Internasional

Junta 'Digencet', Ramai Perusahaan Migas Keluar dari Myanmar

Tommy Patrio Sorongan, CNBC Indonesia
20 April 2021 14:04
Anti-coup protesters walk past graffiti of deposed Myanmar President Win Myint, right and leader Aung San Suu Kyi in Yangon, Myanmar Wednesday, March 17, 2021. (AP Photo)
Foto: AP/

Jakarta, CNBC Indonesia - Beberapa perusahaan eksplorasi dan produksi gas alam global telah memutuskan untuk menghentikan proyek pengembangan gas alam di Myanmar. Hal ini akibat kekhawatiran bahwa junta akan memperoleh pendapatan dari usaha tersebut.

Perusahaan minyak besar Malaysia, Petronas misalnya mengumumkan menghentikan produksi di ladang gas Yetagun di lepas pantai selatan Myanmar tanpa batas waktu. Perusahaan juga menyatakan force majeure atas "penurunan drastis tingkat produksi" sejak Januari dengan output "jauh di bawah tingkat penurunan teknis".

Woodside Petroleum Australia, yang mengembangkan ladang gas baru di lepas pantai Myanmar juga melakukan hal sama. Perusahaan itu mengutuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) akibat kekerasan yang dilakukan junta.

"Kami telah mengurangi kehadiran kami di dalam negeri dan demobilisasi penuh tim pengeboran eksplorasi lepas pantai kami telah selesai," ujar perusahaan dikutip dari Asia Nikkei Selasa (20/4/2021). Semua staf dan alat produksi bahkan sudah ditarik keluar sejak Maret.

Namun langkah ini tidak diikuti oleh raksasa energi Prancis, Total. Perusahaan yang menjalankan ladang gas bawah laut terbesar Myanmar dalam hal volume produksi, berencana untuk tetap melanjutkan produksi di sana.

Ladang tersebut memasok sekitar setengah dari gas alam Myanmar yang digunakan untuk pembangkit listrik. "Penghentian produksi akan sama dengan hilangnya listrik bagi jutaan orang," kata CEO Total Patrick Pouyanne dalam sebuah opini untuk sebuah surat kabar Prancis.

Sektor minyak dan gas alam Myanmar merupakan salah satu sumber pendapatan devisa bagi pemerintahan junta militer Myanmar saat ini. Maka itu banyak pihak menyuarakan akan penghentian sementara operasi gas alam disana.

"Sektor minyak dan gas adalah satu-satunya sumber pendapatan terbesar yang mengalir ke tangan perusahaan kriminal ini," kata Thomas Andrews, pelapor khusus PBB untuk HAM Myanmar dalam sidang Komite Hubungan Luar Negeri Senat pada akhir Maret.

"Jadi, penting ... kita menghentikannya."

Sebelumnya, negara-negara Barat bersama Jepang memberikan beberapa sanksi kepada pihak junta militer yang melakukan kudeta dan bertindak represif terhadap pendemo. Bahkan beberapa perusahaan yang berafiliasi dengan junta juga mendapatkan sanksi-sanksi ini.

Baru-baru ini perusahaan pengelola Pelabuhan Adani di India, Special Economic Zone Ltd, didepak dari indeks sustainability S&P Dow Jones karena hubungan bisnis perusahaan itu dengan militer Myanmar. Uni Eropa juga memberi tambahan sanksi baru, ke individu dan dua raksasa Myanmar.

Kondisi di Myanmar sendiri semakin hari semakin memprihatinkan. Gelombang unjuk rasa anti-kudeta yang meluas ditanggapi dengan kekerasan oleh pasukan keamanan yang dipimpin Jenderal Min Aung Hlaing.

Tercatat sudah lebih dari 700 orang tewas semenjak demo besar-besaran untuk menentang kudeta militer yang menggulingkan pemipin de facto dan aktivis demokrasi Aung San Suu Kyi pada 1 Februari lalu.

Kondisi ini diperparah dengan ancaman perang saudara setelah 10 milisi etnis bersenjata memberikan dukungan penuh kepada "pemerintahan tandingan" bentukan CRPH, mantan anggota parlemen pro Aung San Suu Kyi.


(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Gawat! Negara Tetangga RI Ini Terancam Perang Saudara

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular