'Pandemi' APBN & Wacana Kenaikan Tarif PPN

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
07 May 2021 03:24
THR PNS
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Edward Ricardo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) meninggalkan jejak di mana-mana. Termasuk di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Pandemi yang diatasi dengan pembatasan sosial (social restriction) membuat aktivitas dan mobilitas manusia menjadi terbatas. Akibatnya, 'roda' ekonomi tidak bisa berputar kencang dan Indonesia terpaksa masuk 'jurang' resesi.

Saat ekonomi 'mati suri', demikian pula setoran pajak. Sebab, pajak adalah cerminan dari aktivitas ekonomi. Pajak dibayar saat ada tambahan kekayaan (Pajak Penghasilan/PPh) atau transaksi (Pajak Pertambahan Nilai/PPN).

Padahal APBN sangat dibutuhkan kala dunia usaha dan rumah tangga belum bisa diandalkan sebagai motor penggerak perekonomian. APBN memberikan stimulus agar dunia usaha rumah tangga bisa bertahan menghadapi pukulan pandemi.

Belanja negara melonjak luar biasa. Dalam APBN 2020 dan 2021, pemerintah menganggarkan stimulus fiskal ratusan triliun dengan nama program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Tahun lalu, realisasi penyerapan anggaran PEN adalah Rp 579,31 triliun dan tahun ini disediakan dana Rp 699,43 triliun yang hingga 15 April 2021 terserap Rp 134,07 triliun.

Semua ini dilakukan saat penerimaan pajak masih 'berdarah-darah'. Pada kuartal I-2020, penerimaan pajak tercatat Rp 228,13 triliun, turun 5,58% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Oleh karena itu, mau tidak mau pemerintah harus lebih banyak berutang demi membiayai stimulus fiskal. Hingga akhir Maret 2021, total utang pemerintah adalah Rp 6.445,07 triliun, melonjak 24,12% dibandingkan Maret 2020.

"Posisi utang pemerintah per akhir Maret 2021 berada di angka Rp 6.445,07 triliun dengan rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 41,64%. Secara nominal, posisi utang pemerintah pusat mengalami peningkatan dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, hal ini disebabkan kondisi ekonomi Indonesia yang masih berada dalam fase pemulihan akibat penurunan ekonomi yang terjadi di masa pandemi Covid-19," sebut laporan APBN Kita edisi April 2021.

Halaman Selanjutnya --> Wacana Kenaikan Tarif PPN Mulai Dibuka

Dalam UU No 17/2003, dinyatakan bahwa defisit APBN dibatasi maksimal 3% PDB setiap tahunnya. Namun UU No 2/2020, disebutkan bahwa pemerintah diberi keleluasaan untuk menaikkan defisit anggaran menjadi di atas 3% PDB karena pandemi virus corona. Keleluasaan ini tidak selamanya, pada 2023 harus sudah kembali seperti UU No 17/2003.

Oleh karena itu, pemerintah harus mulai putar otak agar tidak terjadi hard landing. Kuncinya ada di APBN 2022, yang menjadi tahun terakhir defisit boleh di atas 3% PDB.

Untuk APBN 2021, defisit anggaran diperkirakan sebesar 5,7% PDB. Tahun depan rencananya diturunkan menjadi 4,51-4,86% PDB.

Salah satu caranya adalah dengan mulai menggenjot setoran pajak. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberi bocoran seputar 'jurus' yang akan ditempuh pemerintah.

"Meningkatkan tax ratio dan meningkatkan basis pajak. Kita akan melaksanakan cukai plastik dan PPN. Struktur perekonomian akan memberikan kontribusi perpajakan dan tidak bergantung kepada satu sektor saja dengan diversifikasi seperti pertanian, manufaktur, perdagangan, dan lain-lain bisa kontribusi dalam penerimaan negara," jelas Sri Mulyani dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional 2021, kemarin.

Soal PPN, pemerintah punya wacana untuk menaikkan tarif. Saat ini, tarif PPN adalah 10%.

pajakPaparan Menkeu dalam acara Musrenbangnas 2021 (Sumber: Kementerian Keuangan)

Halaman Selanjutnya --> PPN Naik, Harga Barang Naik

Ide ini cukup kontroversial. Kenaikan PPN akan dirasakan oleh semua orang yang bertransaksi di Indonesia tanpa pandang bulu. Kaya, miskin, semua harus membayar PPN untuk setiap barang dan jasa yang dikonsumsi.

Jadi kalau tarif PPN naik, maka harga barang dan jasa yang dibayar masyarakat otomatis ikut terungkit. Tentu akan sangat mempengaruhi daya beli.

Padahal ekonomi Indonesia sangat bergantung kepada daya beli masyarakat. Sebab, lebih dari separuh PDB Tanah Air disumbangkan oleh konsumsi rumah tangga.

Pada kuartal I-2020, PDB Indonesia mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) 0,74% yoy. Penyebab utamanya adalah konsumsi rumah tangga yang tumbuh -2,23% yoy.

"Pertumbuhan ekonomi triwulan I-2021 yang terkontraksi 0,74% kalau dilihat dari sumber pertumbuhan ekonominya, konsumsi rumah tangga merupakan sumber kontraksi yang terdalam yaitu sebesar -1,22%," ungkap Suhariyanto, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS).

Ketika tarif PPN naik, yang kemudian diikuti kenaikan harga barang dan jasa, tentu menjadi tantangan tersendiri untuk mendorong konsumsi lebih tinggi. Saat konsumsi sulit didongkrak, maka pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan sulit terangkat.

"Indonesia membutuhkan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6% untuk lepas dari middle income trap hingga 2045," kata Suharso Monoarfa, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional.

Kalau konsumsi rumah tangga tertahan karena kenaikan PPN, maka target 6% itu bukan hal gampang untuk tercapai. Jangan-jangan Indonesia akan selamanya menjadi negara berpendapatan menengah, tidak bisa 'naik kelas' jadi negara berpendapatan tinggi.

Belajar dari pengalaman di Jepang, kenaikan tarif PPN akan langsung menurunkan konsumsi. Pada 1997, pemerintah Negeri Matahari Terbit menaikkan tarif PPN dari 3% jadi 5%. Hasilnya, konsumsi rumah tangga terkontraksi 0,76% pada 1998.

Pada 2014, tarif PPN kembali dinaikkan dari 5% menjadi 8% dan pada Oktober 2015 naik lagi jadi 10%. Pada 2016, konsumsi rumah tangga tumbuh -0,93%.

Mengutip laporan Japan Research Institute (JRI), kenaikan tarif PPN akan menaikkan harga barang dan jasa sebesar 0,9%. Ini akan membuat pengeluaran konsumen bekurang 0,6% dan berdampak 0,4% terhadap PDB.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular