Jakarta, CNBC Indonesia- Sejumlah praktisi hukum mendesak agar Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang segera direvisi. Tujuannya adalah untuk memberikan kepastian bagi dunia usaha termasuk industri properti.
Mereka menilai masih banyak celah yang bisa dimanfaatkan oleh mafia hukum untuk mempailitkan perusahaan properti yang sebenarnya memiliki kinerja baik. Hal ini dapat berdampak negatif bagi masyarakat dan konsumen, yang ujungnya membuat industri properti terhambat.
Hal tersebut disampaikan Cornel B. Juniarto dari Hermawan Juniarto & Partners Lawyers, member Deloitte Legal Network dalam Exclusive Interview CNBC Indonesia bertema "Pailit Dalam Industri Properti, Jumat (18/9/2020).
Cornel menjelaskan ada 16 rekomendasi untuk revisi undang-undang Kepailitan dan PKPU. Rekomendasi tersebut sudah masuk dalam naskah akademik dalam RUU Kepailitan dan PKPU yang baru.
"Saya mencatat revisi ini belum masuk ke dalam Prolegnas. Sebenarnya saat ini menjadi momentum yang baik agar RUU ini bisa masuk Prolegnas," ujarnya.
Lebih perinci, dia menjelaskan poin pertama dalam rekomendasi tersebut adalah persyaratan kepailitan yang terdapat penambahan menjadi dua kreditor dengan dua utang jatuh tempo dan perlu adanya nilai minimum yang dapat diajukan permohonan kepailitan.
Poin selanjutnya, adalah pembuktian sederhana dalam gugatan pailit dalm PKPU bisa dilanjutkan dan disidang. Dalam poin ini akan menghapus ketentuan "harus" dalam ketentuan Pasal 8 ayat (4) UU KPKPU untuk memberikan ruang bagi Hakim untuk menilai tidak hanya secara formal melainkan juga secara material.
"Selain itu diperlukan adanya pemeriksaan tes likuiditas terhadap debitur Pailit," ujarnya.
Poin berikutnya adalah keadaan Diam Otomatis (automatic stay). Dalam poin, debitur dapat mengurus harta namun tidak diperbolehkan mengalihkan kepada pihak lain, dan kreditur tidak diperbolehkan mengambil tindakan hukum terhadap harta kekayaan kecuali kreditur pemegang jaminan.
Sementara itu, Erwin Kallo dari Lembaga Advokasi Konsumen Properti Indonesia mengatakan konsumen menjadi pihak yang dirugikan dalam kasus PKPU dan pailit. Pasalnya, konsumen bukan kreditur preferen sehingga haknya diberikan paling akhir.
"Ketentuan hal ini harus diubah karena seharusnya konsumen itu bukan kreditur konkuren tetapi masuk sebagai kreditur preferen," ujarnya,
Selain itu, dia meminta agar konsumen yang membeli lunas properti bisa dipisahkan dalam boedel pailit. Apalagi apabila konsumen tersebut telah memang surat-surat resmi seperti Sertifikat Hak Milik.
Berikut ini 16 rekomendasi lengkap dalam RUU Kepailitan dan PKPU :
1. Persyaratan kepailitan
Pasal 2 ayat (1) Undang - Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ("UU KPKPU") yaitu penambahan menjadi 2 (dua) Kreditor dengan dua utang jatuh tempodan perlu adanya nilai minimum yang dapat diajukan permohonan kepailitan.
2.Pembuktian sederhana
Menghapus ketentuan "harus" dalam ketentuan Pasal 8 ayat (4) UU KPKPU untuk memberikan ruang bagi Hakim untuk menilai tidak hanya secara formal melainkan juga secara material. Selain itu diperlukan adannya pemeriksaan tes likuiditas terhadap Debitur Pailit.
3. Keadaan Diam Otomatis (automatic stay)
Automatic stay akan berlaku sejak permohonan pailit diterima oleh Ketua Pengadilan. Dalam automatic stay, debitur dapat mengurus harta namun tidak diperbolehkan mengalihkan kepada pihak lain, dan kreditur tidak diperbolehkan mengambil tindakan hukum terhadap harta kekayaan kecuali kreditur pemegang jaminan.
4. Otoritas Jasa Keuangan ("OJK") sebagai pemohon Kepailitan
Kewenangan OJK dalam menjadi pemohon kepailitan lembaga-lembaga keuangan seperti Bank, perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dan perusahaan dana pensiun.
5.Permohonan kepailitan terhadap BUMN
Penambahan pasal tersendiri yang mengatur mengenai kepailitan BUMN yang dimohonkan kepada Pengadilan Niaga oleh Menteri Keuangan terkait dengan kepentingan hidup orang banyak.
6. Kewenangan panitera dalam pemeriksaan permohonan berdasarkan pasal 6 ayat (3) dan 224 ayat (6) UU KPKPU
Mempertegas kewenangan Panitera yang memastikan syarat formal pendaftaran permohonan kepailitan. Hal ini untuk mencegah permohonan yang tidak berdasar secara formal dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) UU KPKPU.
7. Salinan putusan pengadilan
Salinan putusan pengadilan wajib disampaikan melalui surat secara elektronik kepada Kurator, Pemohon, dan Termohon dalam sistem informasi pengadilan pada saat hari dan tanggal putusan dinyatakan di muka persidangan yang terbuka untuk umum.
8. Batas waktu pelaksanaan eksekusi jaminan oleh kreditur serparatis
Pasal 59 ayat (1) UU KPKPU diubah dengan melakukan penambahan waktu penjualan dari 2 (dua) bulan menjadi 4 (empat) bulan.
9. Profesi Kurator/Pengurus: kelembagaan, pengawasan, dan pelaksanaan tugass
Pasal 70 ayat (2) UU KPKPU disesuaikan terkait sumpah jabatan Kurator. Setelah terdaftar, perlu dilakukan sumpah jabatan dihadapan Menteri Hukum dan HAM sebelum menjalankan profesi. Hal tersebut bertujuan untuk menjamin pembinaan dan peningkatan profesionalisme Kurator.
Dalam RUU KPKPU yang baru perlu diatur mengenai pembentukan Majelis Pengawas Kurator yang menyelenggarakan fungsi standardisasi profesi, pembinaan etika profesi kurator dan memberikan rekomendasi kepada Menteri Hukum dan HAM untuk mengangkat, memberhentikan Kurator dan/atau mencabut izin profesi Kurator apabila melakukan pelanggaran terhadap kode etik profesi Kurator.
Pasal 74 UU KPKPU ditambahkan ketentuan sanksi administratif berupa teguran, pemanggilan, serta penggantian Kurator oleh Hakim Pengawas terkait kewajiban Kurator untuk menyampaikan laporan kepada Hakim Pengawas mengenai keadaan harta pailit setiap 3 (tiga) bulan.
Pasal 69 UU KPKPU ditambahkan ketentuan sanksi administratif berupa teguran, pemanggilan, serta penggantian Kurator oleh Hakim Pengawas terkait kewajiban transparansi oleh Kurator dalam mengurus/ membereskan harta kepailitan.
Pasal 167 ayat (2) UU KPKPU disesuaikan terkait cara pembayaran honorarium jasa Kurator. Pembayaran jasa Kurator dibayarkan setelah Kurator menyerahkan laporan dan mengembalikan semua benda, uang, dan dokumen dengan bukti yang sah setelah perdamaian.
10. Sita kepailitan terhadap sita pidana
Pasal 31 ayat (2) UU KPKPU perlu dilakukan perubahan, bahwa semua penyitaan yang telah dilakukan menjadi hapus dan Hakim Pengawas harus memerintahkan pencoretannya jika diperlukan, kecuali sita dalam rangka kepentingan acara pidana.
11. Peringkat Upah dan Hak Pekerja dalam Struktur Kreditur
Penambahan Pasal 39 yang menyatakan (i) upah pekerja didahulukan pembayarannya dari segala jenis tagihan dan kreditor-kreditor lainnya, termasuk dari Kreditur separatis dan tagihan pajak negara dan (ii) hak-hak pekerja lainnya dibayar lebih dahulu dari segala macam tagihan dan kreditor-kreditur lainnya termasuk tagihan pajak negara, kecuali jika Debitor memiliki Kreditur separatis.
12. Renvoi dan gugatan lain- lain
Pasal 68 UU KPKPU ditambahkan ayat yang menentukan jangka waktu untuk mengajukan keberatan (banding) dan berapa lama keberatan harus diputuskan dalam prosedur renvoi.
13 Ketentuan Paksa Badan
Menambahkan ketentuan Pasal 95 UU KPKPU dengan permintaan untuk menahan Debitur pailit, jika permintaan tersebut didasarkan atas alasan Debitur pailit dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban seperti (i) meninggalkan domisilinya tanpa izin (ii) tidak menghadap Hakim Pengawas, Kurator, dan Kreditur apabila dipanggil untuk memberi keterangan (iii) Debitor Pailit tidak hadir sendiri dalam rapat pencocokan piutang.
14. Publikasi kepailitan
Ditambahkan mengenai pengumuman kepailitan/PKPU yang dilaksanakan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Mahkamah Agung dengan sistem elektronik, dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai penyelenggara sistem elektronik. Pengumuman tersebut sah dan mengikat secara hukum berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
15. Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang oleh Kreditur
Di dalam perubahan UU KPKPU menghapus ketentuan tentang hak Kreditur untuk mengajukan PKPU dalam Pasal 222 ayat (3) UU KPKPU. Dengan demikian, hanya Debitur yang dapat mengajukan PKPU.
16. Kepailitan lintas batas negara
Menambahkan ketentuan mengenai pengurusan dan/atau pemberesan terhadap harta kepailitan di luar wilayah Negara Republik Indonesia dapat dilaksanakan berdasarkan hubungan timbal balik (resiprokal) atau perjanjian internasional.