Inflasi Mei 2020

Harga Sembako Turun Saat Puasa-Lebaran, Bukti Daya Beli Turun

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
02 June 2020 12:27
Lokasi wisata Pujon Kidul di Pujon, Kabupaten Malang, Jawa Timur, (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Ilustrasi Sayuran (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi pada Mei 2020 sebesar 0,07%. Tidak berbeda jauh dengan ekspektasi pasar.

Pada Selasa (2/6/2020), BPS melaporkan inflasi Mei adalah 0,07% secara bulanan (month-to-month/MtM). Sementara konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia menghasilkan media 0,1% MtM.

Inflasi tahunan (year-on-year/YoY) adalah 2,19%. Juga tidak berbeda jauh dibandingkan konsensus pasar yang sebesar 2,22%.



Ramadan-Idul Fitri tahun ini gagal mengangkat inflasi. Padahal pada tahun-tahun sebelumnya, momentum puasa-lebaran adalah puncak konsumsi masyarakat sehingga mendongkrak laju Indeks Harga Konsumen.



"Inflasi Mei 2020 kecil sekali, jauh dibandingkan dengan inflasi Idul Fitri tahun lalu. Covid-19 menyebabkan pattern inflasi Ramadan ini sangat tidak biasa, jauh dengan tahun-tahun sebelumnya," kata Suhariyanto, Kepala BPS.

Bahkan pada Mei, BPS mengungkapkan terjadi deflasi -0,32% MtM untuk kelompok bahan makanan. Artinya, harga sembako selama Mei cenderung turun dibandingkan April. Padahal Mei ada puasa-lebaran yang biasanya membuat harga sembako naik karena tingginya permintaan.

"Banyak komoditas turun harga sehingga menyebabkan deflasi. Misalnya cabai merah dengan andil deflasi -0,07%, telur ayam ras -0,06%, bawang putih -0,05%, cabai rawit -0,03%, bawang bombay dan gula pasir masing-masing -0,01%," kata Suhariyanto.



Ya, pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) membuat ekonomi berjalan tidak seperti biasanya. Sebab, aktivitas masyarakat dibatasi demi mempersempit ruang gerak penyebaran virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China tersebut.

Di Indonesia. pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah mengenai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada akhir Maret. Kini, sudah lebih dari 20 daerah menerapkan kebijakan itu. PSBB mengamanatkan peliburan sekolah, bisnis non-esensial, pembatasan aktivitas di fasilitas umum, sampai pembatasan transportasi publik.



PSBB membuat permintaan domestik turun tajam karena masyarakat hanya #dirumahaja. Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat kelesuan aktivitas ekonomi juga membuat pendapatan masyarakat turun sehingga kecenderungan konsumsi (prospensity to consume) pun menurun.

"Dari sisi supply, banyak terjadi perlambatan produksi karena PSBB menyebabkan kesulitan dalam mendapatkan bahan baku. Produksi juga turun karena pelemahan permintaan," kata Suhariyanto. 

Perlambatan produksi terkonfirmasi oleh data Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia yang pada Mei sebesar 28,6. Meski naik dibandingkan bulan sebelumnya, tetapi masih jauh dari angka 50 yang menandakan dunia usaha belum melakukan ekspansi, yang ada malah kontraksi.

"Output terus menurun pada kisaran parah pada Mei, ditambah dengan penurunan substansial permintaan baru, yang sebagian disebabkan oleh penurunan tajam penjualan ekspor. Tingkat penurunan pada variabel tersebut sedikit berkurang dari kondisi April, tetapi menjadi yang tercepat kedua sepanjang survei yang dimulai pada April 2011," sebut keterangan tertulis IHS Markit.

Tidak hanya di sisi supply, demand juga masih mengalami kontraksi. Stok pasca produksi menumpuk karena barang, khususnya produk konsumsi, tidak terjual.


Oleh karena itu, pelemahan daya beli memang sudah tidak bisa dibantah lagi. Ini terlihat dari inflasi inti yang terus melambat.

Pada Mei, inflasi inti tercatat 0,06% MtM, terendah sejak Oktober 2011. Sementara secara YoY, inflasi inti pada Mei adalah adalah 2,65%, terendah sejak Februari 2018.



"Ini menjadi pekerjaan rumah, meningkatkan daya beli masyarakat. Semoga Covid-19 segera berlalu," ujar Ketjuk.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular