
Etdah! Indonesia Juara 1 Negara Paling Ruwet dalam Berbisnis

Jakarta- CNBC Indonesia - Pekan ini, pemerintah dan DPR mengesahkan UU Cipta Kerja (Ciptaker). Beleid ini diharapkan mampu mengatasi berbagai masalah dalam berinvestasi di Tanah Air.
UU Ciptaker pada dasarnya adalah upaya reformasi struktural untuk menghilangkan berbagai hambatan dalam berinvestasi, terutama di sektor riil yang menciptakan lapangan kerja. Upaya ini tidak salah, karena berinvestasi di Indonesia selama ini memang boros bin tidak efisien.
Ini terlihat dari angka rasio investasi yang dibutuhkan untuk mengangkat Produk Domestik Bruto/PDB atau Incremental Capital Output Ratio (ICOR). Mengutip dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2021, angka ICOR Indonesia pada 2018 adalah 6,44 dan setahun berikutnya naik ke 6,77.
Artinya untuk menambah 1 output dibutuhkan investasi lebih dari 6. Padahal ICOR yang ideal adalah 3, cukup membutuhkan 3 investasi untuk menambah 1 output.
Salah satu inefisiensi berinvestasi di Indonesia adalah birokrasi yang panjang dan memakan waktu. Ini yang coba dilibas oleh UU Ciptaker agar Indonesia bisa semakin menarik di mata investor sehingga mau menanamkan modal dan menciptakan lapangan kerja.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Berinvestasi di Indonesia Paling Ruwet! (NEXT)
Nah, kini UU Ciptaker punya satu pekerjaan rumah lagi. Bagaimana caranya membuat berinvestasi di Indonesia lebih mudah, aman, nyaman, dan memberikan kepastian bagi investor.
Bukan apa-apa, TMF Group dalam laporan Global Business Complexity Index Rangkings 2020 menempatkan Indonesia di peringkat pertama. Ini bukan prestasi, karena posisi teratas di sini berarti Indonesia menjadi negara dengan tingkat kerumitan bisnis paling tinggi. Paling ruwet...
Menurut TMG Group, kerumitan berinvestasi di Indonesia terutama disebabkan oleh kebijakan perburuhan yang sangat kaku. Dengan semangat melindungi pekerja dari eksploitasi, sulit bagi pengusaha untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena wajib membayar pesangon dalam jumlah besar.
"Sulit untuk melakukan upaya pendisiplinan atau memecat pegawai yang kinerjanya kurang. Regulasi semacam ini yang dinilai oleh pihak luar sebagai penghambat investasi asing," sebut laporan TMF Group.
Selain itu, TMF Group juga menyoroti keberadaan Daftar Negatif Investasi (DNI) yang membatasi peranan investor asing. Saat ini, DNI melingkupi 22 sektor usaha yang memiliki 200 sub-sektor turunan.
Namun, TMF Group memandang sudah ada upaya untuk menyederhanakan iklim usaha dan kebijakan perburuhan. Misalnya dengan membuka lebih banyak sektor usaha untuk investasi asing dengan memangkas DNI menjadi 16-20 sektor. Upaya semacam ini dapat memperbaiki peringkat Indonesia ke depan.
"Presiden Joko Widodo (Jokowi) sangat ingin mendorong masuknya investasi asing dan berencana menyederhanakan berbagai hal semaksimal mungkin. Indonesia adalah lokasi investasi yang menarik dengan pasar yang besar. Dengan kemudahan dalam berusaha yang membaik, Indonesia akan semakin menarik," kata Alvin Christian dari TMF Group Indonesia.
Lebih lanjut, TMF Group juga menyoroti soal proses mendirikan usaha di Tanah Air. Prosesnya kudu melibatkan 30 atau bahkan lebih instansi pemerintahan baik di pusat maupun daerah.
"Di Indonesia, kalau sebuah perusahaan mau beroperasi saja butuh sampai 11 jenis perizinan. Ada 22 sektor industri dengan sekitar 200 sub-sektor turunan, masing-masing membutuhkan jenis perizinan yang berbeda," tulis laporan TMF Group.
Berbagai masalah tersebut coba diatasi dengan kehadiran UU Ciptaker. Dampaknya memang tidak akan serta-merta, apalagi UU ini masih butuh aturan pelaksana yang jumlahnya puluhan.
Akan tetapi setidaknya Indonesia sudah mampu mengidentifikasi masalah dan berupaya mengatasinya. Apakah nanti hasilnya sesuai harapan, hanya waktu yang bisa membuktikan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Kasus Covid-19 Terus Naik, FDI Sulit Tumbuh Positif
