Tak Seperti RI, Dua Negara Komunis Ini Anti Resesi!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
30 September 2020 07:36
Vaksin China SinoVac
Foto: AP/Ng Han Guan

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) telah membuat perekonomian dunia hancur lebur. Kemajuan yang dicapai dengan susah payah selama puluhan tahun runtuh dalam hitungan bulan.

Penyebaran virus corona mulai terendus di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China sekira akhir Januari 2020. Momentum yang bersamaan dengan musim liburan Tahun Baru Imlek, puncak mobilitas warga Negeri Tirai Bambu.

Warga Wuhan yang bepergian ke kota dan negara lain membuat virus menyebar dengan cepat di seluruh dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) akhirnya mengumumkan Covid-19 sebagai pandemi global pada Maret 2020.

Per 29 September 2020, WHO mencatat jumlah pasien positif corona di seluruh negara mencapai 33.249.563 orang. Bertambah 222.748 orang dibandingkan sehari sebelumnya.

Dalam 14 hari terakhir (16-29 September 2020), rata-rata penambahan pasien baru adalah 287.914 orang per hari. Naik dibandingkan 14 hari sebelumnya yaitu 274.839 orang.

Sementara jumlah pasien meninggal per 29 September 2020 adalah 1.000.040 orang. Bertambah 3.694 orang dibandingkan sehari sebelumnya.

Dalam 14 hari terakhir, jumlah mereka yang tutup usia karena serangan virus laknat ini rata-rata bertambah 5.205 orang. Turun dari 14 hari sebelumnya yaitu 5.608 orang.

Untuk meredam penyebaran virus corona, berbagai negara mengedepankan kebijakan pembatasan sosial (social distancing). Sebisa mungkin manusia dibuat berjarak antara satu dengan yang lain, agar risiko penularan virus bisa diminimalkan.

Di Indonesia, kebijakan ini diterjemahkan dalam bentuk Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Aktivitas masyarakat dibatasi untuk sementara agar mengurangi risiko penyebaran virus corona.

Pembatasan kegiatan masyarakat ini yang kemudian membuat pandemi virus corona menjadi problema sosial ekonomi. Saat masyarakat diminta sebisa mungkin untuk #dirumahaja, maka aktivitas produksi akan terhambat. Permintaan konsumen pun berkurang, karena apa yang mau dibeli kalau ngendon di rumah?

Virus corona telah memukul ekonomi di dua sisi sekaligus, penawaran (supply) dan permintaan (demand). Hasilnya, ekonomi Indonesia menciut.

Ukuran ekonomi yang dicerminkan dalam Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal II-2020 turun 5,32%. Kuartal III-2020 memang belum berakhir, tinggal hitungan hari. Namun kemungkinan besar kontraksi (pertumbuhan negatif) ekonomi akan kembali terjadi.

Jadi, Indonesia sedang di ambang kontraksi PDB selama dua kuartal beruntun. Ini adalah definisi dari resesi, sesuatu yang belum pernah terjadi sejak 1999.

Namun Indonesia tidak sendiri. Berdasarkan catatan Trading Economics, sudah ada 46 negara yang mengidap resesi.

Di tengah lautan resesi dan kontraksi ekonomi, ternyata masih ada negara yang bertahan dengan pertumbuhan ekonomi positif. Memang melambat, tetapi setidaknya belum sampai masuk zona negatif.

China dan Vietnam adalah dua negara tersebut. Pada kuartal I-2020, ekonomi China memang terkontraksi -6,8%. Namun pada kuartal berikutnya, saat negara-negara lain sedang parah-parahnya, PDB China tumbuh 3,2%.

Vietnam lebih oke lagi. Pada kuartal I-2020, PDB Negeri Paman Ho tumbuh 3,68% dan pada kuartal berikutnya masih tumbuh 0,39%. Untuk kuartal III-2020, pembacaan awal terhadap pertumbuhan ekonomi Vietnam menunjukkan angka 2,62%. Tidak pernah negatif, luar biasa.

Apa yang membuat dua negara yang menganut ideologi komunis ini bisa kebal terhadap resesi sementara negara lain yang mengaku demokratis malah 'berdarah-darah'? Ternyata kuncinya adalah kecepatan dan ketepatan dalam antisipasi.

Seperti yang sudah disinggung di atas, virus corona awalnya menyebar di China. Negara tersebut adalah yang paling awal memberlakukan social distancing, bahkan sampai ke tingkat karantina wilayah (lockdown).

Warga benar-benar tidak boleh keluar rumah, kecuali untuk urusan mendesak. Aparat keamanan menyediakan kebutuhan sehari-hari dari rumah ke rumah agar tidak ada yang merasa perlu bepergian.

Lockdown paling ketat berlangsung di Provinsi Hubei, utamanya Kota Wuhan, yang menjadi ground zero penyebaran virus corona.

"Tiga bulan lamanya Wuhan di-lockdown. Juga seluruh Provinsi Hubei. Dan praktis seluruh Tiongkok.

"Tiga bulan lamanya lockdown diberlakukan. Sangat drastis. Ketat. Kejam. Manusia dibuat sangat menderita. Sangat terkekang," tulis Dahlan Iskan, mantan Menteri BUMN, dalam artikel berjudul Bebas Wuhan di laman disway.com yang terbit pada 27 Maret.

Lockdown di Provinsi Hubei dimulai pada 23 Januari alias pada kuartal I. Lockdown berlangsung selama 76 hari, baru dilonggarkan pada 8 April. Ini yang membuat ekonomi China jadi minus pada kuartal I.

Namun pada kuartal II, saat negara-negara lain sedang getol menerapkan social distancing, China boleh dikata sudah 'bebas'. Roda aktivitas masyarakat sudah bergulir kembali, meski masih dibatasi protokol kesehatan. Hasilnya, ekonomi Negeri Tirai Bambu bisa tumbuh positif pada periode April-Juni.

Situasi serupa terjadi di Vietnam. Seperti dikutip dari Viet Nam News, pemerintah Vietnam sudah menyusun strategi untuk mencegah wabah pneumonia akut yang menjangkiti Wuhan sejak awal tahun. Kala itu namanya belum Covid-19.

"Wakil Perdana Menteri Vu Duc Dam memerintahkan berbagai kementerian dan lembaga yang terkait untuk menerapkan langkah drastis dalam rangka mencegah pneumonia akut yang disebabkan oleh novel coronavirus (nCov) agar tidak menyebar di Vietnam. Dam memerintahkan lembaga-lembaga tersebut untuk memonitor perkembangan di China dan memperkuat karantina medis di perbatasan, bandara, dan pelabuhan. Dam menginstruksikan kepada menteri kesehatan untuk segera menyusun rencana aksi untuk merespons penyakit tersebut, menyusul adanya rekomendasi dari Organisasi Kesehatan Dunia," tulis berita di Viet Nam News tertanggal 17 Januari.

Saat itu, Vietnam mungkin mendapat cap lebay alias berlebihan. Namun ternyata sikap itu sukses menjinakkan penyebaran virus corona.

"Saat Anda berhadapan dengan penyakit yang masih belum diketahui seperti ini, memang lebih baik bersikap berlebihan," ujar Dr Todd Poolack dari Universitas Harvard, seperti dikutip dari BBC.

"Vietnam beraksi cepat, sangat cepat, yang mungkin terlihat berlebihan pada masanya. Namun ternyata berhasil," tambah Profesor Guy Thwaites, Direktur Oxfrod University Clinical Research Unit yang berbasis di Ho Chi Minh, juga dikutip dari BBC.

Reaksi cepat dari China dan Vietnam terbukti cespleng. Kala penyebaran virus bisa ditangani secara cepat, maka semakin cepat pula pemerintah bisa membuka jalan bagi aktivitas publik dan pertumbuhan ekonomi. Sejauh ini, China dan Vietnam boleh mendapat status negara kebal resesi.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular