Jakarta, CNBC Indonesia- Kasus Covid-19 di Indonesia akhirnya menembus angka psikologis 1 juta, sejak kasus pertama diumumkan pada Maret 2020. Pada Selasa (26/1/2021), Kementerian kesehatan mencatat penambahan kasus baru 13.094 orang, sehingga total kasus di Indonesia 1.012.350 orang.
Tingginya angka penularan di masyarakat menjadi salah satu sebab masih banyaknya kasus baru setiap harinya. Bahkan Satgas Penanganan Covid-19 sendiri mencatat secara positivity rate, sejak pekan keempat Desember terus mengalami kenaikan dari semula di bawah 20% menjadi 27% pada pekan kedua Desember. Padahal WHO menentukan standar bahwa seharusnya positivity rate bisa ditekan di bawah 5%.
Selain tingginya penularan, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan 3T (testing, tracing, dan treatment) yang dilakukan masih belum optimal. Dari sisi testing dan tracing masih salah sasaran, karena testing adalah mereka yang mau bepergian bukan orang yang menjadi suspect atau orang yang memiliki riwayat tinggal di wilayah yang melaporkan transmisi lokal atau kontak dengan pasien terkonfirmasi Covid-19 dalam 14 hari terakhir.
Budi mencontohkan dirinya bisa ditest swab Covid-19 hingga lima kali dalam seminggu karena masuk Istana Negara dan bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Kita tidak disiplin. Cara testingnya salah. Testingnya banyak, kenapa [kasus positif Covid-19] naik terus. Habis yang ditesting orang kayak saya. Saya setiap mau ke Presiden dites, presiden dites. Seminggu bisa lima kali dites karena masuk Istana. Emang bener begitu? Pastinya tak begitu harusnya," ujar Budi belum lama ini.
Selain itu, rumah sakit yang penuh juga memberikan kekhawatiran terjadi lonjakan angka kematian, karena pasien dengan gejala berat tidak dapat ditangani dengan baik. Dia menegaskan yang harus dikejar bukanlah testing mandiri, melainkan testing pada orang yang masuk kategori suspect Covid-19.
Hal ini diakui oleh Koordinator Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet Mayjen Tugas Ratmono yang mengungkapkan pihaknya harus ikut menyediakan ICU transisi untuk pasien dengan gejala berat ke RS rujukan. Sayangnya, ada pula pasien yang tidak segera mendapatkan RS rujukan sehingga harus dirawat lebih lama di RSDC yang semula ditujukan untuk pasien dengan gejala ringan dan sedang, atau tanpa gejala.
Tugas mengakui kondisi ini tidak mudah, karena awalnya RSDC tidak dirancang untuk menerima pasien dengan gejala berat. Akibatnya, perawatan di ICU transisi ini harus dioptimalkan agar memenuhi standar.
"Sampai betul-betul kalau ada yang bisa dirujuk akan kami rujuk kalau tidak kami dengan konsekuensinya dgn tim ICU dioptimalkan disana. perawat kami latih terus agar mereka bisa melakukan perawatan di ICU, karena perawatannya berbeda dengan di kamar biasa," katanya.
Untuk fasilitas perawatan pun tidak masih belum maksimal, terbukti dari rumah sakit yang kewalahan menangani pasien yang membludak. Akibatnya saat ini bed occupancy ratio (BOR) rumah sakit di berbagai daerah di atas 70% sehingga tidak maksimal dalam perawatan pasien. Demi mengatasi masalah BOR di rumah sakit, Menkes menetapkan setiap rumah sakit harus menambah jumlah kapasitas perawatan untuk pasien Covid-19 dari 20% menjadi 30-40%.
Sayangnya, Epidemiolog UI Pandu Riono mengungkapkan hal tersebut tidak maksimal karena konsentrasi rumah sakit dalam perawatan pasien akan pecah. Untuk mengantisipasi lonjakan pasien, harus ada satu atau dua rumah sakit khusus Covid-19 di setiap daerah, sehingga tidak bercampur dengan pasien non Covid-19.
"Di wilayah yang RS-nya sudah kepenuhan, tunjuk satu rumah sakit yang hanya merawat Covid-19. Jadi seluruh tempat tidur dapat digunakan untuk Covid-19, problemnya kan karena Covid-19 itu penyakit infeksi dan RS masih merawat pasien penyakit lain sehingga harus ada RS khusus ditunjuk," kata Pandu.
"Kalau sudah ada RS khusus Covid 1-2, baik swasta atau RS pemerintah maka sebagian bisa diatasi. Yang jadi problem adalah masih merawat non Covid-19, dan yang ditakutkan adalah kalau mereka mau merawat Covid-19 mereka harus menyiapkan ruang isolasi, padahal ruang isolasi terbatas," katanya.
Dia juga pernah mengatakan banyak kebijakan Pemerintah dinilai kontradiktif dalam penanganan Covid-19, dimana pemerintah mencoba membangkitkan perekonomian di tengah pandemi dan tidak membatasi mobilitas. Misalnya dengan kebijakan cuti bersama, sehingga masyarakat terdorong untuk bepergian sehingga dapat meningkatkan penularan.
Hal ini merupakan upaya mendorong perekonomian untuk mengatasi dampak pandemi, padahal untuk mencegah penularan kegiatan masyarakat harus dibatasi. Inilah yang menurut Pandu, merupakan kontradiksi antara pemulihan ekonomi dengan penanganan pandemi Covid-19. Apalagi banyak diskon dan paket-paket perjalanan yang disediakan untuk menarik orang bepergian.
Belum lagi pilkada serentak yang dilakukan di awal Desember, yang membuat adanya klaster-klaster baru akibat kegiatan tersebut. Padahal banyak epidemiolog menyarankan untuk menunda Pilkada serentak karena berpotensi menciptakan kerumunan.
"Betul sekali (masih kontradiktif) membuat yang mengamati pandemi ini bingung, kita mau mengatasi pandemi atau mendorong pandemi Covid-19 berlangsung," ujarnya kala itu.
Selain itu, meski diimbau untuk mematuhi protokol kesehatan dengan memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan dengan sabun (3M) masyarakat masih belum sepenuhnya melaksanakannya. Hal ini juga dapat terlihat dari pantauan Satgas, yang mengungkapkan setelah adanya libur panjang ada penurunan angka kepatuhan protokol kesehatan.
Dari semua anjuran protokol kesehatan, menjaga jarak dan menghindari kerumunan adalah hal yang paling sering dilanggar. Misalnya saja pada acara pernikahan, aksi demonstrasi, ataupun perhelatan lainnya yang membuat jaga jarak menjadi hal yang sulit karena massa yang berkerumun.
Dalam refleksi Indonesia menembus 1 juta kasus, Menkes Budi Gunadi pun menegaskan mengurangi laju penularan virus dengan menerapkan protokol kesehatan yakni memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan dengan disiplin. Dia mengakui selama ini penerapan protokol kesehatan masih sulit dilakukan bersama.
"Ini tidak bisa dilakukan seorang diri oleh pemerintah tanpa bersama masyarakat membangun gerakan disiplin. Kehidupan pasca pandemi akan sangat berbeda kita harus bekerja kera mengingatkan diri sendiri dan seluruh rakyat yang ada di lingkungan agar disiplin protokol kesehatan itu adalah hal utama yang harus dilakukan untuk mengurangi laju penularan virus," katanya.
Vaksinasi Covid-19 digemborkan menjadi game changer dalam penanganan pandemi ini, dan membentuk herd immunity atau kekebalan kelompok. Pemerintah pun sudah memulai proses vaksinasi dari tenaga kesehatan yang ditargetkan selesai pada Februari, baru dilanjutkan dengan kelompok prioritas lainnya.
Nyatanya pelaksanaan vaksinasi pun tidak berjalan mulus, dari mulai distribusi vaksin ke sejumlah daerah mengalami kendala akibat cold chain atau tempat penyimpanannya penuh.
Penuhnya lemari pendingin untuk penyimpanan ini karena adanya salah hitung. Semua ini bermula saat pandemi, dimana biasanya setiap tahun Indonesia melakukan vaksinasi sebanyak 130-200 juta dosis. Vaksin tersebut antara lain TBC, polio, hingga difteri.
"Kirim 1,2 juta dosis tanggal 3 Januari malam, kita pikir 3 hari sampai seluruh Indonesia ternyata balik lagi. Kenapa? cold chainnya penuh lemari esnya, ini baru kirim 1,2 juta," katanya.
Dia menyadari, tak akan cukup penyimpanan yang sekarang untuk menyimpan vaksin yang akan tiba. Padahal, vaksin yang dikirim baru 1,2 juta dosis, belum dalam jumlah besar jika vaksinasi untuk masyarakat sudah bisa dilakukan.
"Vaksin ini saya sadar. Vaksin biasa 150-200 juta. Nambah 426 juta, jadi 600 juta biasanya 150-200 juta. Sudah Hitung, sudah pasti nggak kuat," pungkasnya.
Selain masalah distribusi dan penyimpanan, Budi juga mengungkapkan data juga menjadi salah satu masalah dalam vaksinasi. Ketika baru dimulai vaksinasi, dia mengakui dari 2,4 juta tenaga kesehatan yang akan divaksinasi masih ada sekitar 30.000 data yang belum bersih. Padahal seharusnya dari sisi pendataan sudah disiapkan sebelumnya.
"Kalau ditanya data ini ideal apa engga, saya bilang engga karena di Indonesia ini susah dapat data ideal. Saya mengakui itu, kita harus mengambil titik awal, dari Dukcapil, BPJS Kesehatan dan Kemensos," tambahnya.
Budi menegaskan tidak masalah jika datanya berlebih, tetapi berbahaya jika kekurangan karena akan vaksinasi bisa tidak efektif. Inilah yang membuat Kemenkes membuka jalur manual sebagai sarana perbaikan data.
"Mungkin bapak ibu mempertanyakan masa mau begini terus,Itu sebabnya makanya saya tanda tangan dengan Kominfo untuk satu, jadi momentum ini kita mau pake buat beresin database yang beda," katanya.
Meski datanya tidak sempurna, dia menegaskan vaksinasi harus tetap dimulai sambil melakukan perbaikan dan konsolidasi data. Selain itu, tidak semua masyarakat dapat divaksinasi Covid-19, karena ada batasan usia 18-59 tahun untuk vaksin Sinovac, kemudian yang memiliki penyakit bawaan atau komorbid pun tidak dapat mendapatkan vaksinasi.
PAPDI (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia) merekomendasikan jika tekanan darah di atas 140/90, vaksinasi tidak diberikan. Kemudian Jika pernah menderita Covid-19, sedang hamil atau menyusui, menderita gejala ISPA dalam tujuh hari terakhir, memiliki riwayat alergi berat, penyakit ginjal, rematik, sakit saluran pencernaan kronis, vaksinasi tidak diberikan. Bagi penyakit diabetes melitus DM tipe 2 terkontrol dan HbA1C di bawah 58 mmol/mol atau 7,5%, vaksinasi tidak diberikan.
Padahal Presiden Joko Widodo memiliki target yang ambisius perihal vaksinasi, dia menargetkan dalam satu hari ada 900 ribu hingga 1 juta orang yang divaksin. Nyatanya, sejak 13 Januari 2021 baru ada 250 ribu tenaga kesehatan yang divaksinasi.
Angka tersebut, kata Jokowi, bisa melonjak karena vaksinasi bisa mencakup 50 ribu orang per hari.
"Kita harapkan memang targetnya karena kita memiliki 30 ribu vaksinator yang ada di kurang lebih 10 ribu puskesmas kita maupun di 3.000 rumah sakit kita," katanya.
Dengan target tersebut, artinya harus ada persiapan matang dari sisi data, SDM, distribusi hingga penyimpanannya, agar vaksinasi tepat sasaran. Selain itu, meski sudah ada vaksin masyarakat masih tetap harus patuh melakukan protokol kesehatan tanpa lelah, yang dibarengi dengan 3T yang optimal.