
Ego Sektoral Bikin Daya Saing RI Keok dengan Malaysia-Vietnam

Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menargetkan Indonesia bisa berada di peringkat ke-60 dalam kemudahan berusaha (Ease of Doing Business/EoDB) pada 2021. Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menjelaskan, secara berturut-turut, sejak 2019 sampai 2020, peringkat EoDB Indonesia stagnan di peringkat ke-73.
"Untuk tahun ini (2021), Insya Allah kita akan perkirakan di urutan ke-60," kata Bahlil dalam diskusi virtual, Selasa (8/9/2020).
Bahlil sempat mengatakan target EoDB Indonesia akan naik peringkat sesuai arahan Presiden Jokowi pada 2023 naik ke peringkat 40.
Bahlil menceritakan, EoDB Indonesia yang berada di peringkat 73 saat ini, merupakan sebuah langkah maju untuk investasi. Pasalnya sebelum pemerintahan Presiden Jokokwi dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin, peringkat EoDB Indonesia ada di posisi 120.
Kemudian seiring waktu naik ke peringkat ke-73. Tapi dalam dua tahun tidak ada perubahan, yakni tetap berada di posisi tersebut.
"Setelah kita mengkaji, kenapa stuck? karena memang aturan-aturan di kementerian yang dijadikan sebagai rujukan oleh Bank Dunia itu kita belum melakukan reformasi, yang tadi saya katakan bahwa terjadi ego sektoral," sebutnya.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) ingin peringkat kemudahan berusaha (ease of doing business/EoDB) Indonesia terus naik. Hal ini untuk mengejar capaian negara tetangga seperti Vietnam level 69, Malaysia level 15, hingga China di level 46.
"Masalah utama yang harus kita benahi adalah prosedur dan waktu yang harus disederhanakan. Prosedur yang ruwet, waktu yang masih panjang," kata Jokowi ketika memimpin rapat terbatas di Istana Kepresidenan, Rabu (12/2/20).
Berharap Besar Pada Omnibus Law
Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) diyakini oleh pemerintah bisa meningkatkan kinerja investasi hingga 3% dari realisasi investasi tahun 2019. Kinerja investasi ini sangat melekat dengan persoalan daya saing.
Bahlil menjelaskan, Omnibus Law Ciptaker jika disahkan, bisa meningkatkan kenaikan investasi 2% - 3% dari realisasi investasi 2019. Investasi yang menggambarkan kondisi perekonomian Indonesia dalam masa normal atau belum berdampak karena pandemi covid-19.
"Sebenarnya hitungan kita bisa di atas 2%-3% dari realisasi saat situasi yang normal. Namun kita sedang mendetailkan lagi penyusunannya," kata Bahlil.
Realisasi investasi tahun 2019 mencapai Rp 809,6 triliun. Dengan perkiraan pertumbuhan investasi lewat RUU Omnibus Law Cipatker, maka bisa menciptakan investasi pada kisaran Rp 825,7 triliun hingga Rp 833,8 triliun.
Bahlil juga optimistis, melalui RUU Omnibus Law Ciptaker bisa menciptakan lapangan kerja baru bagi 16,5 juta tenaga kerja di Indonesia, khususnya tenaga kerja dalam negeri.
Angka 16,5 juta pengangguran itu, berdasarkan hitungan Bahlil, terdiri dari 7 juta pengangguran yang sudah ada, ditambah 2,5 juta tambahan angkatan kerja per tahun, serta korban PHK yang saat ini mencapai angka 7 juta.
"Kita pastikan tenaga kerja dalam negeri bukan asing, itu perintah Presiden," ujarnya.
Melalui RUU Omnibus Law Cipta Kerja, diklaim Bahlil juga akan mendongkrak industri manufaktur yang memiliki nilai tambah, tidak hanya berbasis komoditas.
(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sedih, Daya Saing Indonesia Melorot 8 Peringkat!