 35,37% sejak Agustus 2014 hingga level terendah di akhir tahun 2015.
Lebih apes lagi batu bara terus bearish selama empat tahun sejak 2011 sampai 2015 dan mencatatkan penurunan harga 62,94%.
Ini membuat komoditas menjadi tidak menarik lagi di mata investor. Aliran dana pun mulai beralih dari komoditas. Di saat bersamaan, perubahan iklim menjadi perhatian utama membuat investor mengalihkan perhatian lebih besar pada masalah ESG (Enviromental Social Government) membuat aliran dana ke sektor komoditas makin seret.
Dana yang seret membatasi gerak pertumbuhan kapasitas komoditas. Pandemi adalah bumbu tambahan yang makin memukul sektor tambang dan membuat pemulihan produksi saat ini tidak secepat pertumbuhan permintaan.
Di sisi lain, pusat perhatian investor ke ESG mengalihkan energi fosil ke energi terbarukan. Dekarbonisasi jadi langkah nyata berbagai negara. Berbagai aturan pun dibentuk untuk memuluskan langkah dekarbonisasi dan memberikan peluang bagi listrik sebagai sumber energi masa dpean terutama untuk kendaraan.
Penjualan kendaraan listrik diproyeksikan akan terjual 46,8 juta unit pada tahun 2030, menurut data International Energy Agency (IEA). Diperkirakan 15% mobil penumpang di jalanan dikuasai kendaraan listrik dan meningkat jadi 30% pada tahun 2050.
Peralihan energi fosil ke energi terbarukan mendorong permintaan logam-logam yang jadi bahan utama kendaraan listrik yaitu nikel, tembaga, kobalt di masa depan. Saat ini logam tersebut masih diproduksi untuk memenuhi kebutuhan pemulihan ekonomi.
Perlu diketahui, saat ini laju pertumbuhan kendaraan listrik pun sangat cepat. Pada semester pertama tahun ini, penjualan kendaraan listrik dunia mencapai pertumbuhan 168% yoy dengan 2,65 juta unit terjual.
Akan tetapi masih ada jeda dengan produksi logam untuk memenuhi kebutuhan kendaraan listrik dan sumber energi lainnya seperti panel surya yang membutuhkan tembaga sebagai bahan baku.
Jeda atau lag itulah yang akan jadi kunci boom komoditas ini berlangsung lebih lama dan menjadi commodity supercycle kelima sepanjang sejarah tercatat. Walaupun di balik itu, stimulus-stimulus dalam pembangunan energi terbarukan juga turut mendukung.
Perbedaan mencolok antara supercycle dan kenaikan harga sementara adalah adanya perubahan sosial yang mendalam dan dalam skala besar yang membuat permintaan akan komoditas terus meningkat.
Gerakan skala besar peralihan ke energi terbarukan memicu permintaan besar untuk logam dan komoditas lain seperti minyak sawit sebagai bahan biomassa dan gas alam dalam upaya perbaikan iklim.
Investasi besar-besaran diperlukan untuk membangun infrastruktur energi terbarukan dan menutup defisit logam untuk keperluan peralihan energi yang mungkin saja memerlukan waktu hingga 5-7 tahun lagi dan membuat pasokan kembali terpenuhi dan harga menjadi lebih stabil. Dalam jangka pendek, harga komoditas diperkirakan lebih stabil karena penurunan permintaan dari China karena melemahnya ekonomi China.
Jika melihat sejarahnya, commodity supercycle bisa berlangsung 20 tahun - 30 tahun. Bukan tidak mungkin dengan ambisi peralihan energi bisa membuat supercycle kelima berlangsung hingga 20-30 tahun ke depan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ras/ras)
[Gambas:Video CNBC]
