
Rapor Tim Ekonomi Jokowi Kala Pandemi, Merah atau Biru Nih?

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak bisa menyembunyikan kejengkelannya. Di rapat kabinet, Jokowi 'menyemprot' para pembantunya yang dinilai tidak bisa bergerak cepat. Padahal suasana sedang genting akibat pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).
"Sekali lagi saya minta agar kita bekerja tidak linier, saya minta ada sebuah terobosan yang bisa dilihat masyarakat dan terobosan itu betul-betul berdampak pada percepatan penanganan ini jadi tidak datar-datar saja," kata Jokowi.
Pandemi virus corona menciptakan tantangan besar, selain aspek kesehatan dan kemanusiaan, ekonomi pun terpukul. Setelah Indonesia mampu mencatat pertumbuhan ekonomi 2,97% pada kuartal I-2020, sepertinya kontraksi (pertumbuhan negatif) tidak mungkin bisa dihindari pada kuartal berikutnya.
Sejauh ini, bagaimana kinerja tim ekonomi Jokowi? Apakah sudah sesuai ekspektasi, atau jangan-jangan memang datar saja seperti yang diucapkan Kepala Negara?
Well, agak sulit untuk memberikan penilaian karena pandemi virus corona membuat situasi betul-betul gila, sama sekali tidak biasa. Memang betul kinerja ekonomi Indonesia memburuk, tetapi situasi yang sama juga terjadi di negara-negara lain karena virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini adalah pandemi global.
Contoh di Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Lembaga pimpinan Sri Mulyani Indrawati ini punya beberapa tugas utama yaitu menjadi 'kasir' bagi kementerian/lembaga lain, memungut penerimaan negara (pajak, pabean, cukai, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak/PNBP), dan mengupayakan pembiayaan defisit anggaran.
Dari sisi tugas sebagai Bendahara Umum Negara, Kemenkeu masih tersandera masalah yang sama, isu yang membuat penyerapan anggaran terhambat. Hukum. Meski
Jokowi dan para pembantunya sudah mengeluarkan berbagai regulasi yang extraordinary dalam penanganan virus corona, tetapi tidak membuat para Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) berani melakukan terobosan dalam mempercepat pelaksanaan. Isunya sama, takut ada konsekuensi hukum. Korupsi.
"Alasan nggak punya uang itu nggak, sudah di-secure. Namun masing-masing lembaga merasa mereka harus akuntabel dan hati-hati karena like it or not, everybody merasa khawatir. Agar tidak jadi masalah akuntabilitas itu makanya trade off-nya lama," ungkap Sri Mulyani.
Di sisi ini tantangannya masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Semestinya sudah ada perbaikan, apalagi mengingat belanja pemerintah memegang peranan vital dalam mendongrak aktivitas ekonomi kala sektor swasta dan rumah tangga sedang 'mati suri'.
Kemudian dari sisi penerimaan negara. Per akhir Mei 2020, total pendapatan negara tercatat Rp 664,31 triliun. Jumlah ini adalah 37,73% dari target, dan 9,02% lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Memang betul bahwa penerimaan negara adalah cerminan dari aktivitas ekonomi. Saat aktivitas ekonomi lesu, maka penerimaan negara juga ikut lesu. Namun ada rumus sederhana untuk menghitung berapa semestinya penerimaan negara yaitu pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi plus upaya ekstra (extra effort).
Pada kuartal I-2020 ekonomi Indonesia tumbuh katakanlah 3% dan pada kuartal II-2020 asumsikan -3,1% seperti proyeksi pemerintah. Jadi pada semester I-2020 ekonomi Indonesia -0,05%.
Kemudian inflasi, hingga akhir Mei berada di 2,19% year-on-year (YoY). Ditambah dengan pertumbuhan ekonomi, hasilnya adalah 2,14%. Kalau ditambah lagi unsur extra effort, maka seharusnya penerimaan bisa lebih tinggi dari itu.
Nyatanya penerimaan negara malah tumbuh negatif, perhitungan itu jadi tidak masuk. Padahal seharusnya otoritas fiskal masih bisa mengupayakan peningkatan permintaan, kalau mengacu pada prinsip tersebut.
Akan tetapi, tentu sulit bagi otoritas pajak untuk menagih kepada Wajib Pajak di tengah situasi yang sulit seperti sekarang. Apa harus tega masih mengejar Wajib Pajak kala kondisi sedang sangat prihatin?
Susah juga, kebijakan memang tidak bisa hitam-putih. Pada akhirnya, pengambilan kebijakan adalah sense of art, bagaimana mencari keseimbangan dan mencari mudarat paling minimal.
Ketiga adalah mengupayakan pembiayaan. Dalam hal ini, Kemenkeu rasanya patut diacungi jempol.
Pertengahan bulan ini, pemerintah berhasil menerbitkan sukuk global. Selain kelebihan permintaan (oversubscribed), kupon yang diberikan juga paling rendah sepanjang sejarah penerbitan sukuk global untuk tenor lima dan 10 tahun.
"Ini merupakan penerbitan Sukuk Global Indonesia pertama untuk tenor 30 tahun dengan kupon terendah dalam penerbitan Sukuk di pasar keuangan global, sekaligus menjadi penerbitan Sukuk Global tenor 30 tahun terbesar di Asia. Dengan besarnya orderbook, pemerintah dapat menekan harga sampai 70 bps dari harga penawaran awal (initial price guidance) dan di bawah indicative fair value," sebut keterangan tertulis Kemenkeu.
Lelang Surat Berharga Negara (SBN) di dalam negeri juga tetap mampu menarik minat investor. Misalnya dalam lelang 16 Juni lalu, penawaran yang masuk lumayan tinggi yaitu Rp 84,82 triliun.
Ditambah lagi kini Bank Indonesia (BI) bisa ikut dalam lelang SBN sebagai peserta non-kompetitif. Jadi kebutuhan pembiayaan defisit APBN sepertinya bisa diamankan, meski dinaikkan menjadi lebih dari 6% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
