Dunia Terancam Krisis Energi Global, RI Bisa Kena Juga?
Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah negara, baik di Eropa seperti Inggris hingga Asia seperti China dan India kini tengah berjuang menghadapi krisis energi. Inggris tengah berjuang menghadapi kondisi kurangnya pasokan gas yang membuat lonjakan harga gas dan listrik, sementara China dan India tengah menghadapi krisis batu bara sebagai sumber utama pembangkit listrik mereka.
Kondisi krisis di sejumlah negara tersebut perlu diwaspadai Indonesia. Terlebih, Indonesia merupakan negara pengimpor energi, seperti minyak dan Liquefied Petroleum Gas (LPG), sehingga kondisi di dunia internasional saat ini bisa saja berdampak ke Indonesia.
Hal tersebut disampaikan oleh Pengamat Migas Widhyawan Prawiraatmadja.
Dia menjelaskan bahwa krisis energi yang terjadi di beberapa negara dipicu oleh melonjaknya harga energi primer, seperti minyak, gas, dan batu bara, terutama karena meningkatnya permintaan energi saat pemulihan ekonomi terjadi.
"Semua kejadian di atas akan berpengaruh pada semua negara, termasuk Indonesia karena adanya ketergantungan pada impor," ungkapnya kepada CNBC Indonesia belum lama ini.
Khusus di Indonesia, krisis energi tersebut akan berdampak pada dua komoditas sektor energi yakni BBM dan LPG. Seperti diketahui, pemenuhan dua komoditas ini masih didominasi dari impor.
"Untuk kasus Indonesia, hal ini akan berpengaruh pada harga BBM dan LPG, yang biaya perolehannya menjadi sangat tinggi," ungkap mantan Gubernur Indonesia untuk OPEC 2015-2017 tersebut.
Hal serupa juga diungkapkan Vice Chairman Indonesia Gas Society (IGS) Salis S. Aprilian. Dia mengatakan, Indonesia tentunya diuntungkan dengan harga minyak yang tinggi. Namun, di sisi lain, Indonesia yang masih bergantung pada impor minyak yang tinggi, sehingga akan rentan mengalami krisis.
"Misalnya Pertamina kalau mengolah minyak mentah, kalau impor akan sengsara. Kalau harga terlalu rendah dari sisi upstream (hulu) juga kondisinya makin tertekan," ujarnya dalam acara webinar "Krisis Energi Mulai Melanda Dunia, Bagaimana Strategi RI?" yang digelar IKA FH UNDIP, Minggu (10/10/2021).
Sementara itu, pendapat berbeda diungkapkan Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto. Dia mengatakan, ketahanan energi nasional masih dalam kondisi aman, bahkan Indonesia cenderung diuntungkan dengan kondisi tersebut.
Dia menyebut, Indonesia bahkan masih mengekspor batu bara sebesar 70% dari pasokan yang dimiliki, serta ekspor gas sebesar 38% dari pasokan nasional.
"Indeks Ketahanan Energi kita masih di angka 6,57 yang masih dalam kategori tahan, dari tingkat tertinggi sangat tahan di angka 8. Setiap tahunnya indeks ketahanan energi terus meningkat," ujarnya.
Djoko menambahkan, meski menguntungkan, di sisi lain Indonesia tetap harus mengantisipasi impor energi fosil, yakni minyak, yang tentunya bisa berisiko pada subsidi pada Bahan Bakar Minyak (BBM). Meski demikian, hal itu masih bisa diantisipasi dengan keuntungan yang lebih besar dari hasil ekspor batu bara dan gas yang harganya meningkat.
"Tentang impor minyak, meski agak terganggu misalnya Pertamina kan minta subsidi dan akhirnya jadi beban negara. Namun, dengan kondisi batu bara dan gas tinggi kita masih ekspor dan kondisinya jadi wind profit bagi negara," kata Djoko.
Ia memastikan, cadangan minyak nasional saat ini mampu memenuhi kebutuhan domestik selama 20-25 hari, ditambah dengan gas dan batu bara yang justru di ekspor karena kebutuhan domestik yang terpenuhi.
Berdasarkan data Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia 2020 yang dirilis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia mengimpor minyak mentah sebesar 79,68 juta barel pada 2020, sementara impor produk BBM pada 2020 mencapai 20,87 juta kilo liter (kl).
Adapun impor BBM terbanyak yaitu untuk jenis bensin dengan nilai oktan (RON) 88 atau Premium dan RON 90 atau Pertalite sebesar 9,70 juta kl.
Sedangkan impor LPG pada 2020 tercatat mencapai 6,39 juta ton, naik 12% dari 2019 yang sebesar 5,71 juta ton.
Dari sisi harga minyak, pada Rabu (13/10/2021) pukul 07:08 WIB, harga minyak jenis Brent berada di US$ 83,42/barel, turun 0,27% dari posisi hari sebelumnya. Sementara yang jenis light sweet harganya US$ 80,3/barel, berkurang 0,42%.
Meskipun kini turun dibandingkan kemarin, namun harga minyak saat ini dibandingkan pada akhir 2020 lalu (year to date) telah meroket sebesar 60,42% dan 65,52% masing-masing untuk jenis Brent dan light sweet.
(wia)