Waspadalah! Habis Corona Terbitlah Krisis Utang

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
03 September 2020 16:16
Mata Uang Euro, Hong Kong dollar, U.S. dollar, Japanese yen, pound and Chinese 100 yuan
Ilustrasi Mata Uang Dunia (REUTERS/Jason Lee)

Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Anggaran Kongres Amerika Serikat (AS) atau Congressional Budget Office (CBO) merilis proyeksi terbaru soal defisit fiskal Negeri Paman Sam. Untuk tahun ini, defisit anggaran diperkirakan menyentuh US$ 3,3 triliun atau 16% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

"CBO memperkirakan defisit anggaran mencapai US$ 3,3 triliun pada 2020, naik lebih dari tiga kali lipat dibandingkan 2019. Ini karena gangguan ekonomi karena pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) yang membutuhkan respons. Dengan rasio terhadap PDB yang mencapai 16%, ini menjadi defisit tertinggi sejak 1945," sebut laporan CBO.

Untuk 2021, CBO memperkirakan defisit anggaran sebesar 8,6% PDB. Selepas itu defisit anggaran akan terus menipis hingga mencapai 5,3% pada 2030. Namun sampai 2030, defisit anggaran AS setiap tahunnya akan berada di atas rata-rata 50 tahun terakhir yang sebesar 3% PDB.

AS tidak ubahnya seperti negara-negara lain di dunia. Pandemi virus corona membuat pemerintah harus bertindak sebagai juru selamat. Pemerintah harus menjadi motor penggerak, baik itu di sisi kesehatan atau sosial-ekonomi.

Menjadi satu-satunya 'mesin' yang bergerak tentu butuh banyak sekali 'bensin'. Sayangnya, bensin utama fiskal, yaitu pajak, sedang seret karena aktivitas ekonomi yang mampet.

Namun the show must go on, walau tidak ada penerimaan pajak tetapi anggaran pemerintah harus terus berjalan menjadi bensin bagi perekonomian di kala krisis terjadi. Bahkan dengan belanja yang jauh lebih tinggi karena ada kebutuhan stimulus.

Oleh karena itu, mau tidak mau pemerintah harus berutang. Utang menjadi harapan untuk membiayai stimulus fiskal.

Bermodal utang-utang itu, pemerintah menggelontorkan uang ke perekonomian. Baik itu melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT), subsidi pajak, subsidi bunga, bantuan modal, dan sebagainya. Ini memang sudah menjadi kewajiban pemerintah, karena rumah tangga dan dunia usaha sedang tidak mampu mengurus dirinya sendiri.

Ada pameo, utang itu enak waktu diterima tetapi tidak enak saat kudu dibayar. Akan tiba saatnya utang-utang bernilai fantastis itu harus dibayar. Proses ini yang bikin pedih.

Risiko krisis fiskal akibat gunungan utang menjadi sangat nyata di seluruh negara. Tema ini sampai diangkat oleh Economist Intelligence Unit (IEU) dalam laporan berjudul Sovereign Debt Crises are Coming.

"Bagi negara maju, terutama yang bisa mengakses pasar global dengan mata uang mereka sendiri dan memiliki pasar keuangan domestik yang cukup dalam, krisis utang sepertinya tidak akan menjadi isu. Namun tidak semua negara punya kemewahan itu. Negara-negara berkembang kemungkinan akan mengalami krisis utang," sebut riset IEU.

Negara-negara berkembang, apalagi negara miskin, akan menghadapi masalah baru setelah keluar dari pandemi virus corona yaitu krisis utang. Lolos dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya.

"Negara miskin akan keluar dari pandemi virus corona dengan beban utang yang lebih tinggi dari sebelumnya. Ini akan menjadi masalah, bagaimana cara mereka melunasinya?" tulis kajian IEU.

Oleh karena itu, dibutuhkan kerja sama dan pengertian dari seluruh pemangku kepentingan. Lembaga-lembaga multilateral diharapkan bisa memberikan keringanan dan restrukturisasi utang bagi negara-negara miskin.

Akan tetapi, menjadi agak sulit kalau bicara utang ke pasar melalui penerbitan obligasi. Apakah investor swasta mau terima kalau pemerintah minta keringanan pembayaran utang?

"Belum jelas apakah investor di pasar berkenan untuk menerima restrukturisasi. Jadi proses permohonan keringanan utang sepertinya harus dilakukan satu per satu, dari satu investor ke investor ke lainnya. Tidak bisa sekaligus," papar riset IEU.

Pada awal dekade 2010, dunia pernah berhadapan dengan problema krisis utang yang melanda negara-negara Eropa yaitu Portugal, Italia, Irlandia, Yunani, dan Spanyol (PIIGS). Kala itu, dunia yang baru saja mau pulih dari terpaan krisis keuangan global (Global Financial Crisis/GFC) terpaksa harus berjibaku lagi.

Pasar keuangan yang anjlok pada 2008-2009 sempat bangkit pada awal 2010. Namun pada April, kala sentimen krisis fiskal memuncak, pasar drop lagi.

Contohnya indeks S&P 500. Pada 31 Desember 2009 hingga 23 April 2010, indeks S&P 500 melonjak 9,16%. Namun gara-gara ketakutan dunia terhadap krisis utang di negara-negara PIIGS itu tadi, S&P 500 kemudian ambles hingga ke titik terendah pada 2 Juli 2010. Dari posisi puncak itu hingga 2 Juli 2020, S&P 500 terkoreksi nyaris 16%.

Akan tetapi ada kabar baiknya. Koreksi S&P 500 tidak bertahan lama, sejak awal Juli hingga akhir tahun indeks itu melonjak dan secara year-to-date berhasil membukukan lonjakan 12,78%.

Hal serupa juga terjadi di pasar obligasi. Pada 2010, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun turun 32,84 basis poin (bps) secara year-to-date. Penurunan yield menandakan harga obligasi naik.

Apakah dari pengalaman 2010 kita bisa menyimpulkan bahwa krisis fiskal hanya akan berpengaruh dalam jangka pendek? Sayangnya tidak.

Situasi gara-gara pagebluk virus corona adalah sesuatu yang sama sekali berbeda. Dulu praktis hanya beberapa negara Eropa yang kena krisis fiskal. Sekarang? Hampir semua negara terancam karena utang yang menggunung. Bahkan beberapa negara yang membukukan kenaikan utang ke titik tertinggi sepanjang sejarah.

Krisis utang kali ini skalanya bakal sangat masif. Oleh karena itu, para pengambil kebijakan harus waspada. Risiko kedatangan krisis fiskal perlu menjadi perhatian, harus ada langkah mitigasi yang mumpuni.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular