
Duh, Waspada Ekonomi RI 'Diserang' Luar-Dalam, Ini Pemicunya

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia baru saja bisa bernafas lega dan perlahan mulai bangkit dari keterpurukan akibat serangan Covid-19. Optimisme untuk segera keluar dari jurang resesi pun semakin besar.
Kebangkitan ini tercermin dari sektor-sektor pendukung perekonomian yang mulai tumbuh, meski belum signifikan. Namun, di tengah upaya pemulihan ini, ekonomi Indonesia kembali terancam, baik dari faktor domestik maupun global.
'Serangan' dari domestik berasal dari sisi kesehatan dengan kasus positif Covid-19 yang kembali naik tajam pasca libur Idul Fitri. Tercatat, pada Jumat (18/6/2021) ada penambahan 12.990 kasus baru harian Covid-19. Angka yang sangat tinggi sejak awal tahun.
Ekonom CORE Piter Abdullah mengatakan, jika angka positif terus naik, maka ini tidak akan baik bagi perekonomian. Sebab, pembatasan mobilitas bisa terjadi lagi.
Oleh karenanya, ini menilai saat ini pemerintah harus mempercepat proses vaksinasi, sehingga tidak perlu kembali memperketat PPKM mikro di berbagai daerah.
"Yang dibutuhkan saat ini lebih kepada percepatan vaksinasi dan peningkatan disiplin protokol kesehatan," ujarnya kepada CNBC Indonesia.
'Serangan' lainnya dari domestik adalah ledakan kredit macet.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bersama Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) berencana mengintervensi sektor-sektor yang sulit bangkit di masa pandemi Covid-19.
Sri Mulyani menjelaskan, kelompok slow starter mengalami kontraksi penjualan paling dalam, jauh di bawah industri. Kelompok ini mengalami dampak terdalam akibat Covid-19 dan sangat bergantung pada pulihnya aktivitas masyarakat.
Kelompok slow starter yang dimaksud adalah perdagangan, konstruksi, transportasi, dan jasa-jasa.
"Ini kelompok mengalami knock down effect yang sangat dalam karena Covid, korelasinya negatif. Ketika Covid naik mereka turun, ketika Covid turun mereka pulih tapi slow. Nah ini jadinya tidak simetris," jelas Sri Mulyani, saat rapat kerja dengan Komisi XI.
Sementara sektor ekonomi yang menjadi pendorong pertumbuhan (growth driver), kata Sri Mulyani, berasal dari sektor manufaktur. Meskipun terpukul, tapi sektor tersebut saat ini sudah mulai tumbuh. Return of asset-nya pun sudah mulai pulih, tercermin pada kuartal IV-2021 sudah mulai menyentuh 3,67%.
Kendati demikian, profitabilitas baik kelompok slow starter dan growth driver masih sangat rendah.
"Kemampuan membayar kelompok resilience berada di atas threshold 1,5 sementara kelompok slow starter dan growth driver di bawah threshold atau rendah," jelas Sri Mulyani.
Hal itu, lanjut Sri Mulyani, akan membuat interest coverage ratio (ICR) atau kemampuan membayar, baik itu bagi kelompok slow starter dan growth driver perlu diintervensi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"ICR atau kemampuan untuk membayar pinjaman. Ini persoalan di OJK, untuk memberikan pinjaman. Untuk sektor yang semakin terpukul makin tidak mau (bayar), ini kita perlu intervensi," tuturnya.
"Kalau yang terpukul pulih dan langsung dapat kredit baru. Tapi yang terpukul dan tidak pulih, bank akan menghindari untuk meminjamkan di sektor ini. Ini tantangan pemulihan ekonomi dan akan terus membahasnya di KSSK," kata Sri Mulyani melanjutkan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun meminta agar perbankan untuk mulai menambah pencadangan secara gradual.
"Perbankan tolong mulai mencadangkan, secara gradual," ungkap Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso.
"Kita tidak tahu apa yang terjadi sehingga apabila ada nasabah yang tidak bisa recover, kita sudah punya cadangan yang cukup. Sehingga perbankan dan lembaga keuangan agar secara gradual membuat cadangan lebih pre-emptive," jelasnya.
