Duh, Waspada Ekonomi RI 'Diserang' Luar-Dalam, Ini Pemicunya

Lidya Julita S., CNBC Indonesia
19 June 2021 09:20
Proyeksi Ekonomi Global Lembaga Dunia
Foto: Proyeksi Ekonomi Global Lembaga Dunia

Taper Tantrum

Ancaman yang berasal dari global bagi stabilitas ekonomi Indonesia salah satunya taper tantrum yang terjadi di Amerika Serikat. Diketahui belakangan ini isu tapering terus mempengaruhi pasar keuangan global, terutama setelah AS merilis data tenaga kerja dan inflasinya. Dua data tersebut menjadi kunci bagi bank sentral AS (The Fed) untuk melakukan tapering.

Tapering merupakan kebijakan The Fed mengurangi nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) yang saat ini senilai US$ 120 miliar per bulan.

Meski pasar tenaga kerja menunjukkan pemulihan dan inflasi sudah tinggi di AS, tetapi banyak yang berpendapat hal tersebut belum akan cukup bagi The Fed untuk melakukan tapering dalam waktu dekat.

CNBC International melaporkan The Fed kemungkinan sudah mulai mendiskusikan tapering di bulan ini atau bulan depan.

Meski demikian, pengumuman kapan tapering akan dilakukan baru akan dilakukan pada bulan September atau November. Dan tapering pertama akan dilakukan pada Desember tahun ini atau Januari tahun depan.

Sebagai informasi, pengumuman tapering yang terjadi di pertengahan 2013 lalu memicu taper tantrum yakni yield obligasi (Treasury) melesat naik, aliran modal kembali ke Negeri Paman Sam, dolar AS menjadi sangat perkasa. Alhasil, terjadi gejolak di pasar finansial global.

Oleh karenanya, saat ini The Fed di bawah pimpinan Jerome Powell akan berusaha menghindari taper tantrum. Salah satu pemicu taper tantrum pada 2013 adalah pengumuman tapering yang mengejutkan pasar. Artinya pasar belum mengantisipasi hal tersebut.

Kali ini, The Fed akan berusaha terus memberikan update mengenai kebijakan moneter yang akan diambil, sehingga pasar lebih siap menghadapi tapering.

Bubble Properti di China

Ancaman dari global lainnya adalah bubble properti di China. Harga aset properti di China yang terus merangkak naik menimbulkan kekhawatiran bahwa real estate bubble bakal meletus dan memicu krisis. Sebagai perekonomian terbesar kedua di dunia tentu saja dampak krisis di China jika terjadi akan dirasakan oleh negara-negara lain termasuk Indonesia.

Pertumbuhan ekonomi China boleh saja mentereng. Namun sekali lagi ini menjadi bukti bahwa pertumbuhan tidak selalu disertai dengan stabilitas. Economic boom di China justru membuat spekulasi di sektor properti berkembang.

Harga rumah di Negeri Panda konsisten tumbuh terus dan tak pernah turun terutama sejak tahun 2015. Rasio harga rumah terhadap pendapatan masyarakat di China mencapai 133 kali. Bayangkan betapa mahalnya harga sepetak rumah di China.

Kenaikan harga properti cenderung membuat kredit yang disalurkan ke sektor ini pun meningkat. Para pengembang pun agresif melakukan ekspansi dengan menerbitkan surat utang. Masalahnya, laju gagal bayar surat utang di China terus tumbuh. Pada kuartal pertama tahun ini tercatat sebanyak 27% dari total hampir US$ 15 miliar gagal bayar (default) surat utang disumbang oleh surat utang pengembang properti.

Memang fenomena bubble tidak harus langsung diikuti dengan burst dalam waktu singkat. Namun yang pasti pada suatu titik harga sudah tidak bisa naik lagi karena permintaan akan turun ketika harga sudah kemahalan. Di saat itulah gelembung tadi pecah dan menimbulkan krisis. Jepang pada tahun 1990-an dan AS pada 2008 silam sudah mengalaminya. Kini ancaman tersebut mulai mengintai China.

(wia)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular