Jakarta, CNBC Indonesia -
Meski bukan aktor utama pemanasan global, batu bara kini menjadi target utama serangan aktivis lingkungan. Perlu rencana-tindak terarah dari pemerintah dan pelaku usaha untuk mengubah stigma negatif batu bara.
Disukai atau tidak, batu bara masih menjadi sumber utama energi pembangkit listrik dunia karena sifatnya yang murah dan bisa diandalkan (reliabel). Saat ini total sumbangan batu bara terhadap pembangkitan listrik nasional mencapa 60,5%, mengutip data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Pembangkitan listrik dari sumber energi lain, yakni panel surya dan tenaga angin belum bisa bicara banyak, meski biaya produksi mereka kian murah. Jika bicara soal harga saja, beberapa energi terbarukan seperti panel surya dan turbin angin memang kini telah mengalahkan batu bara.
Hanya saja, mereka belum bisa diandalkan karena faktor intermitensi (produk yang dihasilkan naik-turun mengikuti kondisi alam), misalnya faktor mendung dan curah hujan untuk tenaga surya dan faktor penurunan tekanan udara karena faktor cuaca untuk kincir angin.
Belum lagi jika bicara faktor keekonomian untuk mengganti batu bara. Direktur Utama HMS Bergbau AB Lars Schernikau menyebutkan bahwa penggunaan energi terbarukan berbasis subsidi memicu kenaikan baya listrik di tingkat konsumen di Jerman. HMS Bergbau adalah emiten batu bara berbasis di Jerman.
 Sumber: Lazard |
Faktor keekonomian energi terbarukan juga masih berat jika bicara densitas energi, yakni ruang yang dibutuhkan untuk membangkitkan energi. Menurut penelitian Paul Behrens dan John van Zalk berjudul "The Spatial Extent of Renewable and Non-Renewable Power Generation" (2018), energi terbarukan memiliki densitas pembangkitan energi paling rendah.
Turbin angin dan panel surya membutuhkan 50 kali ruang lebih banyak ketimbang batu bara, dan 100 kali lebih banyak dari gas untuk membangkitkan energi yang sama dengan batu bara. Hal ini memicu tingginya pengadaan energi terbarukan, yang pada ujungnya dibebankan ke pelanggan sebagaimana yang terjadi di Jerman.
"Teknologi tenaga surya dan angin dalam skala besar saat ini berujung pada kenaikan drastis tarif listrik yang harus dibayar konsumen. Tarif listrik di Jerman kini 2,5 kali lebih tinggi dari AS dan 4 kali lebih tinggi dari China," tutur Lars dalam Workshop Coal and Sustainability di Jakarta, 3 Juli 2019.
Mengutip Clean Energy Wires, masyarakat Jerman memang membayar tarif energi terbarukan dengan porsi seperlima dari tagihan mereka. Tahun ini, angkanya naik menjadi 6,75 sen/Kwh dibandingkan dengan 6,41 sen pada tahun lalu.
 Foto: Sumber: Clew |
Bagaimana dengan energi nuklir? Semua tentu sepakat bahwa energi nuklir juga sangat murah, tetapi pengelolaan limbahnya rumit dan risiko lingkungan yang sangat besar ketika terjadi gagal operasi seperti di reaktor nuklir Fukushima, Jepang pada 2011.
Pada awalnya ketika terjadi bencana, pemerintah Jepang memperkirakan biaya dekontaminasi dan kompensasi sebesar US$ 13 miliar. Pada 2016 angka itu naik jadi US$ 187 miliar. Terbaru pada 2019, Japan Center for Economic Research memperkirakan angka itu bakal membengkak menjadi 70 triliun yen (US$ 650 miliar).
Angka itu setara 258 kali lipat dari biaya konstruksinya yang pada 1976 di level 272 miliar yen (US$ 2,52 miliar), mengutip Institute of Energy Economics Japan (2018). UBS AG menilai insiden kebocoran reaktor nuklir Fukushima itu memicu keraguan akan jaminan keamanan nuklir, mengingat negara maju seperti Jepang pun gagal mengelola risikonya.
Di tengah kondisi itu, batu bara diserang dari berbagai sudut. Beberapa literatur menyalahkan batu bara sebagai biang pemanasan global. Salah satunya adalah EndCoal.Org yang menyebut bahwa batu bara adalah penyumbang 46% karbon dioksida (CO2) pemicu efek rumah kaca.
LSM anti batu bara lintas negara itu mengklaim batu bara sebagai penyumbang 72% dari emisi gas pemicu pemanasan global dari sektor kelistrikan. Namun, tidak ada elaborasi yang mendetil mengenai klaim tersebut. Mereka pun menyerukan penghentian pemakaian batu bara.
Benarkah kondisi pemanasan global sesederhana itu? Apakah satu-satunya penyelamatan target pengurangan gas rumah kaca (GRK) hanya dengan membuang batu bara, dan juga minyak bumi sebagai energi fosil, untuk selamanya? Mari kita ulas lebih jauh lagi.
Bicara mengenai pemanasan global sebagai efek GRK, kita harus melihat kondisi dan latar belakangnya secara utuh. GRK bukanlah CO2 semata, melainkan meliputi empat gas yang sama-sama memiliki efek "memerangkap panas" dari bumi.
Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change/ IPCC) mencatat ada empat jenis utama GRK, yakni gas CO2, gas metana (CH4), nitrogen oksida (N20), dan gas terfluorinasi (fluorinated gasses) seperti sulfur heksaflorida (SF6).
Keempatnya sama-sama mengontribusi pemanasan global, tetapi yang sering disorot adalah gas dari pembakaran energi fosil yang mayoritas berupa CO2. Padahal, jika mengacu pada laporan IPCC, CO2 memiliki efek rumah kaca paling kecil dibandingkan dengan tiga gas lainnya.
Sebagai contoh, 1 ton gas metana, ternyata memiliki efek rumah kaca 28 kali lebih parah dari 1 ton CO2 dalam kurun waktu 1 abad. Gas SF6, yang terdapat di kabel listrik, menjadi jawara efek rumah kaca yakni 23.500 kali lebih buruk dari CO2 dalam 100 tahun.
 Sumber: IPCC |
IPCC menggunakan istilah Global Warming Potential (GWP) yang mengukur efek rumah kaca sebuah gas dalam jangka waktu 100 tahun (GWP100). Ia mengukur efek rumah kaca 1 molekul atau 1 massa suatu gas, dibandingkan dengan efek rumah kaca CO2, dalam waktu 100 tahun.
Artinya, hanya perlu 1 ton gas yang menguar dari kabel listrik itu untuk menyalip efek buruk 23.499 ton emisi CO2 dari energi fosil. Oleh karenanya, jangan heran jika sektor transportasi dan kelistrikan saling bersaing menjadi penyumbang utama GRK di Amerika Serikat (AS), dengan porsi masing-masing sebesar 28% dan 27%.
Demikian juga dengan gas metana. Cukup 1 ton emisi gas metana untuk menyaingi efek emisi 28 ton CO2. Dan mohon maaf, produsen utama metana bukanlah sektor pertambangan, melainkan pertanian/peternakan dari limbah ternak, pupuk kimia, dan pembukaan lahan.
Tidak heran, riset Institute for Agriculture and Trade Policy and GRAIN menyebutkan bahwa raksasa global di sektor peternakan bakal menggeser raksasa migas dalam hal perubahan iklim. Temuan mereka menyebutkan bahwa 35 korporasi peternakan terbesar dunia tidak merilis data emisi GRK secara benar.
Jika praktik itu berlanjut, maka sektor peternakan diprediksi menyumbang 80% GRK pada 2050. China, AS, Uni Eropa, Kanada, Brazil, Argentina, Australia, dan Selandia Baru menyumbang 60% di antaranya.
Karena itu, tidak adil jika batu bara yang terus-terusan disorot, sementara sektor peternakan sang raja emisi metana, yang 28 kali lebih berbahaya dari CO2, justru dicuekin. Idealnya, sektor yang sama-sama berkontribusi terhadap GRK harus sama-sama disorot.
Namun, jangan salah menyimpulkan. Tingginya kontribusi sektor peternakan dan kelistrikan dalam pemanasan global tak lantas menutup fakta bahwa energi fosil (termasuk batu bara) mengontribusi dua jenis GRK yakni CO2 dan N20.
Inilah yang menjadi pekerjaan rumah seluruh stakeholder. Batu bara adalah aset nasional Indonesia, sebagai negara dengan cadangan batu bara terbesar keenam dunia. Meninggalkan batu bara sama artinya merelakan ekonomi Indonesia tertinggal dari negara lain karena belum ada energi semurah dan se-reliabel batu bara untuk memasok listrik.
Jika yang dipersoalkan adalah efek pemanasan global dan juga polusi, maka pemerintah dan pelaku usaha harus saling bahu-membahu untuk mengatasi itu, sembari tetap mengeksploitasi aset nasional tersebut demi kemajuan ekonomi dan kesejahteraan bersama.
Mungkinkah? Jawabannya iya. Saat ini pun pemerintah telah memulai inisiatif menuju ke sana dengan mengampanyekan produksi gas sintetik batu bara (syngas). Inilah yang sedang digalakkan oleh pemerintah AS, selaku negara pemilik cadangan batu bara terbesar dunia (250 miliar ton).
National Geographc (Natgeo) melaporkan bahwa saat ini pemerintah AS tengah membangun 40 pembangkit listrik berbasis batu bara. Banyak di antaranya yang memasukkan fasilitas penangkap debu sulfur dan gas N20, agar tidak terlepas ke atmosfer selama pembakaran.
Tak berhenti sampai di situ, mereka melakukan langkah yang lebih radikal dengan mengubah batu bara menjadi gas (gasifikasi), sehingga ketika gas dari batu bara memutar turbin listrik berujung pada kadar polutan dan emisi GRK yang sangat-sangat minim, laiknya gas alam.
AS dibilang agak terlambat. Mengutip data Global Syngas Technologies Council, saat ini ada 238 fasilitas gasifikasi batu bara di dunia, dengan hanya 33 berada di AS. Yang terbanyak justru dari China. Meski tak spesifik menyinggung Indonesia, mereka memprediksi Asia bakal menjadi motor pertumbuhan gasifikasi baru bara.
 Global Syngas Technologies Council |
Namun, peluang gasifikasi Indonesia juga terbuka lebar karena beberapa perusahaan seperti PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan PT Bumi Resources Tbk (BUMI) telah menyatakan minatnya. PTBA menjalankan itu sesuai dengan amanat pemerintah untuk mendorong hilirisasi tambang.
Sementara itu, Bumi berinvestasi hingga Rp 22 triliun setelah mendapatkan kepastian usaha. Revisi Undang-Undang Minerba memungkinkan mereka mendapat Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagai kelanjutan dari Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
Dengan adanya kepastian usaha, batu bara bersih pun kian menarik di depan mata dan memperbesar peluang Indonesia menjadi salah satu negara pengembang 'batu bara bersih' di tingkat global.
TIM RISET CNBC INDONESIA