Jakarta, CNBC Indonesia - Gencarnya China menawarkan suntikan vaksin lokal ke sejumlah negara menimbulkan pertanyaan. Di saat negara kaya berebut membeli pasokan vaksin terbatas, Chinsa malah 'obral' vaksin yang ia buat.
Hal ini, menurut sejumlah pengamat tak lepas dari imbalan yang ingin di dapat negara itu ke depan. Melansir AFP, China disebut menginginkan pengembalian diplomatik dalam jangka panjang.
"Tidak diragukan lagi China sedang mempraktikkan diplomasi vaksin dalam upaya untuk memperbaiki citranya yang ternoda," kata Huang Yanzhong, seorang rekan senior untuk kesehatan global di Council on Foreign Relations (CFR), dikutip Jumat (11/12/2020).
"Itu juga telah menjadi alat untuk meningkatkan pengaruh global China dan mengatasi ... masalah geopolitik."
"Langkah Presiden Xi Jinping untuk menawarkan vaksin China di seluruh dunia sebagai 'barang publik' juga memungkinkan Beijing untuk melukis dirinya sendiri sebagai pemimpin dalam kesehatan global."
Strategi tersebut membawa banyak manfaat yang mungkin akan mengalihkan kemarahan dan kritik atas penanganan awal China terhadap pandemi. Termasuk meningkatkan profil perusahaan bioteknologi dan memperkuat dan memperluas pengaruh di Asia dan sekitarnya.
China awalnya memang menghadapi kritik pedas akibat penanganannya terhadap munculnya virus corona di Wuhan. Bahkan sejumlah negara mengkritik China karena tidak jujur di awal soal virus ini.
Tapi kini, China mengawal wabah lebih maju dibanding yang lain. Belum lagi gembar gembor media pemerintah yang menggambarkan kehidupan normal telah kembali di China.
"'Diplomasi vaksin' China bukanlah tanpa syarat," kata Ardhitya Eduard Yeremia dan Klaus Heinrich Raditio dalam sebuah makalah yang diterbitkan bulan ini di Yusof Ishak institute Singapura.
"Beijing dapat menggunakan sumbangan vaksinnya untuk memajukan agenda regionalnya, terutama pada masalah sensitif seperti klaimnya di Laut China Selatan (LCS)."
Halaman 2>>
Upaya China mengobral vaksin juga disebut sebagai bagian lain dari konsep pembiayaan yang tengah China gencarkan ke sejumlah negara 'Belt and Road/BRI/OBOR". Jika China dapat menangkap hanya 15% pasar di negara-negara berpenghasilan menengah dan rendah, itu akan menghasilkan penjualan sekitar US$ 2,8 miliar bagi negara itu.
"Setiap orang berteriak-teriak meminta vaksin dan Beijing berada dalam posisi yang baik untuk memanfaatkan 'emas di dasar piramida'," kata seorang analis di Essence Securities, sebuah perusahaan pialang yang berbasis di Hong Kong, masih melansir AFP.
Penggerak inokulasi global juga membutuhkan fasilitas penyimpanan dan rantai dingin untuk mengangkut dosis. Proyek-proyek semacam itu cocok dengan dorongan infrastruktur Xi senilai US$ 1 triliun melalui OBOR, yang sebaliknya terpukul karena pandemi, kata Kirk Lancaster dari CFR.
Raksasa e-commerce Alibaba telah membangun gudang di Ethiopia dan Dubai yang akan berfungsi sebagai pusat distribusi vaksin untuk Afrika dan Timur Tengah. Beijing sedang membangun fasilitas produksi vaksin di negara-negara seperti Brasil, Maroko, termasuk Indonesia yang telah berpartisipasi dalam uji coba global oleh pembuat obat China.
Dan China telah menjanjikan pinjaman $ 1 miliar kepada negara-negara Amerika Latin dan Karibia untuk mendanai pengadaan. Perusahaan China akan dapat mendukung infrastruktur ini lebih jauh.
"Semua upaya ini, yang dicap sebagai 'Jalur Sutra Kesehatan', membantu China memulihkan reputasi nasionalnya sambil membuka pasar baru bagi perusahaannya," kata Lancaster.
Halaman 3>>>
Sebenarnya, China memiliki empat vaksin dalam tahap akhir pengembangan. China juga sangat maju dengan pengujian manusia massal di sejumlah negara, termasuk Brasil, Uni Emirat Arab, dan Turki. Sebanyak jutaan warga di dalam negeri juga telah menerima suntikan.
Tetapi tidak seperti vaksin yang dikembangkan oleh Moderna, AstraZeneca dan Johnson & Johnson, sedikit informasi yang telah dipublikasikan tentang keamanan atau kemanjuran vaksin Cina. Otoritas Partai Komunis China, yang mengontrol segalanya mulai dari universitas hingga regulator, belum memaparkan bagaimana pengawasan publiknya.
"Kurangnya transparansi dalam sistem China berarti ribuan (di dalam negeri) telah menerima vaksin China tanpa data pengujian yang relevan dipublikasikan," kata Natasha Kassam, analis kebijakan China di Lowy Institute.
Ia mengatakan bahwa kekurangan data "akan menyebabkan alarm" selama peluncuran global. Pembuat vaksin China juga telah memeriksa reputasi, setelah skandal besar yang melibatkan produk kadaluarsa atau kualitas buruk. Semua itu, kata dia, memaksa semua pembeli luar negeri untuk berhati-hati.
Sebelumnya, menurut data dari konsultan London Airfinity, vaksin Sinovac dan Sinopharm telah dipesan kurang dari 500 juta dosis pada pertengahan November. Kebanyakan dari negara-negara yang telah berpartisipasi dalam uji coba.
Vaksin AstraZeneca, memiliki pesanan sebanyak 2,4 miliar dosis. Sementara Pfizer memiliki sekitar setengah miliar pesanan.
"(Masyarakat) yang semakin tidak percaya pada China cenderung tidak mempercayai kandidat vaksin yang dipimpin China," kata Kassam.
Sebelumnya, kepercayaan yang lebih luas di Beijing juga anjlok tahun ini, dengan studi 14 negara oleh Pew Research Center menemukan penurunan tajam dalam persepsi negara.