
RI Mengidap 'Kanker' Deflasi, Suku Bunga Wajib Turun!

Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan terjadi deflasi dalam dua bulan beruntun, yaitu Juli dan Agustus 2020. Deflasi terjadi gara-gara penurunan daya beli akibat dampak wabah virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).
Pada Agustus 2020, BPS mencatat terjadi deflasi 0,01% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/MtM). Ini menjadi deflasi kedua dalam dua bulan beruntun. Kali terakhir deflasi terjadi dalam dua bulan berturut-turut adalah pada Maret-April 2011.
Sementara secara tahunan (year-on-year/YoY) terjadi inflasi 1,32%. Ini menjadi yang terendah sejak Mei 2000.
Kemudian inflasi inti tercatat 2,03% YoY. Ini menjadi yang terendah setidaknya sejak 2009.
"Daya beli masyarakat belum pulih karena pendemi Covid-19," kata Suhariyanto, Kepala BPS, dalam jumpa pers hari ini.
Dampak pandemi virus corona memang luar biasa. Virus yang awalnya menyebar di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini menghantam dua sisi ekonomi sekaligus, yaitu pasokan dan permintaan.
Bukan apa-apa, upaya meredam penyebaran virus corona dilakukan dengan pembatasan sosial (social distancing). Warga tidak dianjurkan untuk keluar rumah, kecuali kondisi mendesak. Kalau pun keluar rumah, pastikan taat terhadap protokol kesehatan.
Protokol kesehatan mensyaratkan setiap orang harus berjarak, tidak boleh terlalu rapat, apalagi bergerombol. Inilah alasan mengapa restoran, pusat perbelanjaan, tempat wisata, pabrik, dan perkantoran belum boleh menerima pengujung sesuai kapasitas. Maksimal 50%.
Pengurangan ini berdampak terhadap penurunan produksi barang dan dan jasa. Akibatnya, sisi penawaran terpukul.
Sedangkan masyarakat yang belum berkegiatan secara penuh membuat permintaan begitu-begitu saja. Paling hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar, belum terpikir untuk lebih dari itu.
Belum lagi kalau bicara tsunami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Menurut catatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, jumlah pekerja yang terdampak pandemi Covid-19 hingga akhir Juli mencapai jutaan orang. Terdiri dari pekerja formal yang dirumahkan sebanyak 1,1 juta orang, korban PHK 380.000 orang, dan pekerja sektor informal yang terdampak 630.000 orang.
Ini adalah orang-orang yang sudah terdata rinci sampai nama dan alamat (by name, by address). Sementara Kementerian Ketenagakerjaan menyebut jumlah pekerja yang terdampak wabah virus corona mencapai lebih dari 3,5 juta orang.
Oleh karena itu, sangat wajar daya beli masyarakat turun drastis. Akibatnya tekanan harga jadi sangat terbatas, bahkan yang ada adalah deflasi. Kini deflasi seolah menjadi 'kanker' yang menggerogoti perekonomian Tanah Air.
Pemerintah bukannya tidak berbuat apa-apa. Melalui stimulus fiskal, pemerintahan Presiden Joko Widodo bahkan memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada masyarakat. Pemerintah langsung memberi uang kepada rakyat agar daya belinya terungkit.
Namun kapasitas fiskal ada batasnya. Contoh, pemerintah memberikan BLT kepada karyawan bergaji di bawah Rp 5 juta/bulan. BLT itu diberikan kepada 15,7 juta pekerja sebesar Rp 600.000/bulan selama empat bulan.
Bantuan-bantuan seperti ini sifatnya ad hoc, sekali pukul, sulit diharapkan untuk bisa berkelanjutan. Belum tentu tahun depan ada lagi, tergantung kebutuhan dan kemampuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Oleh karena itu, butuh upaya yang lebih jangka panjang untuk mendongrak daya beli rakyat. Salah satu cara yang ampuh adalah dengan upaya menurunkan suku bunga.
Bagi dunia usaha, penurunan suku bunga akan membuat ekspansi menjadi lebih murah. Ketika dunia usaha ekspansif, lapangan kerja akan tercipta dan semakin banyak masyarakat yang punya pendapatan tetap. Daya beli pun terangkat.
Sementara bagi rumah tangga, suku bunga rendah bisa menarik minat untuk menambah pengeluaran. Apakah itu membeli properti, kendaraan bermotor, atau mengambil kredit multiguna untuk kebutuhan lainnya. Lagi-lagi menambah daya beli.
Sejak akhir 2019, Bank Indonesia (BI) sudah menurunkan suku bunga acuan sebesar 100 basis poin (bps). BI 7 Day Reverse Repo Rate kini berada di 4%, terendah sejak kali pertama diperkenalkan pada 2016.
Sayangnya, suku bunga kredit belum bisa turun setajam itu. Sebagai ilustrasi, rata-rata suku bunga Kredit Modal Kerja (KMK) bank umum pada Juli 2020 adalah 9,41%. Dibandingkan dengan akhir 2019, turun 62 bps. Masih lumayan jauh dibandingkan penurunan suku bunga acuan sehingga semestinya masih bisa turun lagi.
Sebenarnya saat ini likuiditas sedang berlebih, mengingat suku bunga rendah menjadi tren global sehingga arus modal masuk dengan deras ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Kelonggaran likuiditas terlihat dari tingginya rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (DPK) yang mencapai 26,24% pada Juni. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 24,33% maupun periode yang sama tahun lalu yaitu 19,1%.
Namun, ada kecenderungan likuiditas itu belum tersalurkan dalam bentuk kredit. Sebab, pertumbuhan kredit malah terus melambat.
Jadi ke mana likuiditas perbankan yang berlebih itu? Sepertinya masih di pasar keuangan. Terlihat dari pemilikan perbankan di obligasi pemerintah yang dalam tren meningkat.
Bukan berarti kala perbankan menempatkan dana di Surat Berharga Negara (SBN) itu menjadi hal yang negatif. Sebab dana itu akan digunakan untuk pembiayaan APBN, baik itu belanja pegawai, barang, modal, sampai bantuan sosial. Apalagi jika yang membeli adalah perbankan nasional, yang membuat ketergantungan terhadap investor asing berkurang.
Namun, tentu perlu ada upaya untuk membuat dana perbankan yang ngendon di pasar keuangan bisa tersalurkan ke sektor riil. Pendekatan insentif dan disinsentif mungkin bisa dikedepankan.
Menurunkan kupon SBN tidak bisa dilakukan semena-mena, karena itu dibentuk melalui mekanisme pasar. Namun pemerintah bisa secara bertahap menurunkan kupon SBN dalam setiap lelang.
Kebetulan sekarang posisi pemerintah sebagai penerbit obligasi ada di atas angin. Investor sedang butuh menempatkan dana di instrumen dengan imbalan relatif tinggi karena di negara-negara maju praktis imbalan riil sudah negatif.
Investor yang sedang desperate membuat pemerintah punya kendali untuk sedikit demi sedikit menekan kupon SBN ke bawah. Ketika imbalan berinvestasi di SBN berkurang, maka akan menjadi disinsentif untuk menaruh uang di sana. Diharapkan perbankan akan lebih memilih untuk menyalurkan dana ke sektor riil dalam bentuk kredit.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Deflasi Lagi, Mari Bersiap Hadapi Resesi!
