Aturan Royalti Jokowi: Bikin Happy Musisi, Pengusaha Resah

Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
09 April 2021 15:25
Hari Pelanggan Nasional, D'Masiv Hibur Penumpang KRL

Jakarta, CNBC Indonesia - Menciptakan sebuah lagu yang enak didengar dan dapat diterima oleh masyarakat bukanlah pekerjaan yang mudah. Hal ini membutuhkan waktu dan biaya yang relatif tidak murah.

Maka, wajar sebuah hasil karya cipta berupa lagu atau musik patut dilindungi dan diapresiasi. Apalagi, jika lagu tersebut dipergunakan untuk tujuan komersil hingga menjadi sebuah profesi yang menguntungkan bagi seseorang.

Bentuk perlindungan terhadap pencipta lagu memang telah diatur dalam Undang-Undang (UU) 28/2014 tentang Hak Cipta. Aturan ini melindungi setiap karya cipta di bidang pengetahuan, seni, yang dihasilkan atas inspirasi, hingga imajinasi.

Dalam Pasal 40 UU Hak Cipta, musik menjadi salah satu ciptaan yang dilindungi. Pencipta musik berhak atas hak moral dan hak ekonomi atas karya yang mereka ciptakan.

Namun, masih ada saja yang melanggar ketentuan dalam aturan tersebut. Terbukti hingga kini, masih ada sejumlah bisnis karaoke yang melanggar hak cipta lagu yang dikomersilkan.

Seperti pada 2020 lalu, PT AS Industri Rekaman Indonesia (Asirindo) melaporkan 15 tempat karaoke karena dianggap melanggar hak cipta dengan menggunakan lagu tanpa izin dan tidak membayar royalti atas penggunaan lagu yang dikomersialkan secara luas.

Kini, musisi Tanah Air setidaknya bisa bernapas lega. Pemerintah resmi mengeluarkan aturan pengelolaan royalti hak cipta lagu untuk layanan publik komersial.

Hak royalti lagu dan musik yang dimaksud akan diberikan kepada para pencipta, pemegang hak cipta, hingga pemilik lagu atau musiknya yang digunakan secara komersial.

Jokowi Beri Angin Segar Buat Musisi

Aturan royalti lagu dan musik tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) 56/2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu atau Musik yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 30 Maret lalu.

Aturan ini secara tidak langsung mempertegas UU Hak Cipta, di mana kafe, diskotek, hingga bazar yang memutarkan lagu atau musik untuk keperluan komersial akan dikenakan tarif royalti lagu atau musik.

Royalti yang dimaksud akan dibayarkan kepada pencipta atau pemegang hak cipta lagu atau musik melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), bunyi pasal 3 ayat (1).

Adapun besaran royalti yang harus dibayarkan ditetapkan oleh LMKN yang beranggotakan pencipta dan pemilik hak terkait. Besaran yang dimaksud nantinya akan disahkan oleh menteri terkait.

Selain menarik royalti untuk pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait yang telah menjadi anggota dari suatu LMK, LMKN juga bakal menarik royalti untuk pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait yang belum menjadi anggota LMK.

Royalti yang telah dihimpun LMKN selanjutnya akan didistribusikan kepada pencipta, pemegang hak cipta, pemilik hak terkait yang telah menjadi anggota LMKN. Royati, pun akan digunakan sebagai dana operasional dan dana cadangan.

Selain menjamin hak royalti, aturan ini juga mengamanatkan untuk membuat pusat lagu dan musik, yang pencatatannya dilakukan oleh menteri terkait berdasarkan permohonan.

Permohonan ini harus diajukan secara elektronik kepada menteri oleh pencipta, pemegang hak cipta, pemilik hak terkait, atau kuasa, dikutip dalam Pasal 4 Ayat (2) aturan tersebut.

"Semua lagu atau musik yang telah dicatatkan dalam daftar umum ciptaan dimasukkan ke dalam pusat data lagu atau musik," tulis pasal 5.

Nantinya, pusat data lagu yang dimaksud akan dikelola oleh Direktorat Jenderal dan dapat diakses oleh LMKN sebagai dasar pengelola royalti, dan para pencipta, pemegang hak cipta, pemilik hak cipta, atau kuasa.

"Akan ada sistem informasi lagu dan musik juga tentang data center music, lagu indonesia yang hampir puluhan juta tidak terdata dengan baik," kata Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual KemenkumHAM Freddy Harris.

Pusat data lagu akan memuat paling sedikit memuat informasi mengenai penulis lirik, pengarah musik, penerbit musik, ahli waris pencipta, produser, judul lagu, dan lain-lainnya.

"Pusat data lagu atau musik dilakukan pembaharuan data secara berkala setiap tiga bulan atau sewaktu-waktu jika diperlukan," tulis pasal 7 ayat (3).

Jokowi, dalam pertimbangannya mengeluarkan aturan ini mengatakan bahwa kewajiban pemberlakuan royalti dilakukan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak ekonomi atas karya mereka.

Aturan ini diteken Jokowi pada 30 Maret, dan diundangkan satu hari setelahnya oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna H. Laoly.

Pemerintah memberlakukan aturan pembayaran royalti bagi pelaku kafe, restoran hingga ritel yang menyetel lagu yang berlaku efektif 30 Maret lalu.
Sontak aturan ini mendapat protes dari kalangan pelaku usaha karena penerapannya di saat masa pandemi Covid-19. Padahal, pembicaraan mengenai royalti ini sudah ada sejak beberapa tahun silam, sebelum adanya pandemi.

Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey mengungkapkan bahwa mulanya pembicaraan berjalan dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) bersertifikasi, namun kemudian ditindaklanjuti oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional di bawah Kementerian Hukum dan HAM.

"Kita sudah meeting dengan LMKM, kita mau regulasi yang resmi dengan Pemerintah bukan LSM bersertifikat tadi. Dari pembicaraan bersama LMKM jauh sebelum pandemi, Kita sudah jauh-jauh hari bilang ini perlu dibangun edukasi dan sosialisasi, kepada pelaku usaha, perlu dibincangkan mengenai tarifnya. Karena kaitan tarif kita sebagai pelaku usaha yang dikenakan sebagai target pembayaran, target kewajiban," sebutnya kepada CNBC Indonesia.

Roy mengaku anggotanya siap mengikuti aturan ketika tarifnya sesuai dan momen yang pas. Namun, di masa pandemi saat ini sudah banyak toko ritel yang tidak kuat menahan biaya operasional. Karenanya, tidak sedikit yang akhirnya tutup, misalnya seperti Giant, Ramayana dan toko-toko ritel besar lainnya. Sehingga untuk buka operasional saja sudah bagus.

"Karena kalo tarifnya bisa diterima oke-oke aja, tapi kalau tarifnya nggak bisa diterima karena ketinggian atau memberatkan, gimana kita mau operasi buka toko. Yang ada makin banyak yang menutup. Ujung-ujungnya PHK. PPN, PPH, PAD daerah hilang, ujung-ujungnya Investasi dicabut, UMKM yang biasa taruh di toko tersebut nanti nggak bisa perdagangkan, kan multiplier effect," paparnya.

PP soal royalti lagu ini ditandatangani oleh Presiden Jokowi pada 30 Maret 2021 dan diundangkan oleh Menkumham Yasonna Laoly pada 31 Maret 2021.

"Untuk memberikan pelindungan dan kepastian hukum terhadap Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan pemilik Hak Terkait terhadap hak ekonomi atas lagu dan/atau musik serta setiap Orang yang melakukan Penggunaan Secara Komersial lagu dan/atau musik dibutuhkan pengaturan mengenai Pengelolaan Royalti Hak Cipta lagu dan/atau musik," demikian bunyi pertimbangan PP 56/2021.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular