Kenapa New Normal Begitu Penting?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
03 June 2020 12:57
Anggota TNI Berjaga di Ruang Publik (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Foto: Anggota TNI Berjaga di Ruang Publik (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) benar-benar luar biasa. Penularan virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini sangat cepat, sehingga memaksa pemerintah di berbagai negara menempuh kebijakan yang terbilang ekstrem.

Per 2 Juni 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat jumlah pasien positif corona di seluruh dunia mencapai 6.194.533 orang. Bertambah 113.198 orang dibandingkan posisi hari sebelumnya.

Kemarin, jumlah pasien positif corona di seluruh dunia naik 2,26% dibandingkan sehari sebelumnya. Pada 24-29 Mei, persentase kenaikan kasus corona sudah di bawah 2% per hari. Namun pada 30 Mei-2 Juni, persentasenya naik lagi di atas 2% per hari.




Oleh karena itu, pemerintah di hampir seluruh negara menerapkan kebijakan pembatasan sosial (social distancing). Demi mempersempit ruang gerak virus corona, setiap manusia harus berjarak dengan manusia lainnya. Jangan berkerumun, apalagi dalam jumlah besar di ruang tertutup.

Oleh karena itu, kantor dan sekolah diliburkan. Restoran, pusat perbelanjaan, sampai tempat wisata ditutup sementara. Orang-orang diimbau (bahkan ada yang dipaksa) untuk #dirumahaja. Bekerja, belajar, dan beribadah di rumah.

Tanpa social distancing, jumlah kasus dan korban jiwa akibat virus corona tentu akan lebih banyak dari saat ini. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa social distancing membuat roda ekonomi berjalan sangat lambat atau bahkan tidak bergerak sama sekali karena aktivitas masyarakat yang nyaris lumpuh.

Akibatnya, kontraksi (pertumbuhan negatif) ekonomi terjadi di mana-mana. Pada kuartal I-2020, ekonomi Amerika Serikat (AS) terkontraksi -4,8%, China -6,8%, dan Zona Euro -3,8%. Ekonomi Indonesia memang masih tumbuh 2,97%, tetapi itu jadi laju terlemah sejak 2001.





[Gambas:Video CNBC]



Perlambatan bahkan kontraksi ekonomi menggambarkan lapangan kerja yang menyusut. Akibatnya, angka pengangguran melonjak tajam.

Pada April, tingkat pengangguran di AS mencapai 14,7%, tertinggi sejak Perang Dunia II. Di Indonesia, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat jumlah pekerja yang dirumahkan atau mendapat 'vonis' Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) per 12 Mei adalah 1.722.958 orang.

Semakin tinggi jumlah pengangguran, maka kemiskinan akan mengikuti. Kajian Bank Dunia menyatakan, kebijakan social distancing bisa membuat setidaknya 49 juta orang di seluruh dunia terjerumus ke jurang kemiskinan ekstrem.

Bahkan kajian Andy Sumner dari King's College (London) lebih seram lagi. Apabila pendapatan per kapita global anjlok sampai 20% gara-gara social distancing, maka jumlah penduduk yang berada di tingkat kemiskinan ekstrem bisa mencapai 420 juta jiwa.


Hampir setara dengan populasi seluruh negara di Amerika Latin. Di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin per September 2019 adalah 24,79 juta jiwa. Turun dibandingkan Maret 2019 yang sebanyak 25,14 juta jiwa dan September 2018 yakni 25,67 juta jiwa.



Namun, pemerintah memperkirakan jumlah penduduk miskin bakal bertambah seiring perlambatan ekonomi. Jika pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini hanya 2,3%, maka jumlah penduduk miskin akan bertambah 1,89 juta orang. Kalau ekonomi Indonesia sampai terkontraksi -0,4%, maka penduduk miskin diperkirakan bertambah 4,86 juta orang.

Pilihannya yang ada memang sangat terbatas dan sulit. Social distancing memang bisa menyelamatkan ribuan bahkan jutaan nyawa. Namun jangan-jangan malah bakal merenggut lebih banyak nyawa karena orang-orang mati kelaparan. 



Oleh karena itu, berbagai negara (termasuk Indonesia) memilih untuk membuka kembali keran aktivitas masyarakat berbalut kenormalan baru alias new normal. Warga sudah boleh berkegiatan, tetapi harus tetap mematuhi protokol kesehatan seperti memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, dan sebagainya.

Walau aktivitas masih terbatas, tetapi bagi ekonomi tentu lebih baik ketimbang orang-orang hanya diam di rumah. Roda ekonomi akan bergulir lagi, lapangan kerja tercipta, dan kemiskinan ditekan.

Namun bukan berarti masyarakat boleh sebebas dulu, ada rambu-rambu yang harus ditaati. Kalau kebablasan, bisa-bisa new normal malah menjadi momentum bagi virus corona untuk melancarkan agresi tahap kedua (second wave outbreak).


Ini yang sepertinya terjadi di Korea Selatan. Pada pertengahan Mei, Negeri Ginseng mulai mengendurkan kebijakan social distancing.

Setelah berbulan-bulan 'terpenjara' di rumah, mungkin sebagian orang melampiaskan kebebasan dengan kelewat batas. Mencari hiburan malam, lupa jaga jarak, lupa jaga kebersihan, dan semacamnya.

Akibatnya, kurva kasus corona di Korea Selatan yang sudah landai menanjak lagi. Kini Korea Selatan terpaksa kembali bergulat untuk memerangi virus corona, kemenangan terpaksa tertunda karena new normal yang kelewat casual.



Oleh karena itu, berbagai negara yang ingin menerapkan new normal harus waspada. New normal adalah ujian yang sebenarnya, tempat di mana kedisiplinan dan hawa nafsu ditempa. Kalau gagal dalam ujian ini, maka bakal butuh waktu yang semakin lama untuk 'berdamai' dengan virus corona.



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular