Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) adalah krisis yang sempurna bin paripurna. Virus yang awalnya mewabah di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini telah memakan korban jutaan nyawa dan lapangan kerja di seluruh dunia.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan, jumlah pasien positif corona di seluruh negara per 21 Maret 2021 adalah 122.524.424 orang. Bertambah 513.797 orang dari hari sebelumnya.
Dalam 14 hari terakhir (8-21 Maret 2021), rata-rata tambahan pasien positif adalah 452.056 orang per hari. Lebih tinggi ketimbang rerata 14 hari sebelumnya yaitu 389.190 orang setiap harinya.
Sementara jumlah pasien meninggal per 21 Maret 2021 mencapai 2.703.620 orang. Bertambah 9.084 orang dibandingkan sehari sebelumnya.
Rata-rata tambahan pasien meninggal dalam 14 hari terakhir adalah 8.514 orang per hari. Lebih sedikit dibandingkan rerata 14 hari sebelumnya yakni 8.951 orang setiap harinya.
Meski begitu, satu nyawa tentu tidak ternilai harganya. Satu orang tutup usia sudah terlalu banyak...
Halaman Selanjutnya --> Dari Krisis Kesehatan Jadi Krisis Sosial-Ekonomi
Dari krisis kesehatan, pagebluk virus corona berubah menjadi masalah sosial-ekonomi. Sebab penyebaran virus coba diatasi dengan pembatasan sosial (social distancing).
Intinya, manusia harus berjarak satu dengan lainnya. Jangan sampai ada aktivitas yang bisa menimbulkan peningkatan interaksi dan kontak antar-manusia. Ini membuat kegiatan perkantoran, belajar-mengajar, sampai ngopi-ngopi cantik di kafe terhambat.
Aktivitas dan mobilitas masyarakat yang menurun drastis membuat ekonomi tidak berputar sesuai kapasitasnya. Ibarat mobil, hanya bisa dipacu maksimal 50 km/jam. Pandemi mengantam dua sisi ekonomi sekaligus, pasokan dan permintaan, dan melahirkan resesi.
Saat pasokan dan permintaan bermasalah, dunia usaha tentu harus melakukan efisiensi untuk bertahan hidup. Salah satu caranya adalah dengan pengurangan karyawan, baik dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau dirumahkan (furlough).
Di negara-negara Uni Eropa, tingkat pengangguran sejak November 2020 hingga Januari 2021 bertahan di 7,3%. Meski sudah turun dari posisi terparah di 7,8% yang dicapai pada Agustus 2020, tetapi masih jauh di atas level pra-pandemi yang sekitar 6%.
Halaman Selanjutnya ---> Kapan Hidup Bisa Normal Lagi?
Oleh karena itu, Chang Yong Rhee dan Katsiaryna Svirydzenka dari Dana Moneter Internasional (IMF) dalam tulisan berjudul The Future of Asia: What a Difference a Year Can Make terbitan 17 Maret 2021 mengistilahkan pandemi virus corona sebagai 'badai' yang sempurna alias the perfect storm. Pandemi ini tidak hanya membuat sistem jaminan kesehatan pontang-panting, tetapi juga menghancurkan lapangan kerja serta membuat utang negara dan rumah tangga membumbung tinggi.
"Pukulan ini akan meninggalkan bekas selama bertahun-tahun. Membuat masalah yang sudah ada sebelumnya seperti penurunan investasi, lapangan kerja, dan produktivitas semakin parah," sebut tulisan itu.
Jadi, kapan derita ini berakhir? Kapan kita bisa lepas dari jerat resesi ekonomi? Kapan lapangan kerja kembali tercipta sehingga bisa mengentaskan pengangguran dan kemiskinan?
"Berdasarkan pengalaman resesi sebelumnya, rata-rata dampak krisis di negara-negara maju masih terasa hingga lima tahun setelah resesi dimulai. Output ekonomi masih hampir 5% di bawah tren pra-krisis," sebut tulisan itu.
 Sumber: IMF |
Ketika pandemi berhasil diatasi, misalnya dengan vaksinasi, masalah belum selesai. Setelah itu akan datang masalah lain yaitu risiko krisis utang baik di level rumah tangga, korporasi, sampai negara.
Di negara-negara berkembang, masalah utang ini bisa menjadi kompleks, terutama di sektor swasta. Semakin banyak perusahaan yang tidak bisa meraup pendapatan yang cukup untuk membayar utang. Ini bisa menjadi masalah akut, terutama di Asia.
"Jika pasar keuangan global mengetat dalam proses pemulihan ekonomi, maka akan menambah tekanan bagi keuangan sektor swasta," sebut tulisan Chang dan Svirydzenka.
 Sumber: IMF |
Kembali ke pertanyaan tadi, kapan penderitaan ini berakhir? Kapan kita semua bisa kembali bekerja?
"Jawaban terbaik adalah terlalu awal untuk mengetahuinya secara pasti," ujar Chang dan Svirydzenka.
TIM RISET CNBC INDONESIA