Pilih Mana, "Membersihkan" Batu Bara atau Membuangnya?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
06 July 2020 10:08
Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (tengah), Presiden Direktur PT BUMI Resources Tbk. Saptari Hoedaja (kanan), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral RI, Arifin Tasrif (kedua kiri) bersama Sekretaris Kabinet Indonesia Maju, Pramono Anung (kiri) dan Ketua IMA, Ido Hutabarat (kedua kanan) dalam malam penganugerahan IMA Award 2019. (Dok. BUMI Resources)
Foto: Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (tengah), Presiden Direktur PT BUMI Resources Tbk. Saptari Hoedaja (kanan), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral RI, Arifin Tasrif (kedua kiri) bersama Sekretaris Kabinet Indonesia Maju, Pramono Anung (kiri) dan Ketua IMA, Ido Hutabarat (kedua kanan) dalam malam penganugerahan IMA Award 2019. (Dok. BUMI Resources)

Namun, jangan salah menyimpulkan. Tingginya kontribusi sektor peternakan dan kelistrikan dalam pemanasan global tak lantas menutup fakta bahwa energi fosil (termasuk batu bara) mengontribusi dua jenis GRK yakni CO2 dan N20.

Inilah yang menjadi pekerjaan rumah seluruh stakeholder. Batu bara adalah aset nasional Indonesia, sebagai negara dengan cadangan batu bara terbesar keenam dunia. Meninggalkan batu bara sama artinya merelakan ekonomi Indonesia tertinggal dari negara lain karena belum ada energi semurah dan se-reliabel batu bara untuk memasok listrik.

Jika yang dipersoalkan adalah efek pemanasan global dan juga polusi, maka pemerintah dan pelaku usaha harus saling bahu-membahu untuk mengatasi itu, sembari tetap mengeksploitasi aset nasional tersebut demi kemajuan ekonomi dan kesejahteraan bersama.

Mungkinkah? Jawabannya iya. Saat ini pun pemerintah telah memulai inisiatif menuju ke sana dengan mengampanyekan produksi gas sintetik batu bara (syngas). Inilah yang sedang digalakkan oleh pemerintah AS, selaku negara pemilik cadangan batu bara terbesar dunia (250 miliar ton).

National Geographc (Natgeo) melaporkan bahwa saat ini pemerintah AS tengah membangun 40 pembangkit listrik berbasis batu bara. Banyak di antaranya yang memasukkan fasilitas penangkap debu sulfur dan gas N20, agar tidak terlepas ke atmosfer selama pembakaran.

Tak berhenti sampai di situ, mereka melakukan langkah yang lebih radikal dengan mengubah batu bara menjadi gas (gasifikasi), sehingga ketika gas dari batu bara memutar turbin listrik berujung pada kadar polutan dan emisi GRK yang sangat-sangat minim, laiknya gas alam.

AS dibilang agak terlambat. Mengutip data Global Syngas Technologies Council, saat ini ada 238 fasilitas gasifikasi batu bara di dunia, dengan hanya 33 berada di AS. Yang terbanyak justru dari China. Meski tak spesifik menyinggung Indonesia, mereka memprediksi Asia bakal menjadi motor pertumbuhan gasifikasi baru bara.

gasifikasiGlobal Syngas Technologies Council

Namun, peluang gasifikasi Indonesia juga terbuka lebar karena beberapa perusahaan seperti PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan PT Bumi Resources Tbk (BUMI) telah menyatakan minatnya. PTBA menjalankan itu sesuai dengan amanat pemerintah untuk mendorong hilirisasi tambang.

Sementara itu, Bumi berinvestasi hingga Rp 22 triliun setelah mendapatkan kepastian usaha. Revisi Undang-Undang Minerba memungkinkan mereka mendapat Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagai kelanjutan dari Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).

Dengan adanya kepastian usaha, batu bara bersih pun kian menarik di depan mata dan memperbesar peluang Indonesia menjadi salah satu negara pengembang 'batu bara bersih' di tingkat global.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(ags/ags)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular