
SKK Migas Buka Suara Soal Kabar Shell Cabut dari Blok Masela

Jakarta, CNBC Indonesia - Proyek pengembangan Blok Masela banyak diperbincangkan belakangan ini, pasalnya Royal Dutch Shell Plc (Shell) dikabarkan bakal melepas saham partisipasi di blok tersebut.
Menanggapi hal ini, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto mengatakan Shell belum tentu mundur, semua akan tergantung dari hitung-hitungan keekonomian.
"Tadi Rapat Dengar Pendapat (RDP) mengenai Masela, kan belum tentu (mundur) semua tergantung hitung-hitungan keekonomian," ujarnya selepas RDP dengan Komisi VII DPR RI, Senin, (13/07/2020).
Menurutnya ini akan menyangkut kebijakan investasi dari Shell. Dwi kembali menegaskan rencana divestasi dari hak partisipasi atau participating interest (PI) Shell sangat tergantung dari hitung-hitungan keekonomian. Ia menggambarkan kepemilikan barang apapun misalnya ada yang bisa dibeli mahal, tidak ada masalah.
"Kita punya barang saja misalnya ada yang bisa beli mahal, why not? Kan gitu, dan itu sebenarnya sesuatu hal yang biasa saja, orang punya PI seperti Medco punya mau dijual, punya ini dijual," kata Dwi.
Ia mengatakan, yang terpenting adalah proyek ini akan terus jalan, di mana Inpex berkomitmen untuk terus memimpin siapapun konsorsium agar proyek masih bisa berjalan, meskipun misalnya bukan Shell.
"Yang penting proyek ini tetap jalan terus, makanya bagi kami di SKK, kami komunikasi dengan Inpex, komitmen Inpex untuk terus memimpin siapapun konsorsium untuk proyek ini bisa jalan. Iya misal (bukan Shell)," tegasnya.
Ia menargetkan proyek ini bakal produksi pada tahun 2027 mendatang, meski sebelumnya ia sempat optimistis proyek ini akan bisa dipercepat di tahun 2026.
"Tadinya harapannya optimistis tapi selalu dalam perjalanan ada aja ya," papar Dwi.
Act. Corporate Communication Manager INPEX Masela Moch N. Kurniawan mengatakan pihaknya akan tetap fokus dalam pengembangan proyek LNG Abadi ini. Sebagai operator dan dengan dukungan pemerintah Indonesia, Inpex optimistis proyek ini akan terus berlanjut.
"Kami yakin bahwa Proyek ini akan terus berlanjut dan kami secara aktif bekerja melaksanakan POD yang disetujui oleh Pemerintah Indonesia," ujar Kurniawan di Jakarta, Rabu (8/7/2020).
Soal hengkangnya Shell, pihaknya enggan memberikan komentar. Ia pun menyarankan untuk langsung menanyakan hal tersebut ke Shell. Selain itu, soal perkembangan pembicaraan dengan Shell, Kurniawan juga belum bersedia memberikan komentar. Saat dikonfirmasi, Shell Indonesia juga belum mau memberikan tanggapan.
"Untuk permintaan di atas (alasan Shell mundur) belum ada komentar," kata VP External Relation Shell Indonesia Rhea Sianipar kepada CNBC Indonesia, Senin (6/7/2020).
Shell melalui Shell Upstream Overseas memiliki saham partisipasi Lapangan Abadi, Blok Masela, Laut Arafuru, Maluku, sebesar 35%. Sedangkan sisanya dimiliki oleh Inpex via Inpex Masela sebanyak 65%. Dari blok itu ditargetkan produksi LNG 9,5 juta ton.
Target Produksi 2027
SKK Migas memproyeksikan Blok Masela untuk onstream pada tahun 2027 mendatang. Sementara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mengharapkan satu tahun lebih cepat
Arifin Tasrif pernah bertitah agar produksi Blok Masela bisa dipercepat menjadi tahun 2026 atau setahun lebih cepat dari target awal tahun 2027. Namun dengan berbagai kondisi di lapangan, akhirnya target 2026 dirubah lagi menjadi tahun 2027.
Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto. "Target on stream 2027 ini usaha kami, tadinya harapannya optimis (tahun 2026) tapi selalu dalam perjalanan ada saja ya," ucapnya di selepas Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI, Senin, (13/07/2020).
Arifin Tasrif mengatakan percepatan ini bertujuan untuk memperoleh pendapatan. "Supaya dapat revenue, kalau bisa 2026 ya 2026, tapi targetnya 2027," ungkapnya dalam acara Nota Kesepahaman Suplai Gas PLN dan Pupuk Indonesia dari Proyek LNG Abadi, Rabu (19/2/2020) malam.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto juga sempat menyanggupi permintaan dari Menteri ESDM untuk menyelesaikan projek ini setahun lebih cepat. "Pak Menteri (ESDM) bilang harus onstream 2026, saya coba untuk lobby di 2027 tapi saya nggak berhasil," ujarnya.
Untuk mengejar target produksi tahun 2026, Dwi menerangkan Front End Engineering Design (FEED) dan Final Investment Decision (FID) akan berjalan in line agar lebih cepat, yakni pada tahun 2021, di mana FID tadinya dijadwalan tahun 2022.
Dwi menerangkan, untuk FID harus ada 80% dari komitmen pembeli dari produksi. Senada dengan Arifin, Dwi mengatakan gas pipa 150 juta MMSCFD diperuntukan untuk petrokimia dan salah satu yang berminat adalah Pupuk Indonesia. Lalu komitmen LNG 2-3 million ton per annum (MTPA).
"Setahun karena produksinya 9,5 (juta ton) masih ada 6,5 juta ton yang harus dijual ke yang lain. Dengan adanya MoU tadi maka menjad pondasi untuk pembeli yang lain yang di Jepang atau di luar negeri yang lain," katanya.
Dalam upayanya mencapai 80% dari komitmen yang dikejar adalah end user. Ke depan juga PGN, yang akan dijual ke industri. "Mungkin Pertagas dan sebagainya, Pertamina sendiri dengan adanya pengembangan kilang dia akan butuh, nah itu juga akan dikejar," terangnya
(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article BKPM Izinkan Shell Buka Data Masela ke Calon Investor