
Selain PHK Massal Sepatu Adidas, 300 Pabrik Rumahkan Karyawan
Ferry Sandi, CNBC Indonesia
05 May 2020 16:58

Jakarta, CNBC Indonesia - Industri alas kaki membuat gempar. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal 2.500 pekerja PT Shyang Yao Fung, produsen sepatu di Tangerang, Banten yang salah satu buyer-nya adalah Adidas, jadi sorotan publik.
PHK massal dipicu karena aksi relokasi pabrik karena isu upah yang tinggi di Banten. Namun, industri alas kaki juga menyimpan bom waktu, yaitu pukulan pandemi corona juga berdampak pada permintaan pasar ekspor termasuk dari brand-brand besar seperti Adidas, Nike dan lainnya. Pelaku industri sepatu skala kecil juga kena dampak berat dari pandemi.
Ketua Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Eddy Widjanarko mengungkapkan fakta baru, banyak pabrik sepatu yang memproduksi untuk kebutuhan dalam negeri juga harus menutup pabrik. Jumlahnya mencapai 300-an perusahaan dampaknya banyak pekerja dirumahkan.
"Kalau bicara sepatu lokal banyak yang dirumahkan, hampir sebagian pabrik, karena penjualan lebaran mati. Jadi pabrik pikir nggak ada order, nggak ada yang bisa diharapkan, lebih baik dirumahkan," kata Eddy kepada CNBC Indonesia, Selasa (5/5).
Meski tidak banyak angin harapan, namun pelaku usaha di industri sepatu berharap dari meningkatnya permintaan di masa masuk sekolah tahun ajaran baru. Sehingga, pegawai bisa kembali bekerja seperti biasanya. Namun, itu pun belum pasti karena kondisi yang kian tidak menentu sampai kapan pandemi corona berakhir.
Sehingga bisa disebut, pegawai di industri sepatu untuk kebutuhan dalam negeri sangat terdampak virus korona. "Mendekati lebaran tutup emang, tapi mereka tutup nggak ada masalah. Kalau pun dirumahkan, banyak karyawan mereka berstatus kontrak kerja," sebut Eddy.
Hal ini berbeda kasus jika dibandingkan dengan pegawai pabrik untuk produksi brand kenamaan dunia seperti Adidas dan Nike. Ia menerangkan pegawainya harus berstatus karyawan tetap.
"Biasanya ada konsultan luar datang untuk periksa. Apa compliance dengan standar yang diharapkan Nike-Adidas. Salah satunya karyawan nggak boleh kontrak, tapi karyawan tetap. Kalau untuk pabrik kecil, local market ada kontrak kerja jadi kondisi seperti ini, diputuskan hubungan kontrak kerja itu," sebutnya.
Bagi pelaku usaha sepatu skala besar bukan berarti tanpa tantangan. Direktur Eksekutif Aprisindo Firman Bakri mengatakan saat ini pabrikan besar hanya menyelesaikan permintaan sampai Mei, sedangkan setelah itu belum ada kepastian order dari pemain-pemain besar dunia.
(hoi/hoi) Next Article Order Sepatu Adidas, Nike Cs ke RI Bakal Setop, Kok Bisa?
PHK massal dipicu karena aksi relokasi pabrik karena isu upah yang tinggi di Banten. Namun, industri alas kaki juga menyimpan bom waktu, yaitu pukulan pandemi corona juga berdampak pada permintaan pasar ekspor termasuk dari brand-brand besar seperti Adidas, Nike dan lainnya. Pelaku industri sepatu skala kecil juga kena dampak berat dari pandemi.
Ketua Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Eddy Widjanarko mengungkapkan fakta baru, banyak pabrik sepatu yang memproduksi untuk kebutuhan dalam negeri juga harus menutup pabrik. Jumlahnya mencapai 300-an perusahaan dampaknya banyak pekerja dirumahkan.
"Kalau bicara sepatu lokal banyak yang dirumahkan, hampir sebagian pabrik, karena penjualan lebaran mati. Jadi pabrik pikir nggak ada order, nggak ada yang bisa diharapkan, lebih baik dirumahkan," kata Eddy kepada CNBC Indonesia, Selasa (5/5).
Meski tidak banyak angin harapan, namun pelaku usaha di industri sepatu berharap dari meningkatnya permintaan di masa masuk sekolah tahun ajaran baru. Sehingga, pegawai bisa kembali bekerja seperti biasanya. Namun, itu pun belum pasti karena kondisi yang kian tidak menentu sampai kapan pandemi corona berakhir.
Sehingga bisa disebut, pegawai di industri sepatu untuk kebutuhan dalam negeri sangat terdampak virus korona. "Mendekati lebaran tutup emang, tapi mereka tutup nggak ada masalah. Kalau pun dirumahkan, banyak karyawan mereka berstatus kontrak kerja," sebut Eddy.
Hal ini berbeda kasus jika dibandingkan dengan pegawai pabrik untuk produksi brand kenamaan dunia seperti Adidas dan Nike. Ia menerangkan pegawainya harus berstatus karyawan tetap.
"Biasanya ada konsultan luar datang untuk periksa. Apa compliance dengan standar yang diharapkan Nike-Adidas. Salah satunya karyawan nggak boleh kontrak, tapi karyawan tetap. Kalau untuk pabrik kecil, local market ada kontrak kerja jadi kondisi seperti ini, diputuskan hubungan kontrak kerja itu," sebutnya.
Bagi pelaku usaha sepatu skala besar bukan berarti tanpa tantangan. Direktur Eksekutif Aprisindo Firman Bakri mengatakan saat ini pabrikan besar hanya menyelesaikan permintaan sampai Mei, sedangkan setelah itu belum ada kepastian order dari pemain-pemain besar dunia.
(hoi/hoi) Next Article Order Sepatu Adidas, Nike Cs ke RI Bakal Setop, Kok Bisa?
Most Popular