
BI Ramal November Inflasi Lagi, Resesi Sudah Pergi?

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) memperkirakan laju inflasi bulan ini kembali terakselerasi. Namun apakah ini menjadi pertanda daya beli rakyat sudah pulih?
Berdasarkan Survei Pemantauan Harga (SPH) pekan II, inflasi November 2020 diperkirakan sebesar 0,21% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/MtM). Lebih tinggi dibandingkan inflasi Oktober 2020 yaitu 0,07% MtM.
Sementara inflasi tahun kalender menjadi 1,7% dan inflasi tahunan (year-on-year/YoY) adalah 1,53%. Juga lebih tinggi dibandingkan Oktober 2020 yang masing-masing 0,95% dan 1,44%.
"Penyumbang utama inflasi yaitu daging ayam ras sebesar 0,08% (MtM), cabai merah sebesar 0,03%, telur ayam ras dan bawang merah masing-masing sebesar 0,02%, serta cabai rawit, minyak goreng, tomat dan bawang putih masing-masing sebesar 0,01%. Sementara itu, komoditas yang menyumbang deflasi pada periode laporan berasal dari komoditas tarif angkutan udara dan emas perhiasan masing-masing sebesar -0,01%," sebut laporan BI.
Mengutip data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis, harga daging ayam ras dalam periode 15 Oktober-16 November 2020 naik 10,12% secara point-to-point. Dalam waktu yang sama harga telur ayam ras melonjak 16,33%, bawang merah ukuran sedang melesat 13,44%, dan bawang putih ukuran sedang naik 7,3%.
Sepanjang Juli-September 2020, Indonesia selalu mencatatkan deflasi. Biasanya deflasi disyukuri, karena mencerminkan pasokan yang memadai di tengah permintaan yang terus meningkat khas negara berkembang.
Namun sekarang beda. Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) yang diatasi dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) membuat ekonomi mati suri. Produksi terhambat karena penerapan protokol kesehatan, dan permintaan pun anjlok karena aktivitas masyarakat di luar rumah masih sangat terbatas.
Oleh karena itu, deflasi lebih dimaknai sebagai kelesuan ekonomi. Pelaku usaha dipaksa menurunkan harga demi mempertahankan permintaan. Ini bukan ciri ekonomi yang sehat.
