BI Ramal November Inflasi Lagi, Resesi Sudah Pergi?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
16 November 2020 16:07
Pasar Perumnas Klender, Jakarta Timur (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)
Foto: Pasar Perumnas Klender, Jakarta Timur (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) memperkirakan laju inflasi bulan ini kembali terakselerasi. Namun apakah ini menjadi pertanda daya beli rakyat sudah pulih?

Berdasarkan Survei Pemantauan Harga (SPH) pekan II, inflasi November 2020 diperkirakan sebesar 0,21% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/MtM). Lebih tinggi dibandingkan inflasi Oktober 2020 yaitu 0,07% MtM.

Sementara inflasi tahun kalender menjadi 1,7% dan inflasi tahunan (year-on-year/YoY) adalah 1,53%. Juga lebih tinggi dibandingkan Oktober 2020 yang masing-masing 0,95% dan 1,44%.

"Penyumbang utama inflasi yaitu daging ayam ras sebesar 0,08% (MtM), cabai merah sebesar 0,03%, telur ayam ras dan bawang merah masing-masing sebesar 0,02%, serta cabai rawit, minyak goreng, tomat dan bawang putih masing-masing sebesar 0,01%. Sementara itu, komoditas yang menyumbang deflasi pada periode laporan berasal dari komoditas tarif angkutan udara dan emas perhiasan masing-masing sebesar -0,01%," sebut laporan BI.

Mengutip data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis, harga daging ayam ras dalam periode 15 Oktober-16 November 2020 naik 10,12% secara point-to-point. Dalam waktu yang sama harga telur ayam ras melonjak 16,33%, bawang merah ukuran sedang melesat 13,44%, dan bawang putih ukuran sedang naik 7,3%.

Sepanjang Juli-September 2020, Indonesia selalu mencatatkan deflasi. Biasanya deflasi disyukuri, karena mencerminkan pasokan yang memadai di tengah permintaan yang terus meningkat khas negara berkembang.

Namun sekarang beda. Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) yang diatasi dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) membuat ekonomi mati suri. Produksi terhambat karena penerapan protokol kesehatan, dan permintaan pun anjlok karena aktivitas masyarakat di luar rumah masih sangat terbatas.

Oleh karena itu, deflasi lebih dimaknai sebagai kelesuan ekonomi. Pelaku usaha dipaksa menurunkan harga demi mempertahankan permintaan. Ini bukan ciri ekonomi yang sehat.

Namun memasuki kuartal IV-2020, laju inflasi mulai terakselerasi. Diawali dengan 0,07% MtM pada Oktober, dan diperkirakan 0,21% MtM pada November. Apakah ini pertanda permintaan mulai bangkit?

Kemungkinan belum. Ada sejumlah data yang memberi gambaran bahwa permintaan belum pulih.

Pertama adalah impor barang konsumsi. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai impor barang konsumsi pada Oktober 2020 adalah US$ 1,03 miliar, turun 7,58% dan 27,88% YoY. Memburuk dibandingkan September yang turun 6,12% MtM dan 20,38% YoY.

Kedua adalah upah buruh. Pada Oktober 2020, upah buruh tani naik tipis 0,09% dibandingkan bulan sebelumnya. Namun karena ada inflasi, upah rill menjadi turun 0,15%.

Demikian pula upah buruh bangunan. Pada Oktober 2020, upah buruh bangunan juga naik tipis 0,02%. Dikurangi inflasi, upah rill malah turun 0,05%.

Ketiga adalah perkembangan harga gabah di tingkat petani. Pada Oktober 2020, harga Gabah Kering Panen (GKP) turun 1,56% MtM dan 3,94% YoY.

Ketika harga GKP turun, maka keuntungan yang diterima petani dan pekerjanya akan ikut turun. Padahal sebagian besar penduduk Indonesia yang bekerja ada di sektor pertanian. Kala penghasilan mereka turun, sulit berharap daya belinya naik.

Oleh karena itu, sepertinya permintaan belum naik dengan stabil. Selama situasi belum normal, virus corona masih bergentayangan, maka sulit berharap permintaan bisa seperti dulu lagi.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular