
Solusi Banjir Jakarta: Banjir Wacana, Kering Realita

Jakarta, CNBC Indonesia - Banjir kembali menyambangi DKI Jakarta. Bencana ini bukan kali pertama, Ibu Kota boleh dikata 'langganan' dalam urusan banjir.
Beberapa banjir besar yang terjadi di Jakarta di antara adalah pada 2007 dan 2013. Kala itu, banjir tidak hanya menyebabkan kerugian ekonomi dan melumpuhkan aktivitas warga, tetapi juga memakan korban puluhan jiwa.
Namun banjir 2021 juga mengerikan. Korban jiwa pun berjatuhan, tercatat lima nyawa melayang akibat banjir Jakarta tahun ini.
Mengutip data dari aplikasi Jakarta Kini (JAKI), luas daerah terdampak banjir di Jakarta tahun ini adalah 114.306,69 hektar. Banjir merendam 1.397 RT dengan total populasi 454.185 jiwa.
Anies Rasyid Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, menyatakan banjir kail ini bisa tertangani dengan baik. Tidak butuh waktu lama untuk membuat banjir surut.
"Alhamdulillah, atas izin Allah, pada hari Minggu sehari kemudian 99,9% surut. Ini terjadi lewat kerja keras seluruh jajaran untuk melakukan pemompaan di tempat-tempat yang terdampak. Kemudian, hari Senin dini hari, jam 03:00 WIB pagi tadi, dipastikan bahwa 100% sudah surut," tegas Anies saat apel di halaman Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Senin (22/2/2021).
CNBC Indonesia menggelar jajak pendapat yang berhasil menjaring 3.149 jawaban. Dari jumlah itu, 67% menyatakan tidak setuju dengan pernyataan Anies. Sementara 27,1% menyatakan setuju dan sisanya tidak peduli.
"Masih banjir".
"Banjir parah".
"Masih banyak genangan air".
Demikian keluh sejumlah responden. Namun ada pula yang memberikan apresiasi.
"Surut lebih cepat dari tahun sebelumnya".
"Sudah lebih baik dari sebelumnya".
"Penanganannya sangat cepat".
Kalau melihat peta informasi banjir di aplikasi JAKI per 22 Februari 2021 pukul 21:00 WIB, memang sudah tidak ada lagi daerah yang tergenang. Luas wilayah maupun RT yang terdampak banjir sudah berada di angka 0. Sepertinya klaim Anies terbukti, kalau mengacu ke data JAKI.
Apapun itu, walau dibilang sukses dalam penanganan, banjir tetap saja terjadi. Masalah banjir sepertinya belum kunjung menemukan solusi, selalu menghantui ketenangan hidup warga Ibu Kota.
Padahal berbagai wacana untuk menangkal (atau setidaknya mengurangi) banjir sudah sering dikemukakan. Pada masa kampanye Pemilihan Gubernur, Anies kala itu mengusulkan program naturalisasi sungai, bukan normalisasi.
Dengan naturalisasi, daerah sekitar sungai dibuat sealami mungkin sehingga bisa lebih optimal menyerap debit air yang meningkat. Beda dengan normalisasi, yang memasang beton di sekitaran sungai. Dengan normalisasi, diharapkan istilah 'banjir kiriman' bisa dihilangkan karena sungai-sungai di Jakarta sudah mampu mengatasi peningkatan debit air.
Namun janji kampanye itu tinggal janji. Malah yang ada normalisasi sungai terus berlangsung dan belum bisa mengatasi 'banjir kiriman'.
Kemudian ada proyek sodetan Sungai Ciliwung yang digagas oleh pemerintah pusat pada 2013. Sodetan itu akan membagi kapasitas Sungai Ciliwung ke Kanal Timur. Selama ini aliran Sungai Ciliwung lebih terkonsentrasi ke Kanal Barat.
"Kondisi ini tentu tidak menguntungkan. Jika beban aliran dibagi dua, saya yakin dampaknya tidak seperti ini. Kami putuskan proyek sodetan menjadi prioritas pertama untuk dikerjakan," kata Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden kala itu.
Namun hingga umurnya delapan tahun, proyek ini belum juga rampung. Joko Widodo (Jokowi), mantan Gubernur DKI Jakarta yang kini menjadi Presiden, pernah berujar bahwa salah satu kendalanya adalah pembebebasan lahan. "Saya kira bisa secepatnya Gubernur untuk menyelesaikan masalah pembebasan lahannya," ujar Jokowi dalam rapat di Istana Negara, Januari tahun lalu.
Banjir tentu berdampak terhadap aktivitas ekonomi. Produksi, konsumsi, dan distribusi akan terganggu. Dengan statusnya sebagai 'jantung' perekonomian Indonesia, Jakarta yang tergenang akan membawa dampak berskala nasional.
![]() |
Ambil contoh pada 2013, saat banjir besar melanda Jakarta pada awal tahun, Aktivitas manufaktur yang dicerminkan dalam Purchasing Managers' Index (PMI) pada Januari 2013 tercatat 49,7. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yakni 50,7.
PMI menggunakan angkan 50 sebagai titik mula. Kalau di bawah 50, berarti dunia usaha tidak melakukan ekspansi, yang ada malah kontraksi.
Kemudian penjualan ritel. Pada Januari 2013, Bank Indonesia (BI) melaporkan penjualan ritel hanya tumbuh 7,99% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY). Jauh melambat ketimbang bulan sebelumnya yang tumbuh 15,09% YoY.
Jadi kalau banjir terus terjadi, maka dampak ekonominya tidak bisa dikesampingkan. Bukan hanya bagi Jakarta, tetapi sampai ke level nasional.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perhatian! Daftar Titik Lokasi Banjir di DKI Jakarta Pagi Ini