
Roda Ekonomi RI Belum Muter, Ini Buktinya!

Saat ekonomi Indonesia mengalami resesi dan tumbuh di zona negatif 2,07% tahun lalu, jumlah pengangguran di Indonesia melonjak mendekati angka 10 juta. Jumlah penduduk miskin kembali ke atas 10%. Total penduduk miskin naik menjadi lebih dari 27 juta orang.
Pemerintah dan bank sentral terus bekerja sama untuk mendorong daya beli masyarakat terutama kalangan menengah ke bawah yang terganggu. Bantuan fiskal digelontorkan oleh pemerintah melalui relaksasi pajak dan bantuan sosial baik yang sifatnya dalam bentuk bantuan tunai maupun sembako.
Selain memangkas suku bunga, BI juga menggunakan amunisi yang lain. Giro Wajib Minumum (GWM) perbankan diturunkan sehingga industri keuangan punya likuiditas yang berlimpah (ample) untuk disalurkan dalam bentuk kredit guna mendongkrak permintaan sehingga aggregate demand bisa berangsur pulih.
Manuver BI tak berhenti di situ, untuk pertama kalinya dalam sejarah independensi bank sentral di dalam negeri, BI bahkan turun langsung untuk membantu menambal defisit fiskal pemerintah yang bengkak akibat short fall pajak dan adanya capital outflow saat pasar keuangan global goyang dengan cara membeli obligasi yang diterbitkan pemerintah di pasar perdana.
Kebijakan yang paling baru, BI dan OJK sepakat untuk menurunkan rasio loan to value (LTV) baik kredit perumahan maupun kendaraan bermotor. Ke depan konsumen tak perlu membayar uang muka (DP) untuk membeli mobil-mobil tertentu.
Harapannya kebijakan tersebut bisa membuat permintaan terhadap kredit dan sektor manufaktur yang menjadi penyumbang PDB terbesar dan sektor padat karya dengan serapan tenaga kerja yang besar ini kembali bergeliat. Inflasi pun diharapkan bisa kembali ke sasaran target.
Likuiditas di perekonomian nasional sebenarnya berlimpah. Hal ini tercermin dari peningkatan pasokan uang beredar dalam arti luas (M2). BI melaporkan, uang beredar pada Desember 2020 tumbuh 12,4% (yoy) menjadi Rp 6.900 triliun.
Seharusnya peningkatan pasokan uang tersebut bisa memicu inflasi. Namun tunggu dulu! Agar inflasi bisa terjadi kondisi yang harus dipenuhi tidak hanya berlimpahnya pasokan uang, tetapi juga kecepatan uang berpindah tangan (money velocity).
Meskipun likuiditas saat ini ample dan bank-bank ditopang dengan permodalan yang kuat, tetapi permintaan dan suplai kredit masih terbatas. Bahkan mengalami kontraksi. Total penyaluran kredit hingga Desember 2020 mencapai Rp 5.843 triliun atau turun 2,7% dibanding periode yang sama tahun 2019.
Penurunan kredit lebih diakibatkan oleh kontraksi penyaluran kredit untuk pelaku usaha. Tingkat utilitas dan produksi yang masih rendah serta penundaan ekspansi oleh para pebisnis tercermin dari kontraksi kredit modal kerja (KMK) dan kredit investasi (KI).
Selain itu perbankan sebagai lembaga keuangan siklikal cenderung lebih berhati-hati dalam menyalurkan kreditnya. Apalagi saat ini bank-bank juga masih harus memberikan relaksasi kredit melalui restrukturisasi.
Ketika penyaluran kredit untuk korporasi turun 5,1% (yoy) di akhir tahun lalu, penyaluran kredit untuk individu masih tumbuh. Namun sayang pertumbuhannya masih sangat minimalis.
Halaman Selanjutnya --> Pemicu Inflasi Rendah: Masyarakat Gemar Menabung
(twg/twg)