
Sentimen Pekan Depan: New Normal Menjadi Kawah Candradimuka
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
31 May 2020 15:08

Setelah pekan yang lumayan impresif, pelaku pasar perlu bersiap menghadapi minggu yang baru. Besok, pasar keuangan Indonesia libur memperingati Hari Kelahiran Pancasila sehingga masih ada waktu untuk menarik nafas.
Pada Selasa, Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan data inflasi periode Mei 2020. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan terjadi inflasi tipis 0,1% secara bulanan (month-on-month/MtM). Kemudian inflasi tahunan (year-on-year/YoY) sebesar 2,22% dan inflasi inti YoY adalah 2,8%. Tidak jauh dibandingkan dengan Survei Pemantauan Harga (SPH) keluaran Bank Indonesia (BI) yang meramal inflasi Mei sebesar 0,09% MtM dan 2,21% YoY.
BI menilai rendahnya inflasi disebabkan oleh empat faktor. Pertama adalah penurunan permintaan masyarakat akibat pandemi virus corona (Coronavirus Disease 2019/Covid-19), termasuk dari sisi pendapatan. Kedua adalah penurunan harga komoditas global sehingga mempengaruhi harga barang impor.
Ketiga adalah stabilitas nilai tukar rupiah yang terjaga. Terakhir adalah terjangkarnya ekspektasi inflasi sehingga kenaikan harga relatif terkendali.
Kemudian besok juga sudah memasuki bulan baru. Artinya akan ramai rilis data Purchasing Managers' Index (PMI). Data ini sangat penting karena menggambarkan aktivitas dunia usaha, yang akan memberi petunjuk bagaimana perkiraan pertumbuhan ekonomi ke depan.
Pelaku pasar memperkirakan PMI Mei akan lebih baik ketimbang April. Misalnya, konsensus pasar yang dihimpun Trading Economics memperkirakan PMI manufaktur AS versi ISM pada Mei adalah 43. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 41,5.
Kemudian PMI manufaktur China versi Caixin pada Mei diperkirakan sebesar 49,6. Naik sedikit dibandingkan April yakni 49,4.
PMI memang menggunakan angka 50 sebagai titik mula, kalau di bawah 50 artinya dunia usaha tidak melakukan ekspansi, yang ada malah kontraksi. Namun, ada tendensi kontraksi tersebut semakin berkurang.
Ke depan, seiring semakin banyaknya negara yang melonggarkan pembatasan sosial (social distancing) dan menerapkan kenormalan baru (new normal), roda ekonomi bisa berputar lagi. Permintaan akan meningkat, sehingga mendorong dunia usaha untuk memproduksi lebih banyak dan menyerap tenaga kerja.
Indonesia adalah salah satu negara yang kemungkinan bakal menerapkan new normal. Pada 4 Juni, masa pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi akan berakhir. Kalau tidak ada perpanjangan, maka masyarakat bisa kembali beraktivitas meski tetap wajib mematuhi protokol kesehatan.
(aji/aji)
Pada Selasa, Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan data inflasi periode Mei 2020. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan terjadi inflasi tipis 0,1% secara bulanan (month-on-month/MtM). Kemudian inflasi tahunan (year-on-year/YoY) sebesar 2,22% dan inflasi inti YoY adalah 2,8%. Tidak jauh dibandingkan dengan Survei Pemantauan Harga (SPH) keluaran Bank Indonesia (BI) yang meramal inflasi Mei sebesar 0,09% MtM dan 2,21% YoY.
BI menilai rendahnya inflasi disebabkan oleh empat faktor. Pertama adalah penurunan permintaan masyarakat akibat pandemi virus corona (Coronavirus Disease 2019/Covid-19), termasuk dari sisi pendapatan. Kedua adalah penurunan harga komoditas global sehingga mempengaruhi harga barang impor.
Kemudian besok juga sudah memasuki bulan baru. Artinya akan ramai rilis data Purchasing Managers' Index (PMI). Data ini sangat penting karena menggambarkan aktivitas dunia usaha, yang akan memberi petunjuk bagaimana perkiraan pertumbuhan ekonomi ke depan.
Pelaku pasar memperkirakan PMI Mei akan lebih baik ketimbang April. Misalnya, konsensus pasar yang dihimpun Trading Economics memperkirakan PMI manufaktur AS versi ISM pada Mei adalah 43. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 41,5.
Kemudian PMI manufaktur China versi Caixin pada Mei diperkirakan sebesar 49,6. Naik sedikit dibandingkan April yakni 49,4.
PMI memang menggunakan angka 50 sebagai titik mula, kalau di bawah 50 artinya dunia usaha tidak melakukan ekspansi, yang ada malah kontraksi. Namun, ada tendensi kontraksi tersebut semakin berkurang.
Ke depan, seiring semakin banyaknya negara yang melonggarkan pembatasan sosial (social distancing) dan menerapkan kenormalan baru (new normal), roda ekonomi bisa berputar lagi. Permintaan akan meningkat, sehingga mendorong dunia usaha untuk memproduksi lebih banyak dan menyerap tenaga kerja.
Indonesia adalah salah satu negara yang kemungkinan bakal menerapkan new normal. Pada 4 Juni, masa pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi akan berakhir. Kalau tidak ada perpanjangan, maka masyarakat bisa kembali beraktivitas meski tetap wajib mematuhi protokol kesehatan.
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular