
China Sudah Gak 'Macho', Ekonominya ke Depan Bakal Loyo?

Jakarta, CNBC Indonesia - China adalah negara pertama yang merasakan hantaman pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) karena virus itu memang awalnya menyebar di sana. China juga menjadi negara yang paling awal pulih dari dampak pandemi, setidaknya dari sisi ekonomi.
Saat negara-negara lain terjerumus ke 'jurang' resesi, China tidak mengalami. Produk Domestik Bruto (PDB) China memang tumbuh negatif pada kuartal I-2020, tetapi setelah itu selalu positif.
Namun setahun kemudian, memasuki paruh kedua 2021, ekonomi China mulai kehabisan 'bensin'. Sejumlah indikator menunjukkan perlambatan ekonomi adalah risiko yang nyata bagi perekonomian Negeri Tirai Bambu.
China akan mengumumkan data pertumbuhan ekonomi kuartal II-2021 pada Kamis lusa. Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan Produk Domestik Bruto (PDB) Negeri Panda tumbuh 8,1%. Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yakni 18,3%.
Perlambatan ini disebabkan oleh permintaan yang mulai berkurang. Ini tercermin dari data inflasi.
Pada Juni 2021, laju inflasi tercatat 1,1% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Melambat dibandingkan Mei 2021 yang sebesar 1,3% yoy.
Inflasi di tingkat produsen pun melambat. Pada Juni 2021, inflasi di level produsen adalah 8,8% yoy, bulan sebelumnya masih 9% yoy.
Perlambatan permintaan juga terkonfirmasi dari data impor. Pada Juni 2021, impor China memang masih tumbuh 36,7% yoy. Namun melambat signifikan dibandingkan bulan sebelumnya yang meroket 51,1%.
Menghadapi situasi ini, bank sentral China (PBoC) memutuskan untuk menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) perbankan sebesar 50 basis poin (bps). Kebijakan ini mampu menambah likuiditas perbankan sebesar CNY 1 triliun (Rp 2.236,89 triliun) yang bisa digunakan untuk menyalurkan kredit.
"Peningkatan permintaan sudah mencapai puncaknya, dan pertumbuhan ekonomi China akan mulai melambat pada paruh kedua 2021. Upaya ini (penurunan GWM) adalah untuk meredakan tekanan terhadap perekonomian," kata Elwin de Groot, Head of Macro Strategy Rabobank, seperti dikutip dari Reuters.
Bagi Indonesia, perlambatan ekonomi China bisa sangat terasa. China adalah negara mitra utama perdagangan Indonesia.
Pada Januari-Mei 2021, nilai ekspor non-migas Indonesia ke China mencapai US$ 17,12 miliar, melonjak 64,62% yoy. Nilai ekspor non-migas ke China berkontribusi 21,55% dari total ekspor non-migas.
Jika permintaan China melambat, maka ekspor Indonesia bisa merasakan dampak yang signifikan. Maklum, porsi China terhadap ekspor Indonesia lebih dari seperlima.
Di sisi investasi, China juga punya kontribusi yang tidak kecil. Sepanjang 2020, Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal mencatat investasi China di Indonesia bernilai US$ 4,84 miliar di 3.027 proyek. Hanya kalah dari Singapura di peringkat pertama dengan investasi US$ 9,78 miliar di 15.088 proyek.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/sef) Next Article Siap-siap! Usai Pandemi, China Bakal Kian Berkuasa di Bumi