KPR Bebas DP, Ingat Krisis Hebat Sub-Prime Mortgage?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
19 February 2021 15:15
Suasana proyek pembangunan perumahan di Depok, Jawa Barat, Rabu (17/2/2021). Harga hunian rumah hunian masih menunjukkan kenaikan pada kuartal IV-2020 namun laju kenaikan melambat. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Ilustrasi Pembangunan Perumahan (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Meski sudah berlalu lebih dari satu dekade lalu, bayang-bayang krisis keuangan global masih terasa. Krisis itu membuat ekonomi global jatuh ke 'jurang' resesi untuk kali pertama sejak Perang Dunia II.

Krisis keuangan global bermula dari Amerika Serikat (AS). Lebih spesifik lagi pasar instrumen investasi keuangan berbasis Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Setoran KPR dari nasabah dikemas oleh lembaga keuangan di Negeri Paman Sam menjadi instrumen derivatif yang bisa diperdagangkan.

Instrumen ini disebut sub-prime, turunan dari instrumen pokokya (prime). Karena basisnya adalah KPR alias mortgage, namanya menjadi sub-prime mortgage. Berbagai institusi keuangan di AS, dari yang raksasa sampai yang liliput, memiliki instrumen sub-prime mortgage ini.

Kala itu, pasar properti AS sedang sangat bergairah. Pada 2003, pemesanan rumah baru di Negeri Adidaya tumbuh 3,99% dibandingkan tahun sebelumnya (year-on-year/YoY). Setahun berikutnya tumbuh lebih tinggi lagi yaitu 7,88% dan 2005 melonak dengan kenaikan 11,08%.

Pada awal dekade 2000-an, ekonomi AS yang lesu butuh 'perangsang'. Alan Greenspan, Ketua Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) kala itu, berkali-kali memangkas suku bunga acuan hingga ke titik terendah sejak 1950-an. Pemangkasan suku bunga acuan membuat bunga kredit menjadi murah, termasuk KPR.

Konsumen semakin dimanjakan karena bank-bank di AS menawarkan fasilitas Adjustable Rate Mortgage (ARM). Dalam skema ini, nasabah dibebani bunga KPR rendah selama dua tahun pertama kemudian naik. Namun setelah 'bunga promo' itu selesai, nasabah bisa mengambil ARM di bank lain sehingga kembali mendapatkan bunga murah.

"Banyak pemilik rumah bisa menghemat ribuan dolar dengan ARM dibandingkan menggunakan bunga tetap," tegas Greenspan dalam sebuah pidato pada 2004, seperti dikutip dari Wall Street Journal.

Halaman Selanjutnya --> Gelembung Harga Properti Meletus

Kemudahan itu membuat warga AS berbondong-bondong mengambil KPR. Termasuk kelompok yang sering disebut Ninja (No Income, No Job, No Access), yang mengambil KPR tanpa mempedulikan risiko gagal bayar karena berharap bisa membeli rumah sebagai sarana investasi.

Permintaan rumah yang membludak membuat harganya naik. Pada 2005, laju kenaikan harga rumah menyentuh dua digit. Gelembung itu semakin besar.

Pada 2004, dimotori oleh sektor properti, ekonomi AS mulai bangkit. Greenspan pun mulai menaikkan suku bunga acuan. Akibatnya, bunga KPR ikut bergerak naik.

Kenaikan bunga KPR membuat para nasabah mulai tidak kuat mencicil. Gagal bayar terjadi di mana-mana, KPR yang semula jadi aset sehat buat bank berubah jadi aset busuk. Gelembung itu akhirnya pecah.

Kejatuhan pasar KPR membuat instrumen-instrumen yang terkait ikut tumbang. Ingat sub-prime mortgage? Itu salah satunya.

Sub-prime mortgage dimiliki oleh banyak institusi keuangan sehingga jatuhnya aset ini menjadi kejatuhan massal. Berdampak sistemik. Lehman Brothers, lembaga keuangan yang sudah berusia lebih dari 100, adalah korban paling tragis.

Pasar keuangan AS pun kacau-balau. Wall Street terkoreksi sangat dalam. Keruntuhan pasar keuangan AS merembet ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Saking rusuhnya, perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) sempat dihentikan selama beberapa hari.

Kolapsnya pasar keuangan dunia membuat pembiayaan ke sektor riil menjadi seret. Akibatnya, ekonomi dunia masuk ke zona resesi.

Halaman Selanjutnya --> Akankan Krisis KPR Terjadi di Indonesia?

Pengalaman krisis sub-prime mortgage tentu sangat pedih. Tidak ada yang mau mengulanginya lagi, amit-amit.

Namun, kebetulan saat ini kondisi yang mirip-mirip sedang terjadi di Indonesia. Pihak yang terlibat pun sama, yaitu bank sentral.

Kemarin, Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menghapus ketentuan uang muka KPR untuk seluruh tipe rumah tapak, rumah susun, sampai ruko dan rukan. Kebijakan ini berlaku mulai 1 Maret 2021 hingga 31 Desember 2021.

Seperti The Fed pada era Greenspan, BI pun sudah berkali-kali memangkas suku bunga acuan. Sejak awal tahun lalu, BI 7 Day Reverse Repo Rate sudah dipotong 125 basis poin (bps).

Apakah keputusan BI membebaskan uang muka KPR dapat menyebabkan penggelembungan harga aset (asset price bubble)? Apakah krisis sub-prime mortgage bisa terjadi di Indonesia?

Mungkin tidak. Pertama, bebas uang muka KPR belum tentu bisa mendongkrak permintaan rumah. Sebab, suku bunga KPR di Tanah Air masih relatif tinggi. Kalau permintaan mash terbatas, bubble tidak akan terbentuk.

Mengutip data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), rata-rata suku bunga KPR dalam rupiah pada November 2020 adalah 8,32% per tahun. Dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, memang ada penurunan 48 bps masih jauh dibandingkan laju penurunan bunga acuan.

Suku bunga KPR di Indonesia memang terus bergerak turun. Namun disandingkan dengan negara-negara lain di Asia, Indonesia masih yang tertinggi.

Di Singapura, rata-rata suku bunga KPR untuk tenor 15 tahun ada di 2,84% per tahun. Sementara di China, rata-rata bunga KPR ada di 3,25% per tahun. Bahkan di Pakistan masih lebih rendah yakni 7,96% per tahun!

Kedua, sampai saat ini pasar produk derivatif di pasar keuangan Indonesia masih terbatas. Aset-aset canggih nan rumit seperti sub-prime mortgage (yang tidak tahu mana ujung mana pangkal) belum tersedia di Indonesia.

Di satu sisi, keterbatasan instrumen di pasar keuangan Ibu Pertiwi menunjukkan kedangkalan, kurang menarik, kurang asyik, kurang menantang. Namun di sisi lain, kertebatasan itu memberi rasa aman karena Indonesia terhindar dari risiko produk derivatif yang ruwet bin njelimet itu.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular