Jakarta, CNBC Indonesia - Menjaga stabilitas harga adalah pekerjaan yang sangat berat. Kenaikan harga yang tinggi (inflasi) akan membuat pusing para pelaku ekonomi. Begitu juga sebaliknya, penurunan harga yang terus menerus (deflasi) juga membuat pening kepala banyak pihak.
Baik inflasi yang tinggi maupun deflasi pernah terjadi di Indonesia. Kurang lebih 22 tahun silam, saat krisis keuangan Asia melanda, Indonesia menjadi salah satu korbannya. Output perekonomian (Produk Domestik Bruto/PDB) terkontraksi lebih dari 10%.
Kondisi semakin diperparah dengan adanya inflasi yang tinggi. Kenaikan harga yang luar biasa dipicu oleh depresiasi rupiah terhadap dolar AS. Adanya capital outflow yang masif menekan kinerja rupiah secara signifikan.
Depresiasi rupiah terhadap greenback, membuat biaya impor meroket. Alhasil harga-harga barang pun terbang. Saat itu bank sentral pun belum independen seperti sekarang ini.
Seiring dengan berjalannya waktu, inflasi pun mulai melandai. Sejak suku bunga acuan diganti dari BI Rate menjadi BI-7 Day Reverse Repo Rate empat tahun silam, inflasi cenderung bergerak di rentang sasaran bank sentral.
Namun krisis kesehatan akibat pandemi Covid-19 yang berkembang menjadi resesi ekonomi global membuat inflasi keluar dari jalur. Ekonomi yang seolah mati suri akibat lockdown dan pembatasan aktivitas publik menjadi pukulan ganda baik dari sisi permintaan maupun pasokan barang dan jasa.
Inflasi pun berubah menjadi deflasi. Tren penurunan harga juga terjadi di Tanah Air. Untuk pertama kalinya, Indonesia mencatatkan deflasi dalam satu kuartal beruntun yakni sejak Juli-September 2020.
Kendati BI agresif memangkas suku bunga acuan lebih dari 100 basis poin (bps) serta memompa likuiditas hingga ratusan triliun rupiah, inflasi yang sehat belum tampak. Tahun lalu inflasi tercatat di angka 1,68% (yoy). Lebih rendah dari sasaran target BI di 3% plus minus 1 poin persentase.
Memasuki tahun 2021, inflasi di bulan Januari pun masih lesu. Badan Pusat Statistik melaporkan inflasi berada di angka 1,55% (yoy) di bulan pertama tahun ini. Perlambatan inflasi kemungkinan besar masih akan berlanjut di bulan Februari.
Survei pemantauan harga yang dilakukan BI bisa menjadi cerminan dari tren tersebut. Otoritas moneter nasional tersebut memperkirakan inflasi di bulan Februari sebesar 0,07% dibanding bulan sebelumnya dan 1,34% (yoy) dibanding Februari tahun lalu. Secara tahun berjalan inflasi diramal sebesar 0,33% (ytd).
Inflasi masih ditopang oleh kenaikan harga pangan yang lebih diakibatkan oleh faktor pasokan. Adanya fenomena iklim La Nina yang menyebabkan banjir di berbagai daerah di dalam negeri memicu terjadinya penurunan output produk-produk agrikultur serta menghambat distribusi pangan yang selama ini masih belum efisien.
Halaman Selanjutnya --> Penyebab Inflasi Rendah: Penyaluran Kredit Terkontraksi
Saat ekonomi Indonesia mengalami resesi dan tumbuh di zona negatif 2,07% tahun lalu, jumlah pengangguran di Indonesia melonjak mendekati angka 10 juta. Jumlah penduduk miskin kembali ke atas 10%. Total penduduk miskin naik menjadi lebih dari 27 juta orang.
Pemerintah dan bank sentral terus bekerja sama untuk mendorong daya beli masyarakat terutama kalangan menengah ke bawah yang terganggu. Bantuan fiskal digelontorkan oleh pemerintah melalui relaksasi pajak dan bantuan sosial baik yang sifatnya dalam bentuk bantuan tunai maupun sembako.
Selain memangkas suku bunga, BI juga menggunakan amunisi yang lain. Giro Wajib Minumum (GWM) perbankan diturunkan sehingga industri keuangan punya likuiditas yang berlimpah (ample) untuk disalurkan dalam bentuk kredit guna mendongkrak permintaan sehingga aggregate demand bisa berangsur pulih.
Manuver BI tak berhenti di situ, untuk pertama kalinya dalam sejarah independensi bank sentral di dalam negeri, BI bahkan turun langsung untuk membantu menambal defisit fiskal pemerintah yang bengkak akibat short fall pajak dan adanya capital outflow saat pasar keuangan global goyang dengan cara membeli obligasi yang diterbitkan pemerintah di pasar perdana.
Kebijakan yang paling baru, BI dan OJK sepakat untuk menurunkan rasio loan to value (LTV) baik kredit perumahan maupun kendaraan bermotor. Ke depan konsumen tak perlu membayar uang muka (DP) untuk membeli mobil-mobil tertentu.
Harapannya kebijakan tersebut bisa membuat permintaan terhadap kredit dan sektor manufaktur yang menjadi penyumbang PDB terbesar dan sektor padat karya dengan serapan tenaga kerja yang besar ini kembali bergeliat. Inflasi pun diharapkan bisa kembali ke sasaran target.
Likuiditas di perekonomian nasional sebenarnya berlimpah. Hal ini tercermin dari peningkatan pasokan uang beredar dalam arti luas (M2). BI melaporkan, uang beredar pada Desember 2020 tumbuh 12,4% (yoy) menjadi Rp 6.900 triliun.
Seharusnya peningkatan pasokan uang tersebut bisa memicu inflasi. Namun tunggu dulu! Agar inflasi bisa terjadi kondisi yang harus dipenuhi tidak hanya berlimpahnya pasokan uang, tetapi juga kecepatan uang berpindah tangan (money velocity).
Meskipun likuiditas saat ini ample dan bank-bank ditopang dengan permodalan yang kuat, tetapi permintaan dan suplai kredit masih terbatas. Bahkan mengalami kontraksi. Total penyaluran kredit hingga Desember 2020 mencapai Rp 5.843 triliun atau turun 2,7% dibanding periode yang sama tahun 2019.
Penurunan kredit lebih diakibatkan oleh kontraksi penyaluran kredit untuk pelaku usaha. Tingkat utilitas dan produksi yang masih rendah serta penundaan ekspansi oleh para pebisnis tercermin dari kontraksi kredit modal kerja (KMK) dan kredit investasi (KI).
Selain itu perbankan sebagai lembaga keuangan siklikal cenderung lebih berhati-hati dalam menyalurkan kreditnya. Apalagi saat ini bank-bank juga masih harus memberikan relaksasi kredit melalui restrukturisasi.
Ketika penyaluran kredit untuk korporasi turun 5,1% (yoy) di akhir tahun lalu, penyaluran kredit untuk individu masih tumbuh. Namun sayang pertumbuhannya masih sangat minimalis.
Halaman Selanjutnya --> Pemicu Inflasi Rendah: Masyarakat Gemar Menabung
Di saat kredit yang tersalurkan mengalami kontraksi, masyarakat terutama untuk kalangan menengah ke atas dan yang sudah tersentuh akses keuangan formal justru menahan diri untuk berbelanja.
Saat pandemi Covid-19 terjadi, masyarakat cenderung gemar menabung. Hal ini tercermin dari neraca keuangan industri perbankan nasional yang mencatatkan kenaikan liabilitas dalam bentuk Dana Pihak Ketiga (DPK).
Nilai giro, tabungan maupun simpanan berjangka nasabah individu tercatat naik lebih dari 10% (yoy) pada Desember tahun lalu. Total DPK nasabah perorangan tercatat mencapai Rp 3.684,8 triliun.
Tak hanya konsumen saja yang gemar menabung. Kondisi ekonomi yang diliputi oleh ketidakpastian yang tinggi juga membuat para pelaku usaha berupaya untuk stockpiling cash untuk tetap menjaga likuiditas dan memperkuat neraca keuangannya.
Total giro dan tabungan korporasi di perbankan tercatat naik masing-masing sebesar 16,2% (yoy) pada Desember 2020 dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Di saat yang sama nilai simpanan berjangka korporasi di bank juga naik 6,8% (yoy).
Secara total DPK perbankan dari nasabah korporasi tercatat mencapai Rp 2.286,5 triliun atau menyumbang 35,4% total DPK perbankan di penghujung tahun 2020 lalu.
Ini berarti bahwa masih banyak uang yang mengendap di rekening perbankan. Kecepatan uang berpindah tangan dari satu orang ke orang lain masih bergerak dengan lambat. Wajar saja jika inflasi saat ini masih rendah. Maklum kebergantungan ekonomi RI terhadap sektor perbankan termasuk tinggi.
Rendahnya inflasi juga didorong oleh masih diberlakukannya kebijakan pembatasan aktivitas berupa PPKM. Pemerintah masih terus memperpanjang periode pemberlakuan PPKM. Terbaru, PPKM skala mikro kembali diperpanjang sampai 8 Maret 2021.
Aktivitas ekonomi yang masih terbatas serta progress vaksinasi Covid-19 yang terbilang lambat tetap menjadi risiko utama bagi pemulihan ekonomi di tahun ini. Optimisme masyarakat terkait prospek perekonomian yang juga masih rendah membuat tekanan inflasi juga tak terasa.
TIM RISET CNBC INDONESIA