Sentimen Pekan Depan: New Normal Menjadi Kawah Candradimuka

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
31 May 2020 15:08
Masih Dihantui Virus Corona, IHSG Merah. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak menguat pada pekan ini. Bagaimana dengan pekan depan? Sentimen apa saja yang perlu dicermati?

Sepanjang pekan ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 2,74%. Meski penguatannya terbilang tajam, tetapi ternyata masih kalah ketimbang indeks utama Asia lainnya.

Berikut perkembangan indeks saham utama Asia sepanjang pekan ini:




Dalam periode yang sama, rupiah menguat 0,72% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di perdagangan pasar spot. Rupiah jadi salah satu mata uang dengan performa terbaik di Asia.

Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning dalam minggu ini:

 

Setelah pekan yang lumayan impresif, pelaku pasar perlu bersiap menghadapi minggu yang baru. Besok, pasar keuangan Indonesia libur memperingati Hari Kelahiran Pancasila sehingga masih ada waktu untuk menarik nafas.

Pada Selasa, Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan data inflasi periode Mei 2020. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan terjadi inflasi tipis 0,1% secara bulanan (month-on-month/MtM). Kemudian inflasi tahunan (year-on-year/YoY) sebesar 2,22% dan inflasi inti YoY adalah 2,8%. Tidak jauh dibandingkan dengan Survei Pemantauan Harga (SPH) keluaran Bank Indonesia (BI) yang meramal inflasi Mei sebesar 0,09% MtM dan 2,21% YoY.


BI menilai rendahnya inflasi disebabkan oleh empat faktor. Pertama adalah penurunan permintaan masyarakat akibat pandemi virus corona (Coronavirus Disease 2019/Covid-19), termasuk dari sisi pendapatan. Kedua adalah penurunan harga komoditas global sehingga mempengaruhi harga barang impor.

Ketiga adalah stabilitas nilai tukar rupiah yang terjaga. Terakhir adalah terjangkarnya ekspektasi inflasi sehingga kenaikan harga relatif terkendali.

Kemudian besok juga sudah memasuki bulan baru. Artinya akan ramai rilis data Purchasing Managers' Index (PMI). Data ini sangat penting karena menggambarkan aktivitas dunia usaha, yang akan memberi petunjuk bagaimana perkiraan pertumbuhan ekonomi ke depan.

Pelaku pasar memperkirakan PMI Mei akan lebih baik ketimbang April. Misalnya, konsensus pasar yang dihimpun Trading Economics memperkirakan PMI manufaktur AS versi ISM pada Mei adalah 43. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 41,5.

Kemudian PMI manufaktur China versi Caixin pada Mei diperkirakan sebesar 49,6. Naik sedikit dibandingkan April yakni 49,4.

PMI memang menggunakan angka 50 sebagai titik mula, kalau di bawah 50 artinya dunia usaha tidak melakukan ekspansi, yang ada malah kontraksi. Namun, ada tendensi kontraksi tersebut semakin berkurang.

Ke depan, seiring semakin banyaknya negara yang melonggarkan pembatasan sosial (social distancing) dan menerapkan kenormalan baru (new normal), roda ekonomi bisa berputar lagi. Permintaan akan meningkat, sehingga mendorong dunia usaha untuk memproduksi lebih banyak dan menyerap tenaga kerja.

Indonesia adalah salah satu negara yang kemungkinan bakal menerapkan new normal. Pada 4 Juni, masa pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi akan berakhir. Kalau tidak ada perpanjangan, maka masyarakat bisa kembali beraktivitas meski tetap wajib mematuhi protokol kesehatan.




Itu dari sisi rilis data. Dari sisi sentimen, ada beberapa yang perlu dicermati oleh pelaku pasar. Pertama tentu saja perkembangan penyebaran virus corona. Data ini akan sangat menentukan apakah new normal bisa diterapkan atau tidak. Kalau angka penyebaran masih tinggi, maka bisa saja penerapan new normal ditunda dulu.

Setelah new normal berlaku, bukan berarti semua masalah selesai. Happy ending, semua senang, mari berhaha-hihi.

Justru saat new normal itulah kedisiplinan pemerintah dan masing-masing warga diuji. Apabila tidak patuh (tidak memakai masker, tidak rajin mencuci tangan, tidak menjaga jarak, dan sebagainya), maka yang ada malah risiko gelombang penyebaran kedua alias second wave outbreak.

Ini yang sepertinya terjadi di Korea Selatan. Pada pertengahan Mei, Negeri Ginseng mulai mengendurkan kebijakan social distancing. Setelah berbulan-bulan #dirumahaja, mungkin sebagian orang melampiaskan kebebasan dengan kelewat batas. Mencari hiburan malam, lupa jaga jarak, lupa jaga kebersihan, dan semacamnya.

Akibatnya, kurva kasus corona di Korea Selatan yang sudah landai menanjak lagi. Kini Korea Selatan terpaksa kembali bergulat untuk memerangi virus corona, kemenangan terpaksa tertunda karena new normal yang kelewat casual.




Oleh karena itu, berbagai negara yang ingin menerapkan new normal harus waspada. New normal adalah ujian yang sebenarnya, kawah candradimuka, tempat di mana kedisiplinan dan hawa nafsu ditempa. Kalau gagal dalam ujian ini, maka bakal butuh waktu yang semakin lama untuk 'berdamai' dengan virus corona.

Sentimen kedua adalah perkembangan hubungan AS-China. Hubungan kedua negara memburuk sejak Presiden AS Donald Trump mendesak China bertanggung jawab atas penyebaran virus corona yang kini hinggap di lebih dari 200 negara dan teritori.

Relasi Washington-Beijing kian memburuk karena China berencana memberlakukan UU keamanan baru di Hong Kong. UU tersebut dipandang terlalu represif, yang semakin menancapkan kuku China di eks koloni Inggris itu.

AS menolak UU tersebut. Jika jadi diterapkan, maka AS akan membuat Hong Kong setara dengan China, tidak ada perlakuan khusus. Artinya, Hong Kong akan dikenai berbagai hambatan dalam hal perdagangan, investasi, dan sebagainya. Bahkan Trump akan memerintahkan jajarannya untuk memberikan sanksi kepada pejabat pemerintah Hong Kong yang terlibat dalam upaya penghapusan otonomi.


Sejauh ini pemerintah China belum memberikan tanggapan. Namun media yang berafiliasi dengan pemerintah sudah memberi kecaman.

"China sudah bersiap untuk skenario terburuk. Sejauh apa pun tindakan AS, China akan melakukan hal yang sama. Jika rencana Trump berlanjut, maka AS telah melawan kehendak mayoritas rakyat Hong Kong," tulis tajuk di Global Times, tabloid terbitan pemerintah China.

Friksi AS-China yang meruncing bisa menjadi sentimen negatif di pasar. Apalagi sampai mengancam status Hong Kong sebagai salah satu pusat keuangan Asia, bahkan dunia.

Oleh karena itu, investor perlu hati-hati karena pekan depan sepertinya agak tricky. Di satu sisi ada harapan ekonomi akan bangkit dengan penerapan new normal.

Namun di sisi lain ada risiko second wave outbreak dan ketegangan hubungan AS-China. Kalau dua sisi ini ternyata sama kuat, maka rasanya investor bakal wait and see dulu. 



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular