Jakarta, CNBC Indonesia - Kudeta yang terjadi 1 Februari 2021 menimbulkan turbulensi politik dan ekonomi di Myanmar. Sikap keras junta dan tak berhentinya demonstrasi warga membuat internasional mengkhawatirkan potensi perang saudara di Myanmar.
Ancaman perang saudara sebenarnya sudah disinyalkan PBB. Lembaga itu menyebut Myanmar bisa menjadi "next Suriah" menuju konflik besar-besaran.
Kepala Hak Asasi Manusia (HAM) PBB Michelle Bachelet memperingatkan kemungkinan kejahatan kemanusiaan terjadi. Ia mendesak negara-negara mengambil tindakan yang mendorong junta militer menghentikan apa yang disebutnya "penindasan dan pembantaian ke rakyat".
"Saya khawatir situasi di Myanmar menuju konflik besar-besaran," katanya dalam sebuah pernyataan dilaporkan AFP beberapa waktu lalu. "Ada kemiripan yang jelas dengan Suriah di 2011."
Terbaru, Pemerintahan sipil Myanmar yang digulingkan di kudeta kini dilaporkan membentuk "tentara" sendiri. Mereka yang kini menyebut diri "Pemerintah Persatuan Nasional (NUG)" membuat "kekuatan pertahanan rakyat".
Kelompok ini bertugas menahan aksi kekerasan yang dilakukan pasukan junta kepada warga pro-demokrasi. "Pendirian kelompok ini dimaksudkan sebagai pendahuluan untuk membentuk Tentara Persatuan Federal," ujar NUG dalam sebuah pernyataan dikutip Kamis (6/5/2021).
NUG mendapatkan dukungan dari beberapa milisi-milisi etnis yang berada di Myanmar. Mereka bersatu untuk mengalahkan tentara junta yang memang dilatih dengan baik.
Milisi mengutuk kudeta militer dan penggunaan kekerasan terhadap warga sipil tak bersenjata. Data kelompok pemantau lokal AAPP, setidaknya 770 orang kehilangan nyawa dan 4.000 orang ditangkap.
NUG sendiri bekerja di "bawah tanah". April lalu, NUG sempat mengumumkan siapa saja menteri kabinet mereka.
Halaman 2>>>
Sebenarnya, sinyal negara itu mengarah ke perang saudara setidaknya terjadi saat 10 milisi etnis bersenjata Myanmar, yang tergabung dalam Tim Pengarah Proses Perdamaian (PPST), memberikan dukungan penuh kepada NUG untuk melawan pihak junta militer. Salah satu poin yang ditekankan adalah amandemen konstitusi 2008 yang menempatkan militer dalam posisi yang sangat kuat
"Kami dengan tegas berdiri bersama orang-orang dari semua lapisan masyarakat yang menentang perebutan kekuasaan dewan militer dengan melakukan demonstrasi damai dan menuntut diakhirinya kediktatoran, penghapusan Konstitusi 2008, demokrasi penuh, pembentukan serikat federal dan pembebasan segera semua orang yang telah ditahan," kata Jenderal Yawd Serk, kepala PPST dan ketua Dewan Pemulihan Negara Bagian Shan (RCSS).
Langkah ini pun juga dibuktikan oleh aksi-aksi serangan yang mulai dilakukan oleh milisi etnis. Mereka mulai melancarkan serangan dan mengambil alih beberapa titik strategis Tatmadaw, mulai dari pos penjagaan hingga yang paling berat yaitu pangkalan udara.
Salah satu milisi yang melancarkan serangan adalah Tentara Pembebasan Karen (KNLA). Mereka telah melakukan beberapa serangan terhadap pasukan junta sejak akhir Maret 2021 hingga sekarang, di mana dalam aksi mereka hampir 200 pasukan junta tewas.
"Dari 27 Maret hingga awal Mei, 194 tentara tewas dan 220 tentara lainnya dari militer Myanmar cedera dalam bentrokan. Sembilan tentara dari KNLA tewas dan 10 lainnya luka-luka," ujar juru bicara Brigade 5 KNU, Letnan Kolonel Saw Kler Doh, mengatakan kepada outlet berita lokal Pusat Informasi Karen.
Dari jumlah korban tewas itu, mereka menambahkan bahwa ada juga seorang kolonel dan seorang letnan kolonel yang tewas dalam penyerbuan mereka. Langkah ini pun sempat mendapatkan balasan yang keras dari junta.
Militer negara itu dilaporkan telah melakukan beberapa serangan udara yang menargetkan beberapa tempat publik seperti sekolah di beberapa negara bagian wilayah utara negara itu.
Halaman 3>>
Melihat skala konflik yang sudah cukup mengkhawatirkan ini, beberapa pihak meminta agar Dewan Keamanan PBB menerjunkan pasukan ke negara itu. Salah satunya adalah Amerika Serikat (AS) yang meminta agar PBB cepat turun ke Myanmar untuk meredam kekerasan.
"Stabilitas dan kemakmuran kawasan bergantung pada tindakan cepat," kata Duta Besar AS Linda Thomas-Greenfield pada pertemuan Dewan Keamanan bulan lalu.
"Apakah Dewan akan memperdebatkan bahasa dalam pernyataan lain atau akankah kita bertindak untuk menyelamatkan nyawa rakyat Burma?" tambahnya, menggunakan nama lama Myanmar, Burma.
Tak hanya Washington, utusan PBB untuk Myanmar Christine Schraner Burgener memohon Dewan Keamanan (DK) untuk mengambil tindakan segera.
"Pertimbangkan semua alat yang tersedia untuk mengambil tindakan kolektif dan melakukan apa yang benar, apa yang layak diterima rakyat Myanmar dan mencegah bencana multi-dimensi di Asia," katanya.
"Jika kita menunggu hanya ketika mereka siap untuk berbicara, situasi di lapangan hanya akan memburuk. Pertumpahan darah akan segera terjadi."
Namun sayangnya, hal ini tak kunjung dilakukan DK PBB. Rusia dan China menentang hal tersebut.
Terbaru, Kamis (6/5/2021), 200 organisasi hak asasi manusia, termasuk Human Rights Watch dan Amnesty International, mendorong DK PBB untuk mengaplikasikan emabrgo persenjataan ke Myanmar. Hal tersebut untuk merespon situasi yang tak kunjung membaik.
"Menerapkan embargo persenjataan global di Myanmar adalah hal minimum yang perlu diambil oleh DK PBB untuk merespon kekerasan oleh junta militer," ujar ke-200 organisasi tersebut dalam pernyataan bersamanya.