
Wacana Sejak Zaman Soeharto, Bank Tanah Dieksekusi Jokowi

Jakarta, CNBC Indonesia - UU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) mengamanatkan pembentukan Bank Tanah. Pemerintah mengklaim bahwa dengan regulasi itu, bisa membuat persoalan pengadaan tanah menjadi lebih murah bahkan sampai gratis bagi masyarakat.
Pengamat Hukum Agraria dan Praktisi Hukum bidang Pertanahan Erwin Kallo buka suara mengenai hal ini. Dia menjelaskan bahwa wacana Bank Tanah ini sebenarnya bukan barang baru.
"Sudah sejak lama, bahkan sejak zaman Pak Harto sudah ada wacana Bank Tanah. Jadi komentar saya adalah untuk Bank Tanah di dalam Undang-Undang Cipta Kerja ini, sebagai konsep sebagai semangat sih oke-oke saja ya," ujarnya kepada CNBC Indonesia, Jumat (9/10/20).
Pilihan Redaksi |
Kendati demikian, bukan berarti Bank Tanah bakal jadi 'juru selamat' bagi persoalan agraria di Indonesia. Dia menyebut, secara umum terdapat tiga kategori peruntukan tanah yang diatur, yakni pertanian, perkebunan dan perumahan.
"Kalau untuk pertanian dan perkebunan, saya kira implementasinya tidak sulit ya. Karena kan banyak tanah tanah HGU yang bisa dijadikan Bank Tanah. Tapi kalau kita bicara soal untuk perumahan, apalagi di kota, ini perlu kita diskusi panjang dalam praktiknya. Karena tidak ada tanah negara bebas yang ada di kota. Tanah negara itu ada dua, tanah negara bebas dan tanah negara tidak bebas," ucapnya.
Menurutnya, untuk mengambil kembali tanah berstatus HGU dari pemegang hak, masih bisa dimungkinkan terealisasi karena kepemilikan tanah masih di tangan pemerintah. Namun, untuk tanah-tanah di perkotaan sebagian besar sudah jadi hak milik masyarakat atau pun pengembang.
"Kalau di perkotaan itu kan masyarakat punya, artinya kan ada anggaran untuk membayar tanah itu. Pasti dong, nggak mungkin diusir gratis kan," tandasnya.
Dia juga mengingatkan mengenai tujuan yang ingin dicapai pemerintah. Khusus untuk pengadaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) misalnya, banyak faktor yang sebenarnya menjadi porsi pemerintah sendiri yang membuat harga rumah tak terjangkau.
"Kalau golnya itu untuk agar masyarakat menengah ke bawah itu dapat menjangkau harga rumah, ini kan masalahnya ada gap yang terlalu besar antara daya beli masyarakat dengan harga rumah," katanya.
Ia menegaskan, tak perlu jauh-jauh ke konsep Bank Tanah juga faktor-faktor lain belum teratasi. Menurutnya, salah satu solusi untuk memangkas harga rumah adalah pengurangan biaya produksi di sisi perpajakan.
"Kalau misalnya dikurangi biaya produksinya, komponen cost nya itu kan signifikan. Kalau pemerintah serius punya political will tentang itu, hilangkan pajak-pajaknya. Hilangkan retribusi-retribusinya. Anda tahu itu kurang lebih 30% sudah bisa mengurangi cost," bebernya.
Pungutan negara dari proses produksi memang berlipat. Dikatakan, sejak tanah dibeli sudah ada pungutan berupa PPH dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang masing-masing 5%, sehingga jadi 10%.
"Waktu dibangun, kontraktor juga kan ada PPN 10%. Barang-barang material yang dibeli, beli semen beli ini beli itu ada PPN juga, waktu rumahnya jadi, dijual ada PPN lagi kan dengan BPHTB. Belum lagi kita bicara IMB izin semua ada retribusi," ungkapnya.
(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jokowi Ungkap Keberadaan Bank Tanah, Buat Apa Ya?