Ekonomi Dunia Bakal Tumbuh Tinggi, Gimana Nasib RI?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
27 April 2021 12:23
Bongkar Muat Gula di Pelabuhan Tanjung Priok
Foto: Bongkar Muat Gula di Pelabuhan Tanjung Priok (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Optimisme terhadap kebangkitan ekonomi belum memudar, bahkan semakin kencang. Namun risiko tetap sangat tinggi, terutama datang dari pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).

Reuters menggelar jajak pendapat terhadap lebih dari 500 ekonom/analis di 44 negara. Hasilnya, ekonomi dunia diramal tumbuh 5,9% tahun ini. Jika terwujud, maka akan menjadi laju tercepat sejak 1973.

"Pemulihan ekonomi dunia berada di jalur yang benar, meski kita masih harus berperang melawan virus corona. Setiap negara kami perkirakan mengalami rebound di pertumbuhan ekonomi," sebut Janet Henry, Global Chief Economist HSBC.

Amerika Serikat (AS) diperkirakan kembali menjadi lokomotif ekonomi dunia. Ya, semakin hari tanda-tanda kebangkitan ekonomi Negeri Stars and Stripes memang semakin terlihat nyata.

Sejumlah data memberi konfirmasi akan hal itu. Pertama, Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) cabang Dallas melaporkan indeks aktivitas bisnis pada April 2021 sebesar 37,3. Ini adalah yang tertinggi sejak Juni 2019.

Kedua, pemesanan barang tahan lama (durable goods) pada Maret 2021 naik 0,5% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Membaik dibandingkan bulan sebelumnya yang terkontraksi (tumbuh negatif) 0,9% mtm.

AS adalah kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Kala AS pulih, maka permintaan akan naik dan mendongrak kinerja ekspor negara lain, termasuk Indonesia. Saat permintaan ekspor tumbuh, aktivitas produksi akan bergairah dan berdampak ke penciptaan lapangan kerja.

Oleh karena itu, 51% responden dalam jajak pendapat Reuters memperkirakan pemulihan ekonomi akan lebih cepat dari perkiraan semula. Hanya 15% yang 'meramal' pemulihan bakal berjalan lebih lambat.

Akan tetapi, para ekonom/analis memperingatkan bahwa risiko yang membayangi perekonomian dunia masih sangat tinggi. Apa lagi kalau bukan pandemi virus corona.

"Jadi pemulihan akan tergantung dari bagaimana pemerintah masing-masing negara untuk menekan pandemi, distribusi vaksin, perbaikan struktur ekonomi, keinginan masyarakat untuk berbelanja, dan kebijakan stimulus," lanjut Henry.

growthSumber: Reuters

Halaman Selanjutnya --> Mobilitas Terbatas, Konsumsi Belum Beringas

Saat berbagai pihak optimistis dengan perekonomian dunia, situasi yang agak berbeda berlaku buat Indonesia. Beberapa institusi justru merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi Tanah Air untuk 2021.

Dana Moneter Internasional (IMF) menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk 2021 dari 4,8% menjadi 4,3%. Pun Bank Indonesia (BI) yang merevisi ke bawah 'ramalan' pertumbuhan ekonomi dari 4,3-5,3% menjadi 4,1-5,1%.

Meski ekspor sepertinya bakal melejit seiring pertumbuhan permintaan eksternal, tetapi rasanya konsumsi rumah tangga masih agak tertahan. Padahal konsumsi rumah tangga adalah komponen vital dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) dengan sumbangan lebih dari 50%.

"Ini tidak terlepas dari mobilitas masyarakat. Pemerintah sedang gencar-gencarnya melakukan vaksinasi. Kita lihat memang pada triwulan I dan II meskipun terjadi vaksinasi tentu ada pembatasan mobilitas manusia. Itu yang menyebabkan tingkat kenaikan konsumsi tidak setinggi yang kami perkirakan," jelas Perry Warjiyo, Gubernur BI, pekan lalu.

Mobilitas adalah kunci dari konsumsi. Ketika masyarakat masih lebih memilih untuk #dirumahaja maka permintaan akan tetap terbatas.

Inilah yang masih terjadi sekarang. Mengutip Covid-19 Community Mobility Report keluaran Google, terlihat bahwa aktivitas masyarakat di rumah masih lebih tinggi dibandingkan kondisi normal. Sementara kunjungan ke tempat-tempat di luar rumah belum kembali ke masa sebelum pandemi.

Halaman Selanjutnya --> Kuncinya adalah Vaksinasi

Oleh karena itu, kunci untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat agar berani beraktivitas di luar rumah adalah vaksin anti-virus corona. Vaksin, jika efektif, akan menurunkan risiko tertular virus yang awalnya mewabah di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China tersebut.

Saat ini Indonesia menggunakan dua vaksin yaitu buatan perusahaan asal China, Sinovac, dan AstraZeneca-Universitas Oxford dari Inggris. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan vaksin Sinovac punya tingkat kemanjuran atau efikasi 65,3% dan AstraZeneca 61,2%. Keduanya berada di atas ambang batas penggunaan darurat yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yaitu minimal 50%.

Per 25 April 2021, jumlah vaksin yang sudah disuntikkan ke lengan rakyat Indonesia adalah 18,57 juta dosis. Sementara jumlah penduduk yang sudah menerima vaksinasi penuh (dua dosis) adalah 6,83 juta orang, Indonesia berada di peringkat enam dunia.

coronaSumber: Our World in Data

Namun ingat, target vaksinasi adalah mencapai kekebalan kolektif (herd immunity) yang akan terwujud saat sebagian besar populasi sudah disuntik vaksin. Ketika herd immunity terjadi, maka rantai penularan akan terputus sehingga pandemi bisa diakhiri.

Per 25 April 2021, baru 2,5% penduduk Indonesia yang sudah mendapatkan vaksinasi penuh. Masih jauh dari target 60-70% untuk menciptakan herd immunity.

Persoalan menjadi pelik karena pasokan vaksin semakin terbatas. Keterbatasan pasokan ini mendorong pemerintah untuk mengatur ulang pelaksanaan vaksinasi sehingga tidak bisa secepat dulu.

Pada 25 April 2021, rata-rata tujuh harian vaksinasi di Indonesia adalah 244.617 dosis/hari. Jauh dari target yang dicanangkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yaitu 1 juta dosis/hari.

So, untuk membuat mobilitas masyarakat pulih maka laju vaksinasi harus dipercepat. Namun masalahnya, sekarang ketersediaan vaksin tidak melimpah ruah sehingga untuk menjaga vaksinasi bisa terlaksana setiap hari maka jumlahnya harus dikurangi.

Jadi, kuncinya adalah pasokan vaksin memang harus ditambah. Tentu bukan urusan mudah...

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular