
Pakar Ini Sebut Hubungan AS-China di Fase 'Berbahaya'

Jakarta, CNBC Indonesia - Hubungan antara Amerika Serikat (AS) dengan China telah kembali memburuk akibat mewabahnya virus corona (COVID-19). Kedua negara telah saling menyalahkan soal berbagai hal terkait wabah asal Wuhan, China itu dalam beberapa waktu terakhir.
Ketegangan yang meningkat antar kedua negara dengan ekonomi terbesar di dunia itu bukan yang pertama terjadi. Sebelumnya AS-China pernah berselisih akibat perang dagang yang diluncurkan Pemerintahan Presiden Donald Trump. Kedua negara juga berselisih di Laut China Selatan.
Namun, ketegangan kali ini telah membuat berbagai pakar memprediksi bahwa keduanya akan terlibat perang dingin baru di masa depan.
Sebagaimana diketahui, akibat COVID-19, Trump telah melayangkan ancaman pada China. Presiden ke-45 AS itu menyebut bakal menuntut China dan meminta ganti rugi dengan jumlah yang sangat besar. Itu terjadi setelah ia menuduh China lalai dalam menangani wabah dan bahwa China telah menutup-nutupi wabah di awal ditemukannya.
Trump juga mencurigai virus corona merupakan buatan manusia dari Institut Virologi Wuhan. Tuduhan itu telah ditolak keras oleh China. Bahkan, seorang juru bicara kementerian luar negeri China, Zhao Lijian, telah melayangkan gagasan sebaliknya. Ia menyebut bahwa virus corona mungkin berasal dari AS.
Menanggapi perselisihan ini, Kepala Komentator Urusan Luar Negeri untuk Financial Times, Gideon Rachman mengatakan bahwa apa yang dilakukan AS-China merupakan hal berbahaya yang tidak ada gunanya. Apalagi jika tuduhan-tuduhan terus dilayangkan tanpa adanya upaya penyelidikan yang dilakukan.
Bahkan menurut Rachman, hal ini justru dapat memperburuk citra China.
Perlu diketahui, China bukan hanya berselisih soal corona dengan AS, tapi juga dengan beberapa negara lain. Salah satunya adalah dengan Australia. Itu terjadi setelah perdana menteri Australia, Scott Morrison, menyerukan penyelidikan internasional atas wabah yang kini menjadi bencana global ini.
Pada saat itu, duta besar China di Australia menanggapi dengan mengemukakan gagasan bahwa konsumen negaranya mungkin memboikot barang-barang Australia sebagai pembalasan.
Hal serupa juga terjadi di Prancis. Duta Besar China di Prancis telah mengkritik media Prancis dan mengatakan bahwa orang-orang di barat kehilangan kepercayaan pada demokrasi.
"Kaum nasionalis yang blak-blakan - seperti Tuan Zhao, juru bicara kementerian luar negeri - telah diganjar dengan promosi. Tetapi upaya ini kontraproduktif dan mendorong sentimen anti-China yang mereka klaim sebagai penindasan," tulis Rachman, sebagaimana dilaporkan FT, pekan lalu.
Rachman menjelaskan, China seharusnya mengambil pendekatan yang lebih halus untuk melindungi citranya, seperti menyetujui penyelidikan internasional tentang asal-usul COVID-19. Sebab, selain akan membantu menyingkirkan beberapa teori konspirasi liar yang beredar seputar wabah, penyelidikan independen juga akan dapat memberikan pelajaran berharga untuk mencegah pandemi berikutnya.
"Tentu saja, Beijing sangat tidak mungkin menerima penyelidikan semacam itu. Menyetujui membiarkan orang asing menyelidiki peristiwa di China akan digambarkan sebagai penghinaan oleh kaum nasionalis. Pemerintah China juga kejam dalam melindungi citra partai Komunis dan Presiden Xi Jinping.
"Perhitungan yang jujur tentang tahap-tahap awal pandemi - dan intimidasi dokter yang berusaha membunyikan alarm - akan mempermalukan partai. Mungkin juga benar bahwa China memiliki rahasia buruk lainnya untuk disembunyikan," jelas Rachman dalam tulisannya.
"Tetapi dengan tidak adanya investigasi independen, permainan menyalahkan antara AS dan Cina kemungkinan akan meningkat dan menjadi lebih berbahaya."
Lebih lanjut, Rachman mengatakan bahwa penolakan China akan membuat negara itu menjadi mudah dicurigai ke depannya dan membuatnya sulit menjalin kerja sama dengan banyak negara barat.
"Tetapi risikonya sekarang adalah bahwa hubungan kembali yang beralasan dan prinsip dengan China akan meluncur ke sesuatu yang lebih berbahaya." jelasnya. "Ada elemen xenophobia yang tidak dapat disangkal di beberapa serangan China yang terjadi di barat, yang telah menyebabkan serentetan serangan verbal dan fisik terhadap orang Asia-Amerika di AS."
"Paling buruk, semua emosi kemarahan di kedua sisi ini tidak hanya akan menyebabkan perang dingin, tetapi juga emosi yang panas: konflik bersenjata yang nyata. Baik AS dan China harus keluar dari jalur berbahaya itu. Langkah pertama adalah menyetujui penyelidikan internasional independen tentang asal-usul COVID-19."
Setelah muncul di Wuhan pada Desember lalu, per Senin ini (11/5/2020) wabah virus corona telah menginfeksi 4.180.923 orang di dunia. Di mana 283.868 orang di antaranya meninggal dunia dan 1.493.401 orang sembuh, menurut Worldometers.
(res) Next Article Awas Perang Dingin II, AS-China Makin Tegang soal Asal Corona
