
Survei: Mayoritas Publik Inggris Tak Percayai Bank!
Ester Christine Natalia, CNBC Indonesia
17 August 2018 11:24

London, CNBC Indonesia - Mayoritas warga Inggris tidak mempercayai bank, dan merasa bank tidak menerima hukuman yang cukup berat atas keterlibatannya dalam krisis keuangan tahun 2008, sebuah survei membuktikan pada hari Kamis (16/8/2018).
Bulan depan akan menandai 10 tahun kebangkrutan bank investasi Lehman Brothers karena pecahnya penggelembungan (bubble) di pasar suku bunga kredit kepemilikan rumah (sub-prime mortgage) Amerika Serikat.
Polling terhadap 2.250 orang dewasa yang dilakukan YouGov atas nama kelompok kampanye Positive Money menggarisbawahi sejauh mana bank masih harus berupaya untuk membangun kembali kepercayaan publik. Meskipun selama bertahun-tahun bank telah melakukan restrukturisasi serta membayar denda dan kompensasi atas penyimpangan mereka.
Survei menunjukkan 66% orang dewasa di Inggris tidak percaya bank untuk mengupayakan kepentingan terbaik masyarakat.
"Sektor keuangan bertanggungjawab ke masyarakat yang lebih luas dengan sangat serius dan melaksanakan reformasi signifikan dalam 10 tahun terakhir untuk memastikan bahwa para pembayar pajak tidak perlu lagi menyelamatkan bank," kata seorang juru bicara untuk UK Finance yang mewakili industri perbankan, dilansir dari Reuters.
Reformasi yang dimaksud termasuk meningkatnya tingkat modal yang dimiliki bank, memisahkan uang deposito dari aktivitas investasi perbankan yang lebih berisiko dan membuat para bankir senior lebih bertanggungjawab.
Bank-bank Inggris termasuk Royal Bank of Scotland, Barclays dan HSBC memiliki kesamaan dengan bank-bank AS, yaitu menjual sekuritas berisiko yang terikat dengan pinjaman kepemilikan rumah. Mereka pun disalahkan oleh para regulator, politisi dan masyarakat atas krisis keuangan yang terjadi 10 tahun lalu.
Denda capai $320 miliar
Secara global, bank-bank sudah menerima ganjarannya baik dalam bentuk keuangan maupun reputasi. Mereka membayar denda lebih dari US$320 miliar (Rp 4.669 triliun) sejak tahun 2008 karena para regulator memeriksa mereka atas kesalahan penjualan sekuritas, serta mencurangi suku bunga dan acuan nilai tukar mata uang asing.
Kementerian Kehakiman AS pada hari Selasa (14/8/2018) mengatakan RBS akan membayar $4,9 miliar untuk menyelesaikan klaim bahwa pihaknya menyesatkan investor di sekuritas berbasis KPR antara tahun 2005 dan 2008.
Survei yang dirilis di hari Kamis itu mengatakan 72% orang dewasa yakin bank harus menghadapi hukuman yang lebih berat, meski ada regulasi ketat pasca krisis yang membuat laba menyusut.
Banyak orang mengkritisi dana talangan RBS senilai 45,5 miliar poundsterling (Rp 844,6 triliun) di puncak krisis, di mana Inggris tidak akan mungkin mengembalikan investasinya.
Namun, politisi dari berbagai partai utama mengatakan konsekuensi jika tidak menyelamatkan RBS dan pesaingnya Lloyds bisa lebih buruk.
Sejumlah investor masih ragu bahwa bank-bank sudah sepenuhnya berbenah. Mereka mengungkapkan kerusakan dari krisis akan membebani harga saham mereka di masa yang akan datang.
Pada hari Rabu (15/8/2018), RBS kembali membayarkan dividen untuk pertama kalinya sejak dana talangan. Hal itu pun memperluas daya tariknya kepada investor yang mewajibkan pendapatan dividen sebelum mempertimbangkan membeli saham, meski beberapa masih tetap tidak yakin.
"Kita belum melihat RBS selama 10 tahun. Saya akan mempertimbangkan bujukannya jika sebuah perusahaan yang secara komprehensif risal seperti RBS sepenuhnya sehat kembali," kata Tony Yarrow selaku Fund Manager di Wise Funds Ltd.
(ray/ray) Next Article Bank Sentral Inggris Kerek Lagi Bunga Acuan
Most Popular