Rapor Tim Ekonomi Jokowi Kala Pandemi, Merah atau Biru Nih?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
30 June 2020 13:36
Pengarahan Presiden RI Jokowi untuk Penanganan Covid-19 di Jawa Tengah, Semarang, 30 Juni 2020
Foto: Pengarahan Presiden RI Jokowi untuk Penanganan Covid-19 di Jawa Tengah, Semarang, 30 Juni 2020

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak bisa menyembunyikan kejengkelannya. Di rapat kabinet, Jokowi 'menyemprot' para pembantunya yang dinilai tidak bisa bergerak cepat. Padahal suasana sedang genting akibat pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).

"Sekali lagi saya minta agar kita bekerja tidak linier, saya minta ada sebuah terobosan yang bisa dilihat masyarakat dan terobosan itu betul-betul berdampak pada percepatan penanganan ini jadi tidak datar-datar saja," kata Jokowi.

Pandemi virus corona menciptakan tantangan besar, selain aspek kesehatan dan kemanusiaan, ekonomi pun terpukul. Setelah Indonesia mampu mencatat pertumbuhan ekonomi 2,97% pada kuartal I-2020, sepertinya kontraksi (pertumbuhan negatif) tidak mungkin bisa dihindari pada kuartal berikutnya.

Sejauh ini, bagaimana kinerja tim ekonomi Jokowi? Apakah sudah sesuai ekspektasi, atau jangan-jangan memang datar saja seperti yang diucapkan Kepala Negara?

Well, agak sulit untuk memberikan penilaian karena pandemi virus corona membuat situasi betul-betul gila, sama sekali tidak biasa. Memang betul kinerja ekonomi Indonesia memburuk, tetapi situasi yang sama juga terjadi di negara-negara lain karena virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini adalah pandemi global.

Contoh di Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Lembaga pimpinan Sri Mulyani Indrawati ini punya beberapa tugas utama yaitu menjadi 'kasir' bagi kementerian/lembaga lain, memungut penerimaan negara (pajak, pabean, cukai, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak/PNBP), dan mengupayakan pembiayaan defisit anggaran.

Dari sisi tugas sebagai Bendahara Umum Negara, Kemenkeu masih tersandera masalah yang sama, isu yang membuat penyerapan anggaran terhambat. Hukum. Meski

Jokowi dan para pembantunya sudah mengeluarkan berbagai regulasi yang extraordinary dalam penanganan virus corona, tetapi tidak membuat para Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) berani melakukan terobosan dalam mempercepat pelaksanaan. Isunya sama, takut ada konsekuensi hukum. Korupsi.

"Alasan nggak punya uang itu nggak, sudah di-secure. Namun masing-masing lembaga merasa mereka harus akuntabel dan hati-hati karena like it or not, everybody merasa khawatir. Agar tidak jadi masalah akuntabilitas itu makanya trade off-nya lama," ungkap Sri Mulyani.

Di sisi ini tantangannya masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Semestinya sudah ada perbaikan, apalagi mengingat belanja pemerintah memegang peranan vital dalam mendongrak aktivitas ekonomi kala sektor swasta dan rumah tangga sedang 'mati suri'.

Kemudian dari sisi penerimaan negara. Per akhir Mei 2020, total pendapatan negara tercatat Rp 664,31 triliun. Jumlah ini adalah 37,73% dari target, dan 9,02% lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Memang betul bahwa penerimaan negara adalah cerminan dari aktivitas ekonomi. Saat aktivitas ekonomi lesu, maka penerimaan negara juga ikut lesu. Namun ada rumus sederhana untuk menghitung berapa semestinya penerimaan negara yaitu pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi plus upaya ekstra (extra effort).

Pada kuartal I-2020 ekonomi Indonesia tumbuh katakanlah 3% dan pada kuartal II-2020 asumsikan -3,1% seperti proyeksi pemerintah. Jadi pada semester I-2020 ekonomi Indonesia -0,05%.

Kemudian inflasi, hingga akhir Mei berada di 2,19% year-on-year (YoY). Ditambah dengan pertumbuhan ekonomi, hasilnya adalah 2,14%. Kalau ditambah lagi unsur extra effort, maka seharusnya penerimaan bisa lebih tinggi dari itu.

Nyatanya penerimaan negara malah tumbuh negatif, perhitungan itu jadi tidak masuk. Padahal seharusnya otoritas fiskal masih bisa mengupayakan peningkatan permintaan, kalau mengacu pada prinsip tersebut.

Akan tetapi, tentu sulit bagi otoritas pajak untuk menagih kepada Wajib Pajak di tengah situasi yang sulit seperti sekarang. Apa harus tega masih mengejar Wajib Pajak kala kondisi sedang sangat prihatin?

Susah juga, kebijakan memang tidak bisa hitam-putih. Pada akhirnya, pengambilan kebijakan adalah sense of art, bagaimana mencari keseimbangan dan mencari mudarat paling minimal.

Ketiga adalah mengupayakan pembiayaan. Dalam hal ini, Kemenkeu rasanya patut diacungi jempol.

Pertengahan bulan ini, pemerintah berhasil menerbitkan sukuk global. Selain kelebihan permintaan (oversubscribed), kupon yang diberikan juga paling rendah sepanjang sejarah penerbitan sukuk global untuk tenor lima dan 10 tahun.

"Ini merupakan penerbitan Sukuk Global Indonesia pertama untuk tenor 30 tahun dengan kupon terendah dalam penerbitan Sukuk di pasar keuangan global, sekaligus menjadi penerbitan Sukuk Global tenor 30 tahun terbesar di Asia. Dengan besarnya orderbook, pemerintah dapat menekan harga sampai 70 bps dari harga penawaran awal (initial price guidance) dan di bawah indicative fair value," sebut keterangan tertulis Kemenkeu.

Lelang Surat Berharga Negara (SBN) di dalam negeri juga tetap mampu menarik minat investor. Misalnya dalam lelang 16 Juni lalu, penawaran yang masuk lumayan tinggi yaitu Rp 84,82 triliun.

Ditambah lagi kini Bank Indonesia (BI) bisa ikut dalam lelang SBN sebagai peserta non-kompetitif. Jadi kebutuhan pembiayaan defisit APBN sepertinya bisa diamankan, meski dinaikkan menjadi lebih dari 6% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Kalau melihat dampak pandemi virus corona terhadap ekonomi, tentu tidak bisa lepas dari sektor perdagangan. Mari kita tengok, bagaimana kinerja Kementerian Perdagangan (Kemendag) di bawah komando Agus Suparmanto.

Kemendag cukup tanggap dalam melindungi pasar dalam negeri dari penyebaran virus corona. Pada awal Februari lalu, diterbitkan Peraturan Menteri Perdagangan No 10/2020 tentang pemberhentian sementara impor sejumlah produk dari China, ground zero pandemi virus corona.

Bagaimana dengan ekspor? Apakah Kemendag berhasil menggenjot ekspor?

Pada Mei 2020, ekspor mengalami kontraksi parah hingga -28,95% YoY. Sepanjang Januari-Mei 2020, nilai ekspor berkurang -5,96%.

Bukankah pandemi virus corona membuat permintaan global turun sehingga kontraksi ekspor menjadi hal yang biasa? Nanti dulu.

Kalau dilihat-lihat, kontraksi ekspor Indonesia agak terlalu dalam. Kontraksi -28,95% pada Mei adalah yang terparah kedua di antara negara-negara ASEAN-5. Bahkan kontraksi di Thailand hanya -3,3%.

Menjadi tugas Kemendag agar ekspor bisa lebih baik lagi. Kontraksi memang wajar, tetapi kalau terlalu dalam ya bahaya juga.

Salah satu tantangan dalam pengembangan ekspor adalah ketergantungan Indonesia terhadap komoditas masih sangat tinggi. Dua komoditas utama yang menjadi andalan ekspor Indonesia adalah batu bara dan minyak sawit mentah (CPO).

Sudah sejak lama Indonesia ingin melepaskan diri dari ketergantungan terhadap komoditas dan menjadikan produk manufaktur sebagai penopang ekspor. Nah, ini adalah tugas Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang dipimpin oleh Agus Gumiwang Kartasasmita.

Sudah lama pertumbuhan sektor manufaktur berada di bawah pertumbuhan ekonomi umum. Deindustralisasi masih menjadi penyakit yang belum terobati.

Namun untuk membangun industri pada masa pandemi tidak akan mudah. Ini tercermin dalam laporan Purchasing Managers's Index (PMI) manufaktur keluaran IHS Markit.

Pada Mei 2020, PMI manufaktur Indonesia berada di 28,6. Naik dibandingkan April yang sebesar 27,5.

PMI menggunakan angka 50 sebagai titik awal. Angka di bawah 50 berarti industri manufaktur masih terkontraksi, belum ada ekspansi.

Secara umum. IHS Markit masih melihat manufaktur Indonesia mengalami kesusahan. Pandemi virus corona menjadi penyebab utama.

"Output terus menurun pada kisaran parah pada Mei, ditambah dengan penurunan substansial permintaan baru, yang sebagian disebabkan oleh penurunan tajam penjualan ekspor. Tingkat penurunan pada variabel tersebut sedikit berkurang dari kondisi April, tetapi menjadi yang tercepat kedua sepanjang survei yang dimulai pada April 2011," sebut keterangan tertulis IHS Markit.

Anjloknya PMI memang dialami oleh seluruh negara gara-gara pandemi virus corona. Namun dengan angka 28,6, skor Indonesia jadi yang terendah di antara negara-negara G20.

Oleh karena itu, Kemenperin perlu bekerja lebih keras untuk mengangkat derajat sektor manufaktur Ibu Pertiwi. Industrialisasi atau industry 4.0 jangan hanya menjadi sekadar jargon, tetapi juga diturunkan ke level praktis yang bisa terwujud di lapangan.

Well, itulah sejumlah catatan kecil terhadap pencapaian tim ekonomi Jokowi kala pandemi. Ada yang positif, tetapi masih banyak catatan yang perlu diperhatikan.

Apakah rapor kementerian akan menentukan nasib para menteri di kabinet? Apakah mungkin terjadi kocok ulang (reshuffle) dalam waktu dekat? Itu kewenangan Bapak Presiden....

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular