Ya, sudah sembilan tahun lamanya Indonesia mengidap defisit di transaksi berjalan. Sampai-sampai kita terbiasanya menyebutnya CAD, Current Account Deficit.
Transaksi berjalan adalah salah satu dari dua pos di neraca pembayaran. Pos ini mencerminkan pasokan devisa di sebuah negara dari kegiatan ekspor-impor barang dan jasa.
Pasokan valas dari transaksi berjalan dinilai lebih stabil, lebih berkelanjutan, lebih berjangka panjang ketimbang di pos sebelah, transaksi modal dan finansial. Oleh karena itu, transaksi berjalan kerap dipakai sebagai salah satu indikator untuk mengukur ketahanan eksternal suatu negara. Saat transaksi berjalan surplus, maka negara tersebut relatif lebih mampu bertahan di tengah guncangan ekonomi.
Kali terakhir Indonesia membukukan surplus di transaksi berjalan adalah pada kuartal III-2011. Selepas itu, transaksi berjalan selalu defisit sehingga kita jadi terbiasa menyebutnya CAD.
Namun kini sepertinya kebiasaan itu harus dihilangkan. Sebab pada kuartal III-2020 ada kemungkinan transaksi berjalan bakal kembali surplus.
"Transaksi berjalan pada kuartal III-2020 diperkirakan akan mencatat surplus. Dipengaruhi oleh perbaikan ekspor dan penyesuaian impor sejalan dengan permintaan domestik yang belum cukup kuat," ungkap Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia (BI), dalam jumpa pers usar Rapat Dewan Gubernur Periode September 2020, kemarin.
Surplus transaksi berjalan bagai holy grail bagi Indonesia. Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga kini Presiden Joko Widodo (Jokowi) begitu mendambakannya.
Jokowi tidak jarang menyebut bahwa transaksi berjalan adalah kunci bagi Indonesia untuk lebih kompetitif. Sebab jika transaksi berjalan masih terus defisit, maka Indonesia belum benar-benar mandiri.
"Kalau neraca transaksi berjalan kita sudah positif, sudah baik, saat itulah kita betul-betul merdeka. Dengan siapa pun kita berani. (Saat transaksi berjalan surplus) kita berani, karena tidak ada ketergantungan apa pun mengenai sisi keuangan, sisi ekonomi," tegas Jokowi, awal tahun ini.
Kepala negara betul. Ketika transaksi berjalan minus, maka pasokan valas di dalam negeri akan bergantung kepada investasi portofolio di sektor keuangan alias hot money. Uang panas yang bisa datang dan pergi sesuka hati, sehingga membikin ekonomi menjadi tidak stabil, mudah 'digoyang'.
Selama masih mengandalkan hot money sebagai pemasok devisa utama, maka Indonesia harus memberi pelayanan maksimal kepada investor asing agar mau membeli aset-aset keuangan. Entah itu dengan imbalan yang tinggi, insentif pajak, dan sebagainya. Indonesia belum 'merdeka' karena masih harus menuruti kemauan investor asing.
Sekarang holy grail itu sudah direngkuh. Butuh sembilan tahun, bukan waktu yang sebentar. Meski lebih singkat ketimbang Liverpool yang baru menemukan holy grail dalam bentuk trofi Liga Primer Inggris setelah pencarian selama 30 tahun.
Meski sebuah pencapaian besar sudah terpenuhi, tetapi rasanya kok ada yang janggal. Seperti yang disinggung oleh Gubernur Perry, surplus transaksi berjalan disebabkan oleh penyesuaian impor.
Penyesuaian impor is an understatement, terlalu sopan. Kejadian yang sebenarnya, impor anjlok seanjlok-anjloknya.
Pada kuartal III-2020, lanjut Perry, surplus neraca perdagangan lebih besar dibandingkan kuartal sebelumnya. Dalam dua bulan awal kuartal III saja, surplus neraca perdagangan mencapai US$ 5,57 miliar.
Ini terjadi karena impor yang mengalami kontraksi sangat dalam. Pada Juli 2020, impor turun 32,55% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY) dan sebulan kemudian negatif 24,19% YoY.
Lho, impor turun bukannya bagus ya? Tidak semudah itu, bung...
Masalahnya, lebih dari 90% impor Indonesia adalah bahan baku/penolong dan barang modal yang dipakai untuk proses produksi industri dalam negeri. Impor barang konsumsi hanya sedikit, tidak sampai 10%.
Oleh karena itu, impor yang ambles adalah gambaran industri Tanah Air sedang lesu. Ini terlhat dari Purchasing Managers' Index (PMI) sektor manufaktur yang kerap berada di zona kontraksi.
Pada September 2020, skor PMI manufaktur Indonesia adalah 47,2. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 50,8.
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Kalau di bawah 50 berarti kontraksi, di atas 50 berarti ekspansi.
Mengapa industri kita begitu lemah-letih-lesu? Apa yang salah?
Well, masalah ini bukan cuma terjadi di Indonesia. Dunia saat ini sedang dilanda krisis, resesi ekonomi terjadi di mana-mana.
Krisis ini bermula dari masalah kesehatan yaitu penyebaran virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Virus yang awalnya menyebar di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini telah ditetapkan menjadi pandemi global.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat jumlah pasien positif corona di seluruh negara per 13 Oktober 2020 pukul 17:06 CEST (22:06 WIB) mencapai 37.704.153 orang. Bertambah 269.975 orang dibandingkan hari sebelumnya.
Pagebluk virus corona juga melanda Indonesia. Kementerian Kesehatan melaporkan jumlah pasien positif corona per 13 Oktober 2020 adalah 340.622 orang. Bertambah 3.906 orang dibandingkan hari sebelumnya.
Dalam 14 hari terakhir (30 September-13 Oktober), rata-rata pasien baru di Indonesia bertambah 4.136 orang per hari. Naik dibandingkan 14 hari sebelumnya yakni 4.121 orang.
Untuk meredam penyebaran virus corona, pemerintah di hampir seluruh negara mengedepankan kebijakan pembatasan sosial (social distancing). Intinya, manusia harus berjarak satu dengan yang lain. Berbagai aktivitas yang membuat interaksi dan kontak antar manusia (terutama dalam jarak dekat di ruangan tertutup) sebaiknya dihindari dulu.
Di Indonesia, kebijakan social distancing dikenal dengan nama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 21/2020. Pasal 3 PP tersebut menyatakan bahwa PSBB minimal meliputi:
- Peliburan sekolah dan tempat kerja.
- Pembatasan kegiatan keagamaan.
- Pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
Selain instruksi pemerintah, sebagian masyarakat yang punya kesadaran dan kekhawatiran akan risiko penularan menjalankan social distancing secara sukarela. Ini membuat aktivitas di luar rumah semakin terbatas.
Jadi, tidak heran proses produksi terganggu. Jumlah karyawan yang masuk kerja masih di bahwa kapasitas penuh.
Tidak hanya itu, permintaan juga anjlok karena kegiatan warga belum pulih seperti dulu. Ini membuat dunia usaha mengurangi produksi untuk menekan biaya.
"Penurunan penjualan membuat kapasitas produksi belum sepenuhnya terpakai. Perusahaan pun menurunkan pembelian bahan baku dalam rangka efisiensi. Hasilnya, produksi manufaktur turun selama tiga bulan beruntun," sebut keterangan tertulis IHS Markit dalam laporan PMI manufaktur Indonesia periode September 2020.
Jadi, memang betul Indonesia akhirnya bisa mencatatkan surplus transaksi berjalan. Namun surplus ini bukan tercipta dalam kondisi ideal, tetapi karena keprihatinan. Surplus transaksi berjalan terasa semakin hambar karena justru semakin menegaskan bahwa ekonomi Indonesia sedang mati suri, masuk jurang resesi.
TIM RISET CNBC INDONESIA