Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) meramal akan terjadi kenaikan harga barang dan jasa (inflasi) di bulan Januari ini. Komoditas pangan seperti cabai hingga produk olahan kedelai menjadi pemicunya.
Dalam survei pemantauan harga (SPH) minggu pertama bulan ini, inflasi diperkirakan berada di angka 0,38% dibanding bulan lalu (month to month/mtm) dan 1,68% terhadap periode yang sama tahun lalu (year on year/yoy).
Penyumbang inflasi masih sama seperti bulan-bulan sebelumnya yaitu komoditas pangan. Cabai rawit, cabai merah, tahu dan tempe secara kumulatif diproyeksikan bakal menyumbang inflasi sebesar 0,2% (mtm).
Kontribusi inflasi keempat bahan pangan tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan komoditas pangan lain seperti ikan kembung, daging ayam ras, udang basah, ikan tongkol dan nasi dengan lauk masing-masing sebesar 0,01% (mtm).
Mengacu pada data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, harga berbagai komoditas cabai masih di atas Rp 50 ribu/kg. Harga cabai rawit merah paling ganas, kenaikannya sangat fantastis.
Rata-rata harga cabai di pasar tradisional domestik pada 23 Desember lalu masih di Rp 57.350/kg. Hari ini Senin (11/1/2021) rata-rata harga cabai sudah tembus Rp 78.250/kg. Artinya ada kenaikan sebesar 36,4% dalam kurun waktu kurang dari satu bulan.
Tidak hanya harganya yang melambung tinggi, disparitas harga cabai juga sangat terasa di berbagai wilayah Tanah Air. Untuk komoditas cabai merah harga terendah di pasar tradisionalnya di bawah Rp 30 ribu/kg di Bulukumba dan Singaraja.
Untuk komoditas yang sama harga tertingginya dijumpai di Singkawang. Harga komoditas cabai merah di pasar tradisional Singkawang hari ini dibanderol di Rp 90 ribu untuk satu kilogram.
Beralih ke jenis cabai rawit hijau, harga terendahnya dipatok di Rp 23 ribu/kg dan dijumpai di Pasar Tradisional Blitar. Harga tertingginya berada di atas Rp 100 ribu/kg dan dijumpai di Ternate.
Berbeda lagi dengan harga cabai rawit merah yang paling pedas. Harga termurahnya dijumpai di Pasar Tradisional Bengkulu. Untuk satu kilogram cabai rawit merah harganya hampir Rp 46 ribu. Sementara harga tertingginya berada di Rp 140 ribu/kg di Sorong.
Faktor cuaca ekstrem seperti hujan lebat memang mempengaruhi produksi berbagai komoditas hortikultura tak terkecuali cabai yang memang sangat sensitif dengan perubahan cuaca.
Kenaikan permintaan di akhir tahun yang dibarengi dengan gangguan produksi dan distribusi akibat hujan membuat stok di pasaran cenderung menipis sehingga harganya melambung tinggi.
Ada yang menarik dari pos penyumbang inflasi bulan ini. Produk olahan kedelai berupa tahu dan tempe juga ikut mengalami kenaikan harga sehingga memberikan andil terhadap inflasi.
Peningkatan harga kedelai ikut memicu kenaikan harga tempe maupun tahu. Fenomena kenaikan harga kedelai tidak hanya terjadi di Indonesia saja tetapi secara global. Di sepanjang tahun 2020 harga kontrak futures (berjangka) kedelai di Bursa Komoditas Dalian meroket tajam tahun lalu. Tak tanggung-tanggung, harga kedelai melesat 65%.
Dalam laporan terbarunya, FAO mencatat harga minyak kedelai mengalami lonjakan lantaran ketersediaan ekspor di Amerika Selatan yang minim dibarengi dengan peningkatan permintaan, terutama dari India.
Selain India, China juga merupakan negara yang banyak mengimpor kedelai. Menurut Ketua Umum Gabungan Koperasi Tempe dan Tahu Indonesia Aip Syarifuddin, China mengimpor hampir semua jenis kedelai, baik yang kualitasnya bagus maupun buruk.
Di Negeri Tirai Bambu, penggunaan kedelai pun beragam. Ada yang dikonsumsi untuk pakan ternak, terutama babi, susu hingga untuk minyak nabati. Menjelang tahun baru Imlek pada Februari biasanya permintaan terhadap daging babi meningkat.
Geliat sektor peternakan babi membuat permintaan terhadap pakannya mengalami kenaikan. Sebagai salah satu importir terbesar di dunia, wajar saja jika permintaan yang tinggi di China turut mengerek harga kedelai.
Mengacu pada laporan Bappenas, Sebagian besar kedelai oleh masyarakat Indonesia dikonsumsi dalam bentuk produk olahan, seperti tahu, tempe, tauco, oncom, kecap, dan susu kedelai.
Luas lahan panen kedelai pada periode 2015-2019 terus mengalami fluktuasi. Begitu juga dengan produksinya. Mirisnya sampai dengan Oktober tahun 2019, produksi kedelai baru 480 ribu ton saja, atau hanya 16% dari target yang dipatok di awal 2,8 juta ton.
Padahal setiap tahunnya Indonesia diperkirakan mengkonsumsi 2,8 juta ton kedelai. Akibatnya, kekurangan pasokan kedelai tersebut harus ditambal dengan mengimpor sebanyak 2,3-2,7 juta ton dalam lima tahun terakhir.
Dalam tiga tahun terakhir terhitung sejak 2018-2020, RI tercatat mengimpor sebanyak 2,59 juta ton; 2,67 juta ton dan terakhir 1,8 juta ton kedelai. Lebih dari 90% kedelai yang diimpor RI berasal dari Amerika Serikat.
Ketergantungan akan impor inilah yang membuat harga kedelai di dalam negeri rentan mengalami fluktuasi dan sangat sensitif terhadap dinamika supply dan demand global.
Menurut Aip, ketika pasokan tidak mampu mengakomodasi seluruh permintaan, AS sebagai produsen global akan cenderung memprioritaskan China karena ukuran pasar yang besar dan karakteristik China yang mengimpor berbagai jenis kedelai.
Ketergantungan pada impor inilah yang membuat Presiden RI Joko Widodo mengungkapkan kejengkelannya. Hal tersebut dikemukakan Jokowi saat meresmikan pembukaan rapat kerja nasional pembangunan pertanian tahun 2021 di Istana Negara, kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.
Jokowi menekankan kepada jajarannya untuk tidak lagi menerapkan kebijakan yang konvensional maupun bersifat rutinitas semata. Jokowi ingin jajarannya bisa membangun kawasan ekonomi secara luas.
Selain masalah ketergantungan pada impor, Indonesia juga memiliki problem lain yaitu disparitas harga kedelai antara produsen dan konsumen. Menurut Bappenas, rata-rata pertumbuhan harga produsen dan konsumen pada periode 1983-2015 berturut-turut adalah 10,59% dan 13,61% per tahun.
Jika dilihat dari disparitas atau margin harga yang terjadi antara harga produsen dan konsumen, terlihat periode setelah krisis ekonomi global selalu memberikan dampak terjadinya lonjakan margin harga kedelai.
Tidak hanya kedelai saja yang harganya melesat tinggi. Banyak komoditas-komoditas lain yang sering mengalami kenaikan yang tinggi. Contohnya adalah cabai merah dan bawang merah. Keduanya memiliki MPP yang sangat tinggi bahkan lebih dari 25%.
Untuk mengatasi permasalahan kronis berupa lonjakan harga komoditas yang merugikan konsumen, pendekatannya tidak hanya melalui tata kelola rantai pasoknya saja tetapi juga harus dibarengi dengan peningkatan produksi dan produktivitas di sektor hulu yang menjadi ranah Kementerian Pertanian.
Perlu ada koordinasi dan sinergi yang lebih kuat di antara kedua lembaga tersebut untuk mewujudkan stabilitas harga pangan. Tidak hanya stabilitas harga saja yang diprioritaskan tetapi juga aspek ketahanan dan kemandirian pangan perlu terus diupayakan.
TIM RISET CNBC INDONESIA