Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah sedang melakukan kajian terhadap potensi kekayaan mineral Indonesia bernama rare earth atau logam tanah jarang. Pekan ini, mineral ini kembali ramai dibicarakan dan menurut rencana akan digunakan dalam membuat senjata.
Usulan penggunaan rare earth sebagai bahan pembuatan senjata merupakan hasil pembicaraan antara Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan bersama Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.
"Kita dari tin (timah), kemarin saya bicara dengan Menhan [Menteri Pertahanan Prabowo Subianto], tin itu kita juga bisa ekstrak, dari situ rare earth [tanah jarang]," kata Luhut dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR RI, Senin (22/6/2020).
Menurut Luhut, rare earth merupakan salah satu komponen penting untuk pembuatan senjata. Namun, harga logam itu ditentukan di Singapura.
"Kenapa harga rare earth mesti ditentukan di Singapura? Kenapa tidak di kita. Singapura udara saja dia impor, kita relakan itu," imbuhnya.
Luhut bukan kali ini saja mengungkap potensi rare earth. Sebelumnya, dia bahkan menggebu-gebu ketika bicara mengenai hilirisasi mineral di Indonesia, di gedung DPR RI, Senin (9/9/2019).
Dia membeberkan, sepanjang sejarah negeri ini tidak memiliki peta rantai pasokan yang jelas untuk tambang mineral. Banyak komoditas diekspor secara mentah tanpa mendapat nilai tambah.
Padahal, menurut Luhut, jika komoditas mentah tersebut diolah mulai dari bijih mentah sampai nanti barang jadi setelah dari smelter, akan ada nilai tambah yang menghasilkan banyak keuntungan.
Saat itu, Luhut juga sempat memberi perbandingan. Ia menyebut ekspor timah mentah menghasilkan uang US$ 350 juta. Sementara, lanjutnya, dengan hilirisasi bisa datangkan lebih banyak untuk komoditas serupa yakni mencapai US$ 5,8 miliar.
"Itu hanya ekspor saja bawa itu tanah yang isinya timah, dan satu ton tanah itu belum tentu dapat 1 kilogram timah. Jadi berapa juta ton sudah berpuluh-puluh tahun kita ekspor?"
Dengan membangun smelter, Ia meyakini pemerintah akan punya peran untuk menentukan harga. Sehingga tak cuma diatur oleh negara yang punya smelter, "Bangun smelter itu kan cuma 2 tahun, ini sudah lebih dari 2 tahun, apa yang terjadi, kenapa diulur-ulur?"
"Masa harga timah ditentukan di Singapura, kamu bangga gak sebagai orang Indonesia? Masa tidak bisa bikin supply chainnya itu juga," ceritanya.
Kebutuhan timah dunia tinggi, hampir semua telepon genggam misalnya berisi timah. "Kenapa tidak kita bikin di dalam negeri, sama dengan bauksit sama dengan alumina sama dengan apalagi itu semua."
Apalagi, tambahnya, di timah juga ditemukan rare earth di mana mineral ini sedang diburu oleh Amerika Serikat. "AS lagi kepusingan 7 keliling, karena rare earth China tidak mau diekspor," jelasnya.
Tak hanya Indonesia, sebelumnya logam tanah jarang ramai sejak China berencana menjadikan komoditas tersebut sebagai senjata untuk menghadapi perang dagang dengan Amerika Serikat (AS).
Logam tanah jarang atau rare earth element (REE) merupakan elemen yang memiliki banyak fungsi dan potensi untuk berbagai industri hilir. Meski namanya logam tanah jarang, tetapi keberadaannya relatif melimpah di kerak bumi.
Dikutip dari laporan Statista, logam tanah jarang merupakan komponen penting dalam produksi microchip, barang elektronik, dan motor listrik, dan hampir secara eksklusif bersumber dari China.
Sampai dengan saat ini, China menjadi salah satu produsen terbesar REE di dunia. Pada 2019 produksi China mencapai 132.000 metrik ton atau setara dengan 61,9% dari total produksi 10 negara dengan output (produksi) terbanyak di dunia.
China juga memiliki cadangan rare earth terbesar, tetapi Negeri Tirai Bambu tersebut tidak sendiri, karena masih ada Brasil, Vietnam, dan Rusia juga memiliki banyak (sebagian besar) potensi yang belum dimanfaatkan di sektor ini.
Berdasarkan data yang dipaparkan Statista, cadangan rare earth yang diketahui di China sebesar 44 juta ton, Brasil dan Vietnam sebesar 22 juta ton, Rusia 12 juta ton, dan AS 1,4 juta ton.
Hingga tahun 2018, REE telah digunakan untuk magnet, katalis, hingga baterai. REE paling banyak digunakan untuk pembuatan magnet serta katalis. Katalis merupakan suatu zat yang berfungsi untuk mempercepat suatu reaksi kimia tertentu.
Mengacu pada kajian U.S. Congressional Research Services, masing-masing dari 17 elemen REE memiliki fungsi yang beragam. Ada yang fungsinya sama ada pula yang penggunaan akhirnya berbeda.
Namun secara umum REE juga digunakan untuk membuat campuran logam, magnet hingga komponen dari berbagai gadget yang ada sekarang seperti smartphone hingga layar pada komputer atau laptop.
Meski tak termasuk ke dalam 10 produsen terbesar, bukan berarti Indonesia tak memiliki REE. Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam juga memiliki REE yang banyak ditemukan di Pulau Timah dan Kalimantan.
Menurut studi A.D Handoko dan E Sanjaya yang dipublikasikan dalam IOP Conference Series: Earth and Environmental Science 2018, jenis REE yang banyak ditemui di Indonesia adalah monazite, zircon dan xenotime yang biasanya tercampur dengan deposit timah dan emas.
Jenis monazite juga ditemukan di Kalimantan. Monazite merupakan mineral yang di dalamnya terdapat campuran elemen Cerium (Ce), Lanthanum (La), Neodymium (Nd) dan Thorium (Th).
Artinya jika REE tersebut diekstrak dari perut bumi, maka logam tersebut bisa digunakan untuk membangun industri hilir Tanah Air mulai dari elektronik, migas, kendaraan listrik bahkan industri pertahanan mengingat aplikasinya banyak digunakan untuk membuat material aloy.
Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ego Syahrial mengatakan, terkait detail dari komoditas ini, belum banyak diketahui. Meski demikian, Kementerian ESDM mengaku akan serius dalam memanfaatkannya.
"Intinya kita banyak kandungan rare earth yang sekarang belum dimanfaatin, akan diseriusin. Undang-undang kita juga akan mengamanatkan ini. Detailnya belum tahu, tapi kami akan serius memanfaatkan," ujar Ego saat ditemui di Komisi VII DPR RI, Rabu (24/06/2020).
Ditemui di lokasi yang sama, Kepala Pusat Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin) Kementerian ESDM Agus Cahyono Adi menyebut informasi yang ia dapatkan cadangan LTJ ada. Namun, statusnya masih resources potential.
Agus menyebut ini sangat bernilai karena banyak manfaat, bahkan sampai dengan bahan nuklir. Soal potensi Indonesia, Agus juga belum bisa memastikan karena masih potensial, belum terpecahkan.
Lebih lanjut, Agus menjelaskan LTJ ini merupakan turunan dari tambang. Ia menegaskan jika ada potensi akan terus dimaksimalkan.
"Masih belum (pengembangannya)," kata Ego.
Sebelumnya, Deputi Bidang Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves Septian Hario Seto mengatakan semua potensi LTJ sedang diteliti.
"Semua ini kemarin kita dapat info dari salah satu Profesor ITB itu di Nikel kadar rendah ini juga ada, dia lihat potensi rare earth. Tapi yang Inalum lihat itu di timah itu," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Selasa (23/06/2020).
Menurut Seto, pembicaraan Luhut dan Prabowo terkait manfaat LTJ. Misalnya saja di Amerika Serikat yang memanfaatkannya untuk komponen elektronik dan sistem persenjataan.
"Ya banyak sih penggunaanya, salah satunya itu. Lagi dilihat untuk eksplorasinya karena kita perlu tahu jumlah cadangan dulu seberapa, segala macamnya. Yang sudah di lihat itu di timah," kata Seto.
Hilirisasi dari komoditas ini sangat tergantung dari seberapa cepat eksplorasi dilakukan. Nanti, imbuh Seto, akan ada teknologinya setelah diketahui jumlah cadangannya.
"Ini sedang diteliti potensinya, ada di PT Timah. AS (memanfaatkan), banyaklah," paparnya.