
Waspada! Tensi AS-China Naik Lagi di Laut China Selatan

Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah perselisihannya yang terus meningkat dengan China di Laut China Selatan, Amerika Serikat (AS) telah meningkatkan operasi militernya di perairan dekat negara itu tahun ini.
Sejauh tahun ini, pesawat dari angkatan bersenjata AS telah melakukan 39 penerbangan di atas Laut China Selatan, Laut China Timur, Laut Kuning, dan Selat Taiwan. Angka itu lebih dari tiga kali lipat jumlah yang dilakukannya pada periode yang sama di tahun 2019. Dua dari penerbangan bahkan dilakukan dekat ke Hong Kong, daerah khusus milik China.
Di Laut China Selatan, Angkatan Laut AS telah melakukan empat operasi navigasi bebas dalam empat bulan pertama tahun ini. Intensitas operasi juga lebih tinggi dibandingkan yang hanya delapan kali sepanjang tahun 2019 lalu.
Operasi terbaru dilakukan AS pada 29 April, di mana kapal penjelajah berpeluru kendali rudal USS Bunker Hill berlayar melalui rantai Kepulauan Spratly. Pada hari Jumat (8/5/2020), kapal tempur litoral USS Montgomery dan kapal kargo USNS Cesar Chavez juga dilaporkan beroperasi di wilayah yang disangketakan banyak negara tersebut.
"Pasukan kami terbang, berlayar, dan beroperasi di perairan internasional Laut China Selatan atas kebijakan kami dan sesuai dengan norma-norma kelautan dan hukum internasional, menunjukkan berbagai kemampuan angkatan laut yang kami miliki di Indo-Pasifik," kata Fred Kacher, komandan Kelompok Serangan Ekspedisi 7, sebagaimana dilaporkan South China Morning Post.
AS tidak memiliki klaim maritim di laut China manapun. Namun, AS mempertahankan kehadiran militer yang kuat di wilayah tersebut untuk menunjukkan dukungannya kepada sekutu-sekutunya dan untuk melawan pembangunan fasilitas militer China dan menghadapi sikap yang semakin agresif dari negara itu.
Sementara itu, Menteri Pertahanan AS Mark Esper mengatakan dia ingin meningkatkan investasi militer di wilayah tersebut.
"Ini adalah cara di mana Anda mempertahankan tingkat prediksi strategis untuk memastikan kesiapan pasukan Anda, tetapi mengumpulkan tingkat ketidakpastian operasional yang lebih tinggi," katanya di sebuah seminar online pada hari Selasa. Ia kemudian menambahkan bahwa peningkatan jumlah kebebasan operasi navigasi dan penerbangan militer telah membuat banyak hal lebih tak terduga untuk China.
"Komando Indo-Pasifik AS telah melakukan pekerjaan dengan baik dalam hal mempertahankan unjuk kekuatan, pencegahan, kemampuan dan kesiapan yang kita butuhkan di ... wilayah," kata Esper lagi.
Di sisi lain, China juga tidak mengurangi kehadirannya di wilayah tersebut. Pesawat dari Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) China disebut telah terlihat setidaknya enam kali terbang di dekat wilayah udara Taiwan tahun ini. Sekelompok kapal induk Liaoning juga terlihat dua kali bulan lalu di sekitar pulau yang mereka klaim.
Komando Teater Selatan PLA, yang mengawasi Laut China Selatan, juga mengatakan ikut serta dalam latihan dengan menggunakan kapal anti-kapal selam pada bulan April.
Menanggapi intensitas pergerakan kedua negara di wilayah, pakar keamanan dari think tank Rand Corporation di AS, Timothy Heath mengatakan bahwa peningkatan aktivitas militer AS salah satunya adalah hasil dari kegagalan upaya diplomatik untuk menyelesaikan konflik antara kedua negara.
"China telah menegaskan kepemilikannya atas wilayah air internasional yang sangat penting bagi perdagangan global dan keamanan AS," katanya.
"Untuk mendukung klaimnya, China meningkatkan kegiatan pembangunan pulau buatan di Laut China Selatan, meningkatkan patroli dan penyebaran militernya dan memaksa negara-negara tetangganya untuk mematuhi tuntutannya.
"Ini membuat AS tidak memiliki pilihan selain untuk meningkatkan kegiatan militernya di Laut China Selatan untuk mengirim pesan yang jelas bahwa Washington serius mempertahankan status internasional Laut China Selatan dan perairan di rantai pulau pertama dan menunjukkan keinginan negara itu untuk memegang komitmen aliansinya."
Namun demikian, Heath mengatakan bahwa AS nampaknya tidak ingin untuk terlibat konflik militer dengan China dalam waktu dekat. Tapi, bisa saja terjadi di masa depan.
"AS selama bertahun-tahun tidak berinvestasi dalam membangun kekuatan yang mampu bersaing dengan militer berteknologi maju seperti PLA," katanya. "Negara itu tampaknya telah memilih untuk menerima penurunan kemampuan jangka pendek untuk menanggapi konflik guna membebaskan sumber daya untuk investasi jangka panjang ini."
Sementara itu, menurut Song Zhongping, seorang komentator militer yang berbasis di Hong Kong, konflik yang terjadi antara China dan AS ini melampaui lingkup militer.
"Masalah Laut Taiwan dan Laut China Selatan adalah kepentingan utama China, dan AS mengeksploitasi hal itu untuk menekan Beijing dan membatasi perkembangannya," katanya.
"Ini akan menjadi konflik menyeluruh yang tidak hanya melibatkan bentrokan militer tetapi juga konflik di bidang lain seperti perdagangan, budaya, dan ideologi."
Namun demikian, menurut Zack Cooper, seorang peneliti di American Enterprise Institute di Washington, tingkat aktivitas militer AS di kawasan itu tidak terlalu tinggi jika dilihat dari sejarahnya.
"Amerika Serikat memiliki kehadiran militer yang besar di Asia Timur, yang telah dipertahankannya sejak awal 1940-an, dan itu tidak meningkat secara substansial pada tahun lalu." katanya.
(res) Next Article Sejuta Drama AS-China, Kini Konflik di Laut China Selatan
