
Duh Gerah! Hawa Resesi Mulai Terasa di Asia

Jakarta, CNBC Indonesia - Ancaman resesi global mulai menghantui pemulihan ekonomi Asia. Melambatnya aktivitas pabrik sudah terlihat di Jepang, Korea Selatan, dan Australia membuat pemangku kebijakan dihadapkan pada posisi sulit antara mendukung pertumbuhan atau meredam inflasi.
Purchasing manager's index (PMI) Jepang jatuh ke titik 52,2 pada Juli, level terendahnya dalam 10 bulan. Perlambatan ini menggambarkan bagaimana ekonomi Jepang masih berjuang keras keluar dari dampak pandemi Covid-19 tetapi di sisi lain sudah harus berjuang dengan inflasi.
Aktivitas pabrik juga melemah di Australia yang ditunjukkan oleh melandainya PMI pada bulan ini. PMI tercatat 55,7 pada Juli, menyusut dibandingkan yang tercatat pada Juni yakni 56,2.
Aktivitas pabrik di Australia melandai karena adanya gangguan rantai pasok, kenaikan biaya bahan mentah, serta perlambatan ekonomi global.
"PMI di Juli menunjukkan sektor manufaktur sedang melambat karena melandainya permintaan. Gelombang baru Covid-19 juga mulai berdampak kepada layanan jasa," tutur Marcel Thieliant, ekonom senior pada Capital Economics menanggapi PMI Jepang, seperti dikutip Reuters.
Jepang tengah dihadapkan pada gelombang ketujuh Covid-19. Pada Kamis, Negara Sakura melaporkan adanya tambahan kasus sebanyak 186.000, naik drastis dibandingkan yang dilaporkan pada hari sebelumnya yakni 150.000 kasus.
Tambahan kasus di Tokyo bahkan menembus 31.878. Kasus harian di atas 30.000 belum pernah dicatat Tokyo sepanjang pandemi.
The Japan Times melaporkan tingginya kasus dikhawatirkan akan berdampak besar terhadap jasa layanan seperti makanan, liburan, hingga penjualan ritel.
Selain Jepang dan Australia, Korea Selatan juga mencatatkan perlambatan PMI. Pada Juni 2022, PMI Korea Selatan tercatat 51,3, level terendahnya dalam tiga bulan.
Marcel menambahkan muramnya perkembangan PMI di raksasa kawasan Asia dan Australia adalah sedikit gambaran mulai munculnya bayang-bayang resesi.
"Perbaikan juga tidak terlihat dari sektor manapun," tuturnya.
Di tengah melandainya aktivitas pabrik, negara-negara di Asia dan dunia juga harus menghadapi tekanan berat dari kenaikan suku bunga acuan. Bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) sudah menaikkan suku bunga acuan sebesar 150 bps semester ini.
Bank sentral Eropa (ECB) juga baru saja mengumumkan kenaikan suku bunga acuan sebesar 50 bps, Kamis malam. Ini adalah kenaikan pertama dalam 11 tahun terakhir.
Langkah agresif The Fed dan bank sentral membuat sebagian bank sentral di Asia harus mengikuti arus kenaikan tersebut untuk memerangi inflasi sekaligus mencegah depresiasi mata uang mereka.
Bank sentral India, Malaysia, Singapura, dan Korea Selatan sudah menaikkan suku bunga acuan mereka pada tahun ini untuk meredam inflasi dan mencegah depresiasi mata uang. Sebaliknya, bank sentral China, Jepang, Thailand, dan Indonesia memilih mempertahankan suku bunga acuan untuk mendongkrak pertumbuhan.
Ekonomi China yang merupakan terbesar kedua di dunia melambat tajam pada kuartal II-2022 karena meningkatnya kasus Covid-19. Ekonomi China tumbuh 0,4% (yoy), jauh di bawah kuartal I-2022 yang tercatat 4,8%.
Perekonomian Negara Tirai Bambu diperkirakan terus melambat ke depan karena melandainya ekonomi global dan resesi.
Asian Development Bank (ADB) telah menurunkan proyeksi perekonomian China menjadi 4,0% pada tahun ini. Pada April lalu, ADB masih memperkirakan China bisa tumbuh 5,0%. Proyeksi ekonomi India juga diturunkan dari 7,5% menjadi 7,2%.
ADB mengatakan perlambatan ekonomi China dan global membuat laju pertumbuhan kawasan Asia melambat menjadi 4,6% pada tahun ini. Proyeksi tersebut turun dibandingkan dengan proyeksi 5,2% yang disampaikan ADB pada bulan April.
Ekonom Kepala ADB Albert Park mengatakan perlambatan China, lonjakan inflasi, perang Rusia-Ukraina, dan pengetatan kebijakan moneter bisa memperlambat laju ekonomi Asia.
"Berbagai ketidakpastian global ini sangat penting untuk diatasi karena akan terus membawa risiko bagi pemulihan kawasan ini," tutur Albert, dalam keterangan resmi ADB.
(mae/mae)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ini Lima Negara yang Bakal Lolos Resesi, Kok Bisa?