
Maaf Junta Militer, Ekonomi Myanmar Makin 'Longsor'

Jakarta, CNBC Indonesia - Sebelum pemilu November 2020 lalu, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan Myanmar akan bangkit kembali dengan kuat. Ekonomi tumbuh sekitar 6% pada 2021 selama pandemi Covid-19.
Namun, harapan tumbuhnya ekonomi pupus tak lama setelah junta militer melakukan kudeta pada 1 Februari 2021 lalu. Ramalan terbaru Bank Dunia mengungkapkan ekonomi Myanmar berada dalam "bahaya yang mengerikan".
Ekonomi Burma diproyeksikan akan berkontraksi sebesar 10% tahun ini karena dampak dari pengambilalihan militer. Selama 80 hari setelah kudeta, tanda ekonomi terjun bebas semakin meluas.
Investasi baru mengering, banyak penarikan investasi, serta penghentian proyek infrastruktur utama yang didukung investor internasional. Hal ini terjadi ketika banyak negara Barat menjatuhkan sanksi kepada rezim militer.
Kelompok bisnis Barat termasuk kamar dagang Amerika Serikat, Inggris Raya, Eropa, Italia, dan Prancis menolak undangan rezim untuk bertemu dengan anggota kabinetnya pada Maret. Selain itu, hampir 50 perusahaan internasional termasuk Coca-Cola, Telenor dan Heineken, menandatangani pernyataan bersama yang mengungkapkan keprihatinan mendalam atas perkembangan di Myanmar.
Dikutip media lokal The Irrawaddy, jumlah perusahaan baru di Myanmar merosot. Angka pendaftaran perusahaan dari badan investasi pemerintah, Direktorat Investasi dan Administrasi Perusahaan (DICA), mengungkapkan penurunan besar jumlah perusahaan baru yang terdaftar.
Data DICA menunjukkan jumlah perusahaan baru yang terdaftar adalah 1.373 pada Januari, 188 pada Februari dan 163 pada Maret. Angka tersebut mengungkapkan bahwa jumlah perusahaan yang terdaftar telah menurun hampir 87% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Pada tahun 2020, di bawah pemerintahan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) dan bahkan dengan krisis Covid-19, jumlah perusahaan baru yang terdaftar adalah 1.415 pada Januari. Di Februari angkanya tercatat 1.298 dan 1.015 pada Maret.
Selain itu, pembatasan internet oleh rezim terus melumpuhkan ekonomi digital dan pasar Fintech. Pemadaman internet telah mempengaruhi segalanya, mulai dari uang seluler hingga e-commerce dan layanan pengiriman makanan online.
Akses ke layanan uang seluler termasuk uang Wave dan pembayaran KZB telah dilumpuhkan sejak Maret, ketika rezim memblokir layanan internet dan broadband seluler. Bisnis e-commerce turun 75%, sementara layanan pengiriman makanan online secara nasional turun 80% setelah kudeta.
"Akibatnya, ribuan anak muda sekarang kehilangan pekerjaan," tulis media itu.
Dampak kudeta adalah membalikkan reformasi ekonomi negara dan kemajuan ekonomi yang dibuat selama dekade terakhir. Kudeta telah mendorong Myanmar, yang sebelumnya merupakan salah satu ekonomi dengan pertumbuhan tercepat di kawasan ASEAN, kembali ke dalam kemiskinan yang parah dan membuat ekonominya di ambang kehancuran.
(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Myanmar 'Shut Down', Ekonomi Negeri Burma Terancam Mati Total