
Waw! Sri Mulyani Sebut Commodity Boom Bisa Terulang Lagi

Jakarta, CNBC Indonesia - Pulihnya ekonomi global membawa kekhawatiran bagi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akan terjadinya ledakan komoditas atau commodity boom, yang ditandai dengan kenaikan harga komoditas.
Sri Mulyani menjelaskan saat ini pemerintah terus mengawasi bukan hanya risiko dari pandemi Covid-19, tapi juga adanya resiko ekonomi secara eksternal dan domestik terhadap ekonomi Indonesia di tahun ini dan tahun depan.
"Pemulihan beberapa negara besar dalam perekonomian seperti RRT dan Amerika Serikat, serta Eropa akan membuat harga komoditas alami peningkatan sangat kuat. Ini mirip seperti tahun 2009 yang akan memunculkan boom komoditas yang mungkin harus diantisipasi, positif ataupun negatif," jelas Sri Mulyani dalam acara Musrenbangnas secara virtual, Selasa (4/5/2021).
Oleh karena itu, perubahan kebijakan fiskal dan moneter di negara maju akan menimbulkan spill over dalam bentuk inflasi, suku bunga global, dan berujung kepada volatilitas nilai tukar rupiah dan capital flow.
"Disparitas pemulihan ekonomi dunia, menyebabkan perubahan dan dinamika antar negara termasuk sisi stimulus dan kemampuan untuk memperoleh vaksin," ujarnya.
"Sehingga penerimaan negara akan sangat bergantung pada kondisi dunia usaha harga komoditas dan bagaimana akselerasi pemulihan ekonomi kita," kata Sri Mulyani melanjutkan.
Untuk diketahui, sejak tahun 2000 dunia berada di fase commodity boom yang ditandai dengan kenaikan harga komoditas.
Dalam laporan resmi Bank Dunia yang diterbitkan pada 2015-2016, selama periode commodity boom di Indonesia, semua indikator makroekonomi menunjukkan penguatan fundamental ekonomi.
Mulai dari neraca pembayaran surplus, rupiah mengalami apresiasi, peningkatan cadangan devisa, dan kebijakan moneter yang longgar untuk mendukung kebijakan pertumbuhan ekonomi.
Kendati demikian, segera setelah ledakan komoditas berakhir, fundamental makro ekonomi memburuk. Pada 2012, Indonesia mengalami defisit perdagangan untuk pertama kalinya sejak sebelum krisis keuangan Asia.
"Pada kuartal kedua tahun 2014, defisit transaksi berjalan terhadap PDB mencapai sekitar 4,3%," seperti dikutip dalam laporan Bank Dunia bertajuk 'The Effect of Commodity Boom on Indonesia's Macroeconomic Fundamentals and Industrial Development' dikutip Selasa (4/5/2021).
Dengan kelas konsumen yang tumbuh, permintaan barang dan jasa impor tinggi, namun pasokan domestik tidak cukup cepat dalam merespon.
Transformasi struktural yang lambat dengan tingkat ketergantungan pada ekspor komoditas yang tinggi selama ledakan komoditas, menyebabkan ekspor melemah ketika ledakan tersebut berakhir pada akhir tahun 2011.
Sementara itu, ekspor manufaktur dan jasa tidak dapat mengimbangi ekspor komoditas yang lemah dan depresiasi rupiah juga tidak banyak membantu.
Dalam laporannya tersebut, Bank Dunia menyarankan agar Indonesia harus belajar dari negara lain dalam mengelola pendapatan sumber daya-nya, seperti melalui anggaran komoditas yang dirancang agar sesuai dengan kekhususan domestiknya.
"Reindustrialisasi, meningkatkan produktivitas pertanian di luar minyak sawit dan memanfaatkan potensi negara di sektor jasa termasuk pariwisata dan industri kreatif juga diperlukan untuk mendorong diversifikasi produksi dan perdagangan," jelas Bank Dunia.
(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sri Mulyani 'Ogah' Terlena Commodity Boom, Ini Alasannya