Internasional

Awas Migas & Batu Bara, Ada "Ancaman" US$2 T dari Biden!

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
02 April 2021 11:30
Biden
Foto: AP/Evan Vucci

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden ke-46 AS Joe Biden punya ambisi besar dalam menangani masalah perubahan iklim dan menyelamatkan perekonomian Paman Sam dari jerat resesi akibat pandemi Covid-19.

Politisi partai Demokrat sekaligus mantan wakil presiden era Barrack Obama tersebut mengajukan proposal pembangunan infrastruktur senilai US$ 2 triliun. Fokus proposal tersebut adalah transisi ekonomi AS yang masih bergantung pada bahan bakar fosil ke ekonomi yang lebih sustainable dengan energi terbarukan.

Biden memang visioner karena mengejar target dekarbonisasi sektor pembangkit listrik pada 2035 dan zero emisi karbon pada 2050. Apa yang paling mencolok dari proposal Biden yang disampaikan di Pittsburgh itu adalah anggaran yang dialokasikan untuk sektor transportasi.

Besarannya paling 'gede'. Tak tanggung-tanggung nilainya mencapai US$ 621 miliar. Dengan anggaran sebesar itu Biden berencana untuk mengalokasikan sebagian lagi atau kurang lebih sebesar US$ 174 miliar untuk membangun infrastruktur mobil listrik.

Americans Plan

Selama ini kendaraan yang digunakan di berbagai tempat masih menggunakan bensin atau jenis bahan bakar fosil lain. Hanya sedikit sekali yang menggunakan bahan bakar alternatif.

Fokus Biden untuk menggeser dari fossil fuel based economy menjadi ke arah yang lebih ramah lingkungan memang bukan main-main. Manuver pertama yang dilakukan adalah memasukkan kembali AS ke dalam Perjanjian Paris.

Manuver lainnya yang dilakukan Biden adalah dengan membuat perintah eksekutif untuk menghentikan sewa minyak dan gas alam baru di lahan dan perairan publik, dan mulai meninjau secara menyeluruh atas izin yang ada untuk pengembangan bahan bakar fosil.

"Bagi saya yang diuntungkan paling besar adalah industri mobil listrik dan yang dirugikan adalah konsumsi minyak untuk sektor dan tujuan transportasi" kata Seth Schwartz, presiden Energy Ventures Analysis dalam sebuah wawancara sebagaimana dilaporkan oleh S&P Global.

Proposal tersebut juga mendapat sorotan dari asosiasi industri minyak AS atau yang dikenal dengan The American Petroleum Institute (API). Menurut mereka proposal tersebut kurang mampu mencakup kebutuhan infrastruktur secara menyeluruh.

Rencana Biden tak bisa dibilang mulus, lawan Biden tak hanya para produsen minyak di Paman Sam tetapi juga kongres yang suaranya terpecah. Beberapa Demokrat dan aktivis lingkungan khawatir momentum ini tak bisa dimanfaatkan untuk membawa perubahan.

Beberapa anggota Partai Republik yang menentang paket bantuan pandemi Biden juga mengutuk tujuan presiden untuk memasukkan kebijakan iklim ke dalam undang-undang infrastruktur.

Rep Sam Graves, R-Mo., dari Partai Republik di Komite Transportasi dan Infrastruktur DPR, mengatakan dia akan bekerja dengan Demokrat di bidang infrastruktur tetapi memprioritaskan masalah iklim tidak akan menerima dukungan GOP (partai Republik).

"Undang-undang transportasi harus menjadi undang-undang transportasi, bukan Green New Deal," kata Graves dalam sidang Kamis. "Ini harus tentang jalan dan jembatan."

Paul Bledsoe, mantan penasihat iklim Gedung Putih Clinton yang sekarang bekerja di Progressive Policy Institute, mengatakan tujuan Biden adalah untuk mendorong perekonomian dan menciptakan lapangan kerja baru selama transisi dari bahan bakar fosil.

"Membuat mobil dan truk listrik untuk Amerika, menciptakan jaringan pintar nasional, memperluas penyimpanan listrik untuk memungkinkan lebih banyak energi terbarukan, membangun internet berkecepatan tinggi universal - semua ini dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing ekonomi, sekaligus mengurangi emisi," kata Bledsoe sebagaimana diwartakan CNBC.

"Untuk mendapatkan dukungan seluas-luasnya di Kongres, Biden harus menekankan manfaat ekonomi dan pekerjaan dari investasi ini terlebih dahulu, bukan hanya manfaat iklim," tambah Bledsoe.

Sebagai negara dengan perekonomian nomor wahid di dunia, AS masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil. Menurut catatan EIA, pada tahun 2019, 80% produksi energi dalam negeri berasal dari bahan bakar fosil, dan 80% konsumsi energi dalam negeri bersumber dari bahan bakar fosil.

Pangsa produksi energi total AS dari bahan bakar fosil mencapai puncaknya pada tahun 1966 pada 93%. Total produksi bahan bakar fosil terus meningkat, tetapi produksi juga meningkat untuk sumber bahan bakar non-fosil seperti tenaga nuklir dan energi terbarukan.

Akibatnya, bahan bakar fosil menyumbang sekitar 80% dari produksi energi AS dalam satu dekade terakhir. Sejak 2008, produksi minyak mentah AS, gas alam kering, dan cairan pabrik gas alam (NGPL) telah meningkat masing-masing sebesar 15 kuadriliun British thermal unit (quads), 14 quads, dan 4 quads.

Kenaikan ini lebih dari sekedar mengimbangi penurunan produksi batu bara, yang telah turun 10 quads sejak puncaknya pada tahun 2008.

Pada tahun 2019, produksi energi A.S. melebihi konsumsi energi untuk pertama kalinya sejak 1957, dan ekspor energi AS melampaui impor energi untuk pertama kalinya sejak 1952.

Impor bersih energi AS sebagai bagian konsumsi mencapai puncaknya pada tahun 2005 sebesar 30%. Meskipun impor bersih energi turun di bawah nol pada tahun 2019, banyak kawasan di Amerika Serikat masih mengimpor energi dalam jumlah yang signifikan.

Sebagian besar perdagangan energi AS berasal dari minyak bumi (minyak mentah dan produk minyak bumi), yang menyumbang 69% dari ekspor energi dan 86% impor energi pada tahun 2019.

Sebagian besar minyak mentah yang diimpor diproses oleh kilang AS dan kemudian diekspor sebagai produk minyak bumi . Produk minyak bumi menyumbang 42% dari total ekspor energi AS pada 2019.

Pangsa total konsumsi energi AS yang berasal dari bahan bakar fosil telah turun dari puncaknya sebesar 94% pada tahun 1966 menjadi 80% pada tahun 2019. Jumlah total bahan bakar fosil yang dikonsumsi di Amerika Serikat juga telah turun dari puncaknya yaitu 86 quads pada tahun 2007.

Sejak itu, konsumsi batu bara turun 11 quads. Pada 2019, konsumsi energi terbarukan di Amerika Serikat untuk pertama kalinya melampaui konsumsi batu bara. Penurunan konsumsi batu bara, bersama dengan penurunan konsumsi minyak bumi , lebih dari sekedar mengimbangi peningkatan konsumsi gas alam sebesar.

Sampai di sini bisa dilihat bahwa sekelas AS yang notabene negeri Adikuasa saja masih sangat bergantung pada energi fosil. Bagaimanapun juga jalan Biden untuk mewujudkan mimpinya tidak akan berjalan semulus itu.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular