Internasional

Myanmar Ditinggal, Industri Garmen ke Konstruksi 'Mati Suri'

Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia
21 April 2021 11:30
Anti-coup protesters walk past graffiti of deposed Myanmar President Win Myint, right and leader Aung San Suu Kyi in Yangon, Myanmar Wednesday, March 17, 2021. (AP Photo)
Foto: AP/

Jakarta, CNBC Indonesia - Sekitar 200.000 pekerja industri garmen diĀ Myanmar kehilangan pekerjaan mereka pasca kudeta militer pada 1 Februari. Aktivis hak buruh Ye Naing Win mencatat beberapa merek terkenal di sektor garmen, seperti pengecer mode H&M dan Next, sudah menarik diri dari negara tersebut.

"Merek-merek terkenal di sektor garmen telah mundur," kata Ye Naing Win, menambahkan hal ini terjadi di tengah pengetatan sanksi oleh Uni Eropa, pasar ekspor tekstil utama bagi Myanmar.

Ye Naing Win mengatakan industri garmen, yang telah kehilangan sekitar 200.000 pekerjaan karena Covid-19, mempekerjakan setidaknya 700.000 orang sebelum pandemi diumumkan pada Maret 2020 lalu.

"Ada juga masalah ketenagakerjaan yang disebabkan oleh Covid-19, jadi banyak dampak negatifnya," ujarnya.

Penindasan brutal terhadap protes anti-kudeta dan penerapan darurat militer di pinggiran industri Yangon juga telah merugikan industri tersebut. Sebab banyak pekerja yang mengkhawatirkan keselamatan mereka telah kembali ke kampung halaman masing-masing.

Namun, bagi mereka yang memilih untuk tetap tinggal, karena enggan menghadapi pengangguran, harus berjuang keras. Kebanyakan pabrik beroperasi dengan kapasitas kurang.

Dilansir dari Myanmar Now, kini hampir semua industri sudah terkena dampak kudeta. Dari 300.000 pekerja konstruksi Yangon kini kehilangan pekerjaan karena penangguhan proyek bangunan besar.

Jutaan lainnya di sektor swasta, dari buruh umum hingga pekerja kantoran, juga menghadapi ketidakamanan pekerjaan. Bahkan industri yang telah berkembang pesat selama pandemi di negara lain, layanan berbasis internet, seperti Shop.com, Foodpanda, dan Grab, juga telah berhenti beroperasi.

Sementara itu, pegawai sektor publik dan staf perbankan yang ikut serta dalam Gerakan Pembangkangan Sipil juga harus mengorbankan pendapatan mereka untuk terus menekan militer agar menyerahkan kekuasaan kepada pro-demokrasi.

Terakhir kali Myanmar berada dalam situasi yang sama adalah selama pemberontakan pro-demokrasi nasional tahun 1988. Namun, pada saat itu, ekonomi sosialis negara itu sebagian besar sudah terputus dari dunia luar.

Perbedaannya hanya pada saat ini negara lebih bergantung pada perdagangan dan investasi asing. Sehingga lebih rentan terhadap efek isolasi internasional.


(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Baja Korea Putuskan Hubungan dengan Bisnis Junta Myanmar

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular