
Awas Migas & Batu Bara, Ada "Ancaman" US$2 T dari Biden!

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden ke-46 AS Joe Biden punya ambisi besar dalam menangani masalah perubahan iklim dan menyelamatkan perekonomian Paman Sam dari jerat resesi akibat pandemi Covid-19.
Politisi partai Demokrat sekaligus mantan wakil presiden era Barrack Obama tersebut mengajukan proposal pembangunan infrastruktur senilai US$ 2 triliun. Fokus proposal tersebut adalah transisi ekonomi AS yang masih bergantung pada bahan bakar fosil ke ekonomi yang lebih sustainable dengan energi terbarukan.
Biden memang visioner karena mengejar target dekarbonisasi sektor pembangkit listrik pada 2035 dan zero emisi karbon pada 2050. Apa yang paling mencolok dari proposal Biden yang disampaikan di Pittsburgh itu adalah anggaran yang dialokasikan untuk sektor transportasi.
Besarannya paling 'gede'. Tak tanggung-tanggung nilainya mencapai US$ 621 miliar. Dengan anggaran sebesar itu Biden berencana untuk mengalokasikan sebagian lagi atau kurang lebih sebesar US$ 174 miliar untuk membangun infrastruktur mobil listrik.
![]() |
Selama ini kendaraan yang digunakan di berbagai tempat masih menggunakan bensin atau jenis bahan bakar fosil lain. Hanya sedikit sekali yang menggunakan bahan bakar alternatif.
Fokus Biden untuk menggeser dari fossil fuel based economy menjadi ke arah yang lebih ramah lingkungan memang bukan main-main. Manuver pertama yang dilakukan adalah memasukkan kembali AS ke dalam Perjanjian Paris.
Manuver lainnya yang dilakukan Biden adalah dengan membuat perintah eksekutif untuk menghentikan sewa minyak dan gas alam baru di lahan dan perairan publik, dan mulai meninjau secara menyeluruh atas izin yang ada untuk pengembangan bahan bakar fosil.
"Bagi saya yang diuntungkan paling besar adalah industri mobil listrik dan yang dirugikan adalah konsumsi minyak untuk sektor dan tujuan transportasi" kata Seth Schwartz, presiden Energy Ventures Analysis dalam sebuah wawancara sebagaimana dilaporkan oleh S&P Global.
Proposal tersebut juga mendapat sorotan dari asosiasi industri minyak AS atau yang dikenal dengan The American Petroleum Institute (API). Menurut mereka proposal tersebut kurang mampu mencakup kebutuhan infrastruktur secara menyeluruh.
Rencana Biden tak bisa dibilang mulus, lawan Biden tak hanya para produsen minyak di Paman Sam tetapi juga kongres yang suaranya terpecah. Beberapa Demokrat dan aktivis lingkungan khawatir momentum ini tak bisa dimanfaatkan untuk membawa perubahan.
Beberapa anggota Partai Republik yang menentang paket bantuan pandemi Biden juga mengutuk tujuan presiden untuk memasukkan kebijakan iklim ke dalam undang-undang infrastruktur.
Rep Sam Graves, R-Mo., dari Partai Republik di Komite Transportasi dan Infrastruktur DPR, mengatakan dia akan bekerja dengan Demokrat di bidang infrastruktur tetapi memprioritaskan masalah iklim tidak akan menerima dukungan GOP (partai Republik).
"Undang-undang transportasi harus menjadi undang-undang transportasi, bukan Green New Deal," kata Graves dalam sidang Kamis. "Ini harus tentang jalan dan jembatan."
Paul Bledsoe, mantan penasihat iklim Gedung Putih Clinton yang sekarang bekerja di Progressive Policy Institute, mengatakan tujuan Biden adalah untuk mendorong perekonomian dan menciptakan lapangan kerja baru selama transisi dari bahan bakar fosil.
"Membuat mobil dan truk listrik untuk Amerika, menciptakan jaringan pintar nasional, memperluas penyimpanan listrik untuk memungkinkan lebih banyak energi terbarukan, membangun internet berkecepatan tinggi universal - semua ini dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing ekonomi, sekaligus mengurangi emisi," kata Bledsoe sebagaimana diwartakan CNBC.
"Untuk mendapatkan dukungan seluas-luasnya di Kongres, Biden harus menekankan manfaat ekonomi dan pekerjaan dari investasi ini terlebih dahulu, bukan hanya manfaat iklim," tambah Bledsoe.
