
Jurang Kaya-Miskin Kian Lebar, Awas Rakyat Melawan!

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) bukan cuma persoalan kesehatan dan kemanusiaan. Pandemi terbesar dalam seabad terakhir ini juga menimbulkan masalah sosial-ekonomi, yang kalau tidak tertangani bukan tidak mungkin mengganggu kestabilan politik.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, jumlah pasien positif corona di seluruh negara per 15 Februari 2021 adalah 108,58 juta orang. Sejak kasus pertama tercatat pada 4 Januari 2021, tambahan pasien positif rata-rata mencapai 265.475 orang setiap harinya.
Wabah virus corona adalah pandemi global, Indonesia tidak imun. Kementerian Kesehatan melaporkan, jumlah pasien positif corona per 15 Februari 2021 adalah 1,22 juta orang. Sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan kasus perdana pada 1 Maret 2020, rata-rata tambahan pasien baru adalah 3.477 orang per hari.
Untuk mempersempit ruang gerak penyebaran virus corona, pemerintah di berbagai negara memberlakukan kebijakan pembatasan sosial (social distancing). Di Indonesia namanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), atau apalah terserah.
Intinya, social distancing mencoba menjauhkan seseorang dari orang lain. Ada jarak aman, minimal 1,5-2 meter. Kalau jarak dua orang saja tidak boleh berdekatan, apalagi berkerumun? Mungkin haram hukumnya...
Anjuran untuk tidak berkumpul ini membuat aktivitas yang bisa menyebabkan kerumunan (apalagi di ruang tertutup) menjadi dibatasi. Kerja kantoran, kerja pabrikan, belajar di sekolahan, makan di restoran, tidak bisa semaunya seperti dulu. Miliaran orang di planet bumi diminta untuk #dirumahaja.
Pembatasan aktivitas ini membuat mobilitas masyarakat berkurang drastis. Di berbagai lokasi, kepadatan masih jauh di bawah hari-hari biasa sebelum pandemi. Sebaliknya, aktivitas di rumah masih di atas sebelum pandemi.
Mobilitas adalah kunci dari ekonomi. Pergerakan manusia, barang, dan jasa akan merangsang terjadinya nilai tambah di perekonomian. Nilai tambah itu adalah pertumbuhan ekonomi.
Dengan masyarakat yang #dirumahaja, ekonomi mati suri. Ekonomi dunia mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif), Indonesia tidak terkecuali. Sampai di sini, sudah jelas bahwa pandemi virus corona nyata-nyata 'membunuh' ekonomi. Dampaknya bukan ilusi, fiksi, apalagi konspirasi.
Halaman Selanjutnya --> Pengangguran Merebak, Kemiskinan Meningkat
Dari sini, dampak pandemi melebar ke aspek sosial. Ekonomi yang mati suri membuat lapangan kerja menyusut.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, ada 29,12 juta penduduk usia kerja mengalami dampak buruk dari pandemi. Berikut perinciannya:
- 2,56 juta penduduk menjadi pengangguran.
- 0,76 juta penduduk menjadi bukan angkatan kerja.
- 1,77 juta penduduk sementara tidak bekerja.
- 24,03 juta penduduk bekerja dengan pengurangan jam kerja.
"Pandemi Covid-19 membawa dampak yang luar biasa buruknya. Pandemi menghantam seluruh lapisan masyarakat, tetapi dampak untuk lapisan bawah lebih dalam. Untuk lapisan bawah, tujuh dari 10 responden mengaku pendapatannya menurun, sementara kelompok menegah-atas hanya tiga dari 10 responden," ungkap Suhariyanto, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS).
Virus corona memang tidak pandang bulu, bisa menyerang Pangeran Charles di Istana Buckingham (Inggris) hingga tunawisma yang menggelandang. Namun dampak pandemi ini pilih kasih, dia lebih pedih dirasakan oleh mereka yang tidak berpunya.
Ini membuat ketimpangan antara si kaya dan si miskin kian lebar. Ketimpangan yang diukur dengan gini ratio meningkat, pertanda bahwa jurang pemisah itu kian nyata adanya.
![]() |
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi di hampir seluruh negara. Mereka yang miskin dan tidak punya kemewahan (previlege) tersisihkan di pasar tenaga kerja, sehingga semakin merana.
"Pekerja dengan tingkat pendidikan rendah menjadi yang paling merasakan dampak pandemi. Semakin tinggi pendidikan, maka seseorang akan semakin aman di pasar tenaga kerja. Ketimpangan ini juga terjadi pada krisis-krisis sebelumnya, bukan 2020 saja," sebut riset Citi.
![]() |
"Pandemi telah mempertegas ketimpangan. Anak muda, perempuan, dan yang berpendidikan rendah semakin tersingkirkan di pasar tenaga kerja. Ini bisa menimbulkan konsekuensi sosial," lanjut riset Citi.
Halaman Selanjutnya --> Waspada, Rakyat Murka!
Jika tidak segera diatasi, maka ketimpangan ini akan melahirkan keresahan sosial (social unrest). Kajian Dana Moneter Internasional (IMF) berjudul Lighting the Path to Recovery, biasanya keresahan sosial akan muncul selepas pandemi, baik itu saat Black Death atau wabah flu Spanyol.
"Pandemi menguak 'dosa' masyarakat yaitu ketimpangan, yang sebelumnya terjadi tetapi tidak disadari. Pandemi juga meningkatkan ketidakpercayaan terhadap institusi negara atau pemerintah yang dipandang pilih kasih, tidak kompeten, dan koruptif. Secara historis, wabah penyakit akan meningkatkan ketegangan antar-kelas di masyarakat," sebut riset IMF.
Pada saat pandemi, lanjut rset IMF, biasanya keresahan sosial tidak langsung muncul. Namun dengan kemarahan yang terakumulasi, bak bara dalam sekam, 'api' bisa menyebar dengan cepat.
![]() |
"Solidaritas masyarakat lambat laun akan terbentuk. Dalam beberapa kasus, rezim yang berkuasa akan mencoba menekan amarah publik dengan cara mobilisasi kekuasaan dan meredam amarah rakyat.
"Selepas pandemi, keresahan itu akan memuncak. Risiko protes anti-pemerintah akan meningkat sehingga menimbulkan krisis politik. Biasanya ini terjadi dua tahun setelah pandemi dahsyat," ungkap riset IMF.
Kajian IMF ini jadi pengingat bagi para pengambil kebijakan. Pertama, pandemi harus segera diakhiri dengan cara mempercepat vaksinasi. Jika pandemi sudah reda, maka aktivitas dan mobilitas masyarakat akan pulih sehingga lapangan kerja kembali tercipta dan ketimpangan bisa dikurangi.
Kedua, para pengambil kebijakan harus memutar otak lebih keras selama pandemi belum berakhir. Jangan sampai berbagai stimulus (baik fiskal maupun moneter) tidak terasa dampaknya di masyarakat. Stimulus harus efektif merangsang aktivitas ekonomi agar lapangan kerja tetap bisa tercipta meski masih masa pandemi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Selama Pandemi, Orang Kaya Malah Tambah Kaya! Kok Bisa?
