Harga Minyak Cs 'Diramal' Tetap Tinggi Sampai 30 Tahun Lagi!

Robertus Andrianto, CNBC Indonesia
10 November 2021 15:50
tambang minyak lepas pantail
Foto: ist

Jakarta, CNBC Indonesia - Goldman Sachs, pada hari Selasa (09/11/2021) kembali memberi prediksi tentang siklus super komoditas (commodity super cycle) yang didorong oleh pemulihan ekonomi dan langkah-langkah dekarbonisasi.

"Kami memperkirakan pasar bullish struktural terhadap komoditas, sangat mirip dengan apa yang kami lihat pada dekade 2000-an atau 1970-an," Jeffrey Currie, kepala penelitian komoditas global Goldman Sachs, dalam Reuters Commodities Summit.

"Pada intinya bukan hanya penurunan struktural dalam pasokan di seluruh kompleks komoditas tetapi juga kenaikan struktural dalam permintaan", tambahnya, mengatakan super cycle bisa menjadi "multi-tahun, berpotensi satu dekade".

Pasar bahan bakar fosil dan logam telah didorong oleh kenaikan permintaan karena negara-negara mulai membuka ekonominya setelah pembatasan ketat dalam upaya penanganan COVID-19 (Coronavirus Disease-2019).

Pemulihan ekonomi ini menciptakan lonjakan kilat permintaan terhadap komoditas seperti logam, batu bara, minyak, sawit, dan gas. Selain sebagai sumber energi, komoditas tersebut juga digunakan untuk industry manufaktur. Hasilnya, harga-harga komoditas mulai merangkak naik.

Sayangnya, peningkatan produksi tidak bisa secepat permintaan. Tambang komoditas terlanjur lumpuh dan tidak bisa pulih dengan cepat. Harga komoditas pun berjalan dengan kurva permintaan yang terus tinggi dan cepat sedangkan pasokan bergerak lambat mengakumulasi ketidakseimbangan di pasar dan menciptakan awal super cycle.

Pada September 2021 harga-harga komoditas dengan cepat melesat ke level tertingginya. Rekor baru harga tertinggi tercipta di berbagai komoditas seperti batu bara, minyak, gas, nikel, timah, aluminium. Lebih buruk, ketimpangan permintaan dan pasokan menciptakan krisis energi.

Pandemi tidak berdiri sendiri menciptakan boom komoditas pada tahun 2021 yaitu rendahnya suku bunga dan stimulus jumbo yang disuntikkan untuk pemulihan ekonomi.

Mundur lebih jauh ke belakang ketika commodity super cycle tahun 2000-an berakhir. Saat itu volume permintaan komoditas seperti minyak turun karena ekonomi mulai mengalami stagnasi setelah 2008.

Pada tahun 2013, aktivitas manufaktur mulai melambat dan permintaan untuk komoditas pun jauh berkurang. Puncaknya tahun 2014-2015 ketika harga minyak terjun 70%. Sedangkan logam tembaga turun 35,37% sejak Agustus 2014 hingga level terendah di akhir tahun 2015.

Lebih apes lagi batu bara terus bearish selama empat tahun sejak 2011 sampai 2015 dan mencatatkan penurunan harga 62,94%.

Ini membuat komoditas menjadi tidak menarik di mata investor. Aliran dana pun mulai beralih dari komoditas fosil tersebut. Di saat bersamaan, perubahan iklim menjadi perhatian utama membuat investor mengalihkan perhatian lebih besar pada masalah ESG (Environmental Social Government) membuat aliran dana ke sektor komoditas makin seret.

Berbagai aturan dibentuk untuk memuluskan langkah mengatasi perubahan iklim dan memberikan peluang bagi listrik sebagai sumber energi masa depan terutama untuk kendaraan.

Penjualan kendaraan listrik diproyeksikan akan terjual 46,8 juta unit pada tahun 2030, menurut data International Energy Agency (IEA). Diperkirakan 15% mobil penumpang di jalanan dikuasai kendaraan listrik dan meningkat jadi 30% pada tahun 2050.

Peralihan energi fosil ke energi terbarukan mendorong permintaan logam-logam yang jadi bahan utama kendaraan listrik yaitu nikel, tembaga, kobalt di masa depan. Saat ini logam tersebut masih diproduksi untuk memenuhi kebutuhan pemulihan ekonomi.

Perlu diketahui, saat ini laju pertumbuhan kendaraan listrik pun sangat cepat. Pada semester pertama tahun ini, penjualan kendaraan listrik dunia mencapai pertumbuhan 168% yoy dengan 2,65 juta unit terjual.

Akan tetapi masih ada jeda dengan produksi logam untuk memenuhi kebutuhan kendaraan listrik dan sumber energi lainnya seperti panel surya yang membutuhkan tembaga sebagai bahan baku.

Jeda itu yang akan jadi kunci boom komoditas ini berlangsung lebih lama dan menjadi commodity super cycle kelima sepanjang sejarah tercatat. Walaupun di balik itu, stimulus-stimulus dalam pembangunan energi terbarukan juga turut mendukung.

Perbedaan mencolok antara super cycle dan kenaikan harga sementara adalah adanya perubahan sosial yang mendalam dan dalam skala besar yang membuat permintaan akan komoditas terus meningkat.

Gerakan skala besar peralihan ke energi terbarukan memicu permintaan besar untuk logam dan komoditas lain seperti minyak sawit sebagai bahan biomassa dan gas alam dalam upaya perbaikan iklim.

Investasi besar-besaran diperlukan untuk membangun infrastruktur energi terbarukan dan menutup defisit logam untuk keperluan peralihan energi yang mungkin saja memerlukan waktu hingga 5-7 tahun lagi dan membuat pasokan kembali terpenuhi dan harga menjadi lebih stabil. Dalam jangka pendek, harga komoditas diperkirakan lebih stabil karena penurunan permintaan dari China karena melemahnya ekonomi China.

Jika melihat sejarahnya,commodity super cycle bisa berlangsung 20-30 tahun. Bukan tidak mungkin dengan ambisi peralihan energi bisa membuat ­super cycle kelima berlangsung hingga 20-30 tahun ke depan.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ras/ras)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sampai Kapan Harga Batu Bara Cs 'Terbang'?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular