
Trump Ingin Robohkan Kekuatan Manufaktur China, Mampukah?
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
05 May 2020 16:37

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump benar-benar gusar dan menuduh China "membuat kesalahan besar" sehingga wabah COVID-19 menyebar luas dan menjadi pandemi yang meluluhlantakkan ekonomi global. Trump pun menggodok hukuman baru untuk China, tak hanya tarif tapi juga "sesuatu hal yang lain".
Trump memanglah sosok yang fenomenal. Sebagai Presiden Negeri Sam yang ke-45, salah satu gebrakan yang ia lakukan adalah menabuh genderang perang dengan mitra dagangnya sendiri, China. Aksi berbalas pantun berupa penerapan bea masuk impor telah terjadi sejak Maret 2018.
Namun setelah baku-hantam dengan tarif, keduanya memilih gencatan senjata pada pertengahan Januari lalu. Tanggal 15 Januari 2020 jadi momen bersejarah bagi hubungan Washington dan Beijing. Kesepakatan dagang fase awal sah ditandatangani kedua negara.
Namun tunggu dulu! Kesepakatan ini tidak berarti bahwa perang sudah usai. Memang hubungan keduanya sempat mencair. Hanya saja substansi dari kesepakatan yang dibuat tidaklah esensial menyasar pada permasalahan inti yakni tarif.
AS hanya mendiskon bea masuk impor produk made in China dari 15% menjadi 7,5% untuk barang produksi Tiongkok senilai US$ 120 miliar. Sementara itu, tarif 25% masih melekat pada produk-produk asal Negeri Panda senilai US$ 250 miliar.
Walau tidaklah substansial, kedua belah pihak terus berupaya untuk memperbaiki hubungan dan berencana kopdar lagi untuk mengupayakan kesepakatan fase dua yang lebih menyasar ke isu utama agar bisa dieksekusi tahun ini.
Sayang seribu sayang, harapan itu kian sumir. Kesepakatan dagang fase dua Washington-Beijing terancam gagal. Baru-baru ini Trump mengatakan bahwa pembicaraan dagang bukan menjadi prioritasnya saat ini. Ia lebih memilih memusuhi China (atas penanganan wabah COVID-19) dalam sebuah permainan saling menyalahkan (blame game).
"Kami menandatangani kesepakatan perdagangan di mana mereka seharusnya membeli [berbagai komoditas agrikultur dan energi AS], dan mereka sebenarnya telah membeli banyak. Namun sekarang itu menjadi prioritas kedua akibat virus ini," kata Trump. "Situasi [merebaknya] virus tidak dapat diterima" tambahnya sebagaimana diwartakan Reuters.
Setelah China menjadi episentrum virus corona, wabah memang menyebar ke Korea Selatan, lalu Italia, Iran dan ke penjuru Eropa. Selang tak berapa lama, Negeri Hollywood pun ikut terinfeksi dan kini menjadi episentrum baru dengan jumlah kasus lebih dari 1 juta (tertinggi di dunia). Angka itu lebih dari 10 kali lipat total kasus kumulatif di China.
Mau tak mau AS harus menetapkan karantina wilayah (lockdown) parsial di berbagai negara bagian untuk mengendalikan penyebaran virus agar tak makin merajalela. Berdasarkan catatan Tim Riset CNBC Indonesia setidaknya ada 10 wilayah AS yang mencakup kota dan negara bagian yang kena lockdown mulai dari California, New York hingga Wiscounsin.
Dari sini lah malapetaka muncul. Ekonomi AS pun kena getahnya. Lockdown pertama di AS dimulai di California pada 19 Maret 2020. Seminggu setelah itu, jutaan warga AS mendaftar klaim asuransi untuk tunjangan pengangguran. Dalam sebulan terakhir, angka pengangguran di AS sudah mencapai 30,3 juta orang.
Ekonomi AS pun terkoyak akibat pandemi. Untuk pertama kalinya sejak 2014, pertumbuhan ekonomi AS mengalami kontraksi alias penurunan aktivitas ekonomi. Pada kuartal pertama tahun 2020, ekonomi Negara Adidaya ini minus 4,8% (annualized). Ini adalah kontraksi terdalam sejak krisis keuangan global tahun 2008 silam.
Melihat realita ini, Trump naik pitam. Alih-alih memperbaiki kebijakannya terkait perang dagang yang memicu kenaikan tarif dan biaya produksi serta biaya pengadaan barang impor dari China yang menjadi pemasok utama manufaktur AS, ia memilih menyalahkan China atas segala petaka itu.
Kali ini, bukan hanya tarif saja tetapi juga hal yang lebih bombastis. AS berencana menantang hegemoni China sebagai Global Manufacturing Hub alias 'pusat pabriknya dunia' dengan menyiapkan inisiatif untuk menghapus rantai pasok global dari China. Tekad AS kini semakin bulat untuk meruntuhkan kedigdayaan China.
Sekarang pertanyaan dari semua itu adalah: mampukah AS menumbangkan China kali ini?
Trump memanglah sosok yang fenomenal. Sebagai Presiden Negeri Sam yang ke-45, salah satu gebrakan yang ia lakukan adalah menabuh genderang perang dengan mitra dagangnya sendiri, China. Aksi berbalas pantun berupa penerapan bea masuk impor telah terjadi sejak Maret 2018.
Namun setelah baku-hantam dengan tarif, keduanya memilih gencatan senjata pada pertengahan Januari lalu. Tanggal 15 Januari 2020 jadi momen bersejarah bagi hubungan Washington dan Beijing. Kesepakatan dagang fase awal sah ditandatangani kedua negara.
AS hanya mendiskon bea masuk impor produk made in China dari 15% menjadi 7,5% untuk barang produksi Tiongkok senilai US$ 120 miliar. Sementara itu, tarif 25% masih melekat pada produk-produk asal Negeri Panda senilai US$ 250 miliar.
Walau tidaklah substansial, kedua belah pihak terus berupaya untuk memperbaiki hubungan dan berencana kopdar lagi untuk mengupayakan kesepakatan fase dua yang lebih menyasar ke isu utama agar bisa dieksekusi tahun ini.
Sayang seribu sayang, harapan itu kian sumir. Kesepakatan dagang fase dua Washington-Beijing terancam gagal. Baru-baru ini Trump mengatakan bahwa pembicaraan dagang bukan menjadi prioritasnya saat ini. Ia lebih memilih memusuhi China (atas penanganan wabah COVID-19) dalam sebuah permainan saling menyalahkan (blame game).
"Kami menandatangani kesepakatan perdagangan di mana mereka seharusnya membeli [berbagai komoditas agrikultur dan energi AS], dan mereka sebenarnya telah membeli banyak. Namun sekarang itu menjadi prioritas kedua akibat virus ini," kata Trump. "Situasi [merebaknya] virus tidak dapat diterima" tambahnya sebagaimana diwartakan Reuters.
Setelah China menjadi episentrum virus corona, wabah memang menyebar ke Korea Selatan, lalu Italia, Iran dan ke penjuru Eropa. Selang tak berapa lama, Negeri Hollywood pun ikut terinfeksi dan kini menjadi episentrum baru dengan jumlah kasus lebih dari 1 juta (tertinggi di dunia). Angka itu lebih dari 10 kali lipat total kasus kumulatif di China.
Mau tak mau AS harus menetapkan karantina wilayah (lockdown) parsial di berbagai negara bagian untuk mengendalikan penyebaran virus agar tak makin merajalela. Berdasarkan catatan Tim Riset CNBC Indonesia setidaknya ada 10 wilayah AS yang mencakup kota dan negara bagian yang kena lockdown mulai dari California, New York hingga Wiscounsin.
Dari sini lah malapetaka muncul. Ekonomi AS pun kena getahnya. Lockdown pertama di AS dimulai di California pada 19 Maret 2020. Seminggu setelah itu, jutaan warga AS mendaftar klaim asuransi untuk tunjangan pengangguran. Dalam sebulan terakhir, angka pengangguran di AS sudah mencapai 30,3 juta orang.
Ekonomi AS pun terkoyak akibat pandemi. Untuk pertama kalinya sejak 2014, pertumbuhan ekonomi AS mengalami kontraksi alias penurunan aktivitas ekonomi. Pada kuartal pertama tahun 2020, ekonomi Negara Adidaya ini minus 4,8% (annualized). Ini adalah kontraksi terdalam sejak krisis keuangan global tahun 2008 silam.
Melihat realita ini, Trump naik pitam. Alih-alih memperbaiki kebijakannya terkait perang dagang yang memicu kenaikan tarif dan biaya produksi serta biaya pengadaan barang impor dari China yang menjadi pemasok utama manufaktur AS, ia memilih menyalahkan China atas segala petaka itu.
Kali ini, bukan hanya tarif saja tetapi juga hal yang lebih bombastis. AS berencana menantang hegemoni China sebagai Global Manufacturing Hub alias 'pusat pabriknya dunia' dengan menyiapkan inisiatif untuk menghapus rantai pasok global dari China. Tekad AS kini semakin bulat untuk meruntuhkan kedigdayaan China.
Sekarang pertanyaan dari semua itu adalah: mampukah AS menumbangkan China kali ini?
Next Page
Mampukah China Dilengserkan?
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular